Berita Nasional
Kok Bisa Jokowi Rayu Xi Jinping? Kereta Cepat Bukan untuk Cari Untung
Jokowi menegaskan, proyek prestisius tersebut bukan untuk mencari laba, melainkan sebagai investasi sosial.
Penulis: Darwin Sijabat | Editor: Darwin Sijabat
TRIBUNJAMBI.COM - Di tengah kontroversi utang jumbo Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) atau Whoosh yang mencapai Rp116 triliun, pernyataan Mantan Presiden RI Joko Widodo atau Jokowi sontak menuai keheranan.
Jokowi menegaskan, proyek prestisius tersebut bukan untuk mencari laba, melainkan sebagai investasi sosial.
Pernyataan ini langsung disikapi dengan rasa terkejut oleh Politisi PDI Perjuangan, Ferdinand Hutahaean.
Ia bahkan secara terbuka mempertanyakan, bagaimana jurus rayuan Jokowi ke Presiden China Xi Jinping saat awal mula proyek, jika Whoosh memang dirancang sebagai proyek yang tidak mengejar keuntungan finansial?
Mantan Presiden Jokowi, yang dihadapkan pada beban utang proyek Whoosh yang membengkak, memilih berdiri di atas prinsip pelayanan publik.
Dalam keterangannya kepada awak media di Solo pada Senin (27/10/2025), Jokowi menjelaskan transportasi massal, seperti Whoosh, adalah layanan publik yang prinsip dasarnya bukan mencari laba.
"Prinsip dasar transportasi massal atau transportasi umum adalah layanan publik, bukan mencari laba," kata Jokowi.
Menurutnya, proyek Whoosh dibangun untuk mengatasi masalah kemacetan parah di Jakarta, yang merugikan negara hingga ratusan triliun per tahun.
Baca juga: Cemas Jokowi Jika KPK Lanjut Usut Kasus Korupsi Kereta Cepat, Rocky Gerung: Mencengangkan
Baca juga: Langkah Menkeu Purbaya Berantas Kejahatan Misinvoicing Dapat Dukungan GPA: Tegas dan Berani
Baca juga: Madesu Bawa Sajam Teror Mendalo Jambi Viral, Serang Lawan hingga Tumbang di Jalan
Oleh karena itu, keuntungan yang diukur bukanlah untung-rugi secara moneter, melainkan 'Keuntungan Sosial' (social return of investment).
Keuntungan sosial yang dimaksud Jokowi meliputi:
- Pengurangan emisi karbon.
- Peningkatan produktivitas masyarakat.
- Berkurangnya polusi.
- Waktu tempuh yang jauh lebih singkat.
Jokowi menambahkan, "Kalau ada subsidi, itu investasi, bukan kerugian," menekankan bahwa anggaran yang dikeluarkan untuk angkutan massal adalah bentuk investasi untuk kesejahteraan sosial jangka panjang.
Rayuan Maut ke China
Justru pada titik inilah Ferdinand Hutahaean mengaku tak habis pikir. Jika Whoosh adalah "investasi sosial" yang rugi pun tak masalah, lantas apa yang disampaikan Jokowi kepada Presiden China, Xi Jinping, saat meyakinkan China untuk berinvestasi besar-besaran?
Dalam program Interupsi di kanal YouTube Official iNews, Kamis (30/10/2025), Ferdinand melontarkan sindiran tajam.
"Saya tidak mengerti kalau sekarang Pak Jokowi mengatakan ini investasi sosial ya, rugi transportasi umum tidak apa-apa," ujar Ferdinand.
Ia kemudian mempertanyakan skenario negosiasi antara kedua kepala negara tersebut.
Baca juga: Apa Jaminan Jokowi Alihkan MoU Whosh dari Jepang ke China? Mahfud MD Minta KPK Cari Dokumen Rahasia
Baca juga: OTK Diduga TPNPB Aniaya Pria Asal Sulawesi di Yahukimo Papua Pegunungan, Korban Kritis
"Bagaimana cara Jokowi dulu merayu Xi Jinping supaya mau membiayai proyek ini, kalau ini memang didesain untuk proyek rugi, proyek investasi sosial?"
"Kira-kira Jokowi ngomong apa ke Xi Jinping? 'Mister Xi, investasilah di kereta cepat ini. Proyek investasi sosial public service obligation nanti kalau rugi tidak apa-apa'?"
Ferdinand menegaskan, proyeksi awal Whoosh harusnya mampu menjual 70-80 persen gerbong agar operasional tertutupi dan tidak merugi.
Realitas hari ini, di mana Whoosh disebut belum menjadi pilihan utama masyarakat dan proyeksinya meleset, menyebabkan kerugian harian hingga miliaran rupiah, yang semakin mempertegas keheranannya atas klaim "investasi sosial" tersebut.
