REVISI UU KPK Sudah Menghilangkan OTT, Refly Harun: Itu Kecerobohan yang Sangat Luar Biasa
TRIBUNJAMBI.COM - Kritikan tajam Pakar hukum Tata Negara Refly Harun ditujukan kepada pemerintah, terkait persetujuan pemerintah
TRIBUNJAMBI.COM - Kritikan tajam Pakar hukum Tata Negara Refly Harun ditujukan kepada pemerintah, terkait persetujuan pemerintah terhadap revisi Undang-undang Komisi Pemberantasan Korupsi ( KPK).
Refly menyebut kesalahan fatal pemerintah adalah ketika UU KPK itu disetujui.
Menurutnya dalam UU KPK ada dua soal yang bermasalah yaitu prosedur dan substansinya.
Refly menerangkan, prosedur dalam UU KPK yang sudah disetujui pemerintah, membuat operasi tangkap tangan dari KPK tidak akan lagi terlaksana.
Baca: Lagi Mabuk Ceper Pari Nekat Curi Paketan di Mobil, Jatuh Bangun Dikejar Karyawan JNE
Baca: DUA Pembunuh Pendeta Melinda Dituntut Pidana Mati, JPU: Pemerkosaan & Pembunuhan Sudah Direncanakan
Baca: VIDEO Link Live Streaming Laga Brasil vs Senegal, Pertandingan Persahabatan, Tonton TV Online TV One
"Kalau kita mengikuti prosedur maka tidak adalagi operasi tangkap tangan, dan itu kecerobohan yang luar biasa," tegasnya di depan pembawa acara Aiman Witjaksono, di acara Sapa Indonesia Malam Kompas TV, Rabu (25/9/2019).
Refly kemudian mengungkap sisi lain kelemahan dari UU KPK dalam pasal 12 B.
Isi pasal tersebut menjelaskan soal penyadapan yang harus ada izin dari dewan pengawas.
Refly menyebut pengertian pasal tersebut jangan hanya di mengerti sampai disitu saja.
"Coba baca penjelasannya, izin penyadapan diberikan setelah dilakukan gelar perkara di depan dewan pengawasan," ungkapnya
Baca: Raih WTP dari BPK, Bupati Safrial Terima Piagam dari Kemenkeu
Baca: Istri Jerinx SID Curhat Bernada Marah! Nora Alexandra Kesal Masa Lalu Suaminya Diungkit-ungkit
Baca: Tugas Monitoring, Camat Hasrizal Mengaku Tak Tahu Kades Lopak Alai Lakukan Penyimpangan
"Bagaimana mungkin kita mengott seseorang, kalau sebelum OTT kita harus melaksanakan gelar perkara. Karena kalau kita mengott orang tanpa sadapan, kita kan nda tau konteksnya seperti apa," jelasnya
Refly pun memberikan satu contoh kasus.
"Misalnya saya memberikan satu tas uang kepada seseorang, kan tidak mungkin ditangkap KPK kalau tidak ada konteks percakapan yang disadap," jelasnya
Mendengar hal tersebut pembawa cara Aiman pun ikut berpikir, semestinya permasalahan ini sudah bisa dibayangkan oleh pembuat Undang-undang dan Pemerintah
Baca: BOCORAN Jatah PDIP 4 Menteri, Nama yang Disodorkan ke Jokowi 10 Calon: Begini Respon Puan Maharani
Baca: Serapan Anggaran Kurang Maksimal, Kepala BPKAD Tanjab Barat Katakan Begini
Baca: Ekspresi Dua Pembunuh Calon Pendeta Milenda Zidemi yang Dituntut Hukuman Mati, Jalan terseok-seok
"Artinya kalo itu diloloskan ada kesengajaan untuk menghilangkan OTT KPK, ujar Aiman,"
Refly pun kembali menjabarkan soal area pelemahan dalam UU KPK.
Area tersebut yaitu meletakan KPK dibawa eksekutif, dimana KPK tidak lagi menjadi badan indepedent.
"Ini bisa memberikan legitimasi bagi eksekutif untuk membuat peraturan pemerintah, karena itu lembaga dirana eksekutif, demi menjalankan undang-undang sebagaiaman semestinya" jelas Refly.
Baca: Supir Angkot di Kota Jambi Bingung Diminta Berbenah: Kami Cari Setoran Sama Gaji Aja Susah
Baca: PENGELOLA Belum Setor ke Pihak Universitas Jambi Rp 900 Juta, Parkir Berbayar Unja Setop Beroperasi
Baca: Jadi Militer Paling Kuat di ASEAN, Kekuatan TNI Unggul dari Korea Utara dan Israel, Lihat Daftarnya
Selain itu pelemahan lainnya yang dinilainya, saat pegawai KPK dijadikan ASN yang bertugas sebagai penyidik dan penyelidik.
"Kalau mereka membalelo paling tinggal dipindakan saja, beda dengan lembaga independent, hanya pegawai lingkup internal KPK," jelasnya.
Kemudian soal dewan pengawas KPK yang memiliki tiga fungsi.
Pertama, fungsi pengawasan yang dinilainya seperti bawaslu di pemilu.
Kedua, fungsi instansi pemberian izin menyadap, menggeledah dan menyita.
Baca: Supir Angkot di Jambi Dilarang Makan dan Merokok Saat Mengemudi
Baca: Pemkot Jambi Hadirkan Koordinator Juri Internasional MTQ Prof Said Agil Almunawar di MTQ Kota Jambi
Baca: Bermodal Kaos Singlet dan Rambut Gondrong, Kisah Mantan Preman Ini Sukses Banting Stir Jadi Kopassus
Ketiga dewan pengawas seperti (Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu RI
(DKPPP) yang menyidangkan pelanggaran kode etik pimpinan KPK dan pegawai KPK.
"Kalau kita bicara adminitrasi pemerintahan, dimana-mana pegawai cukup ditindak oleh pimpinannya dalam hal ini pimpinan KPK atau Sekjen KPK. Yang jadi persoalan pimpinan dan pegawai disamakan yang bisa disidang kode etik oleh dewan pengawas KPK," jelasnya
"Jadi ini skenario besar melumpuhkan KPK,"tandasnya
Refly juga menyinggung soal tugas dan kewenangan Presiden.
Baca: Terdakwa Efrin Ipan Dihukum 1 Tahun Penjara, Tersangkut Perkara Taman Hijau Kabupaten Bungo
Baca: Dituntut Hukuman Mati, Pembunuhan Calon Pendeta Cantik Melinda Zidemi Sudah Direncanakan Pelaku
Baca: Bahanya Menikah Muda, DPPKB Kota Jambi Sebarkan Pusat Informasi Konseling Remaja
Refly menyebut, dalam desain konstitusional Indonesia, Presiden memiliki 50 persen kekuasan legislatif.
Artinya tidak ada satu RUU yang bisa lolos, kalau presiden mengatakan tidak.
"Tidaknya Presiden itu banyak sekali tempatnya. Tidak untuk membahas, tidak untuk persetujuan, dan tidak untuk mengesahkan," ujarnya
Baca: Korban Alami Luka Bakar, Dua Rumah di Sungai Rusak Berat Akibat Terbakar
Baca: Oknum Kades di Merangin Ditangkap Polisi karena Tertangkap Main Judi
Baca: Sudah 5 Hari Menghilang, Putri Lumentut Sempat Main dengan Temannya dan Dicari hingga ke Selokan
"Kalau tidak untuk mengesahkan tidak ada gunanya karena 30 hari akan sah dan wajib diundangkan. Tapi tidak persetujuan Paripurna, membuat RUU tidak bisa diundangkan, dan lebih pangkal lagi tidak untuk membahasnya," pungkasnya.
(Tribunmanado.co.id/RhendiUmar)