Whoosh Bukan Kebutuhan Mendasar Masyarakat
Ferdinand Hutahaean juga terkejut dengan pernyataan Jokowi soal Whoosh bukan mencari laba, melainkan menjadi investasi sosial.
Sebab, menurutnya, proyek kereta cepat ini bukanlah kebutuhan mendasar masyarakat.
Selain itu, proyek tersebut, kata dia, tidak bisa dimasukkan kategori investasi sosial maupun public service obligation atau kewajiban dalam menyediakan layanan publik.
"Saya mengikuti statement-nya Pak Jokowi ya. Dan saya cukup kaget dan sedikit heran, mendengar beliau menyampaikan pendapatnya bahwa ini adalah tentang investasi sosial," kata Ferdinand.
"Kenapa kaget?"
"Kita memang memaklumi ketika kebutuhan mendasar masyarakat itu menjadi tanggung jawab negara dan di situlah hadirnya negara yang disebut dalam public service obligation, dan kereta cepat ini tidak bisa disebut masuk kategori investasi sosial maupun public service obligation."
"Kenapa demikian? Karena kereta cepat ini bukan kebutuhan mendasar masyarakat."
Selanjutnya, Ferdinand menyebut, yang lebih layak disebut kebutuhan mendasar masyarakat adalah TransJakarta, bukan Whoosh.
TransJakarta sendiri merupakan jaringan bus raya terpadu (BRT) yang beroperasi sejak tahun 2004 di Jakarta, Indonesia.
Sehingga, menurut Ferdinand, TransJakarta sebagai kebutuhan dasar masyarakat layak disubsidi meski sifatnya merugi.
"Kebutuhan mendasar masyarakat dalam bidang transportasi, saya kasih contoh, Transjakarta," ujar Ferdinand.
"Transjakarta itu juga merugi. Tapi karena dia adalah kebutuhan mendasar masyarakat maka disubsidi oleh Pemda DKI Jakarta setiap tahun,"
Kemudian, Ferdinand mengaku, tidak menemukan informasi yang mendukung Whoosh layak disebut investasi sosial maupun public service obligation.
Pasalnya, proyek kereta cepat itu bersifat business-to-business alias B2B.
B2B sendiri merupakan jenis transaksi atau model bisnis di mana penjualan dilakukan antara satu perusahaan dengan perusahaan lain, bukan dengan konsumen perorangan.
Baca juga: Bukan Untung Rugi, Jokowi Ungkap Alasan Sebenarnya Utang Kereta Cepat: Singgung Kerugian Negara
Baca juga: Klarifikasi Mantan Bupati Dharmasraya Usai Digrebek Sesama Jenis, Bantah Check In dengan Pria
Dalam konteks Whoosh, konsep B2B berlaku karena pengelolanya adalah PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC), yang merupakan gabungan dua kelompok bisnis antara konsorsium Indonesia (PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia/PSBI) dengan 60 persen saham dan konsorsium China melalui Beijing Yawan HSR Co Ltd (40 persen saham).
"Saya tidak menemukan di sini kebenaran atau data atau informasi yang membenarkan bahwa ini adalah investasi sosial dan public service obligation," ujar Ferdinand.
"Kenapa demikian? Karena ini adalah B2B, business-to-business."
Ditetapkan sebagai PSN, tapi Berbuntut Beban Utang, PT KAI Kewalahan
Proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) atau Whoosh ditetapkan sebagai salah satu Proyek Strategis Nasional (PSN) dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 3 Tahun 2016.
Pengelola Whoosh adalah PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC), yang merupakan perusahaan patungan antara konsorsium Indonesia (PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia/PSBI) dengan 60 persen saham dan konsorsium China melalui Beijing Yawan HSR Co Ltd (40 persen saham).
Adapun PSBI dipimpin oleh PT Kereta Api Indonesia (KAI) dengan porsi saham 58,53 persen, diikuti Wijaya Karya (33,36 persen), PT Jasa Marga (7,08 persen), dan PT Perkebunan Nusantara (PTPN) VIII (1,03 persen).
Sementara, komposisi pemegang saham Beijing Yawan HSR Co. Ltd terdiri atas CREC 42,88 persen, Sinohydro 30 persen, CRRC 12 persen, CRSC 10,12 persen, dan CRIC 5 persen.
Whoosh diresmikan oleh Jokowi pada 2 Oktober 2023 di Stasiun Halim, Jakarta.
Namun, dalam perjalanannya, proyek mengalami pembengkakan biaya (cost overrun) sebesar 1,2 miliar dollar AS atau sekitar Rp19,54 triliun, dari biaya awal yang direncanakan 6,07 miliar dollar AS.
Sehingga, total investasi proyek Whoosh kini mencapai 7,2 miliar dollar AS atau sekitar Rp116 triliun.
Untuk membiayai investasi 7,2 miliar dollar AS pada proyek ini, 75 persen di antaranya didapat dari pinjaman China Development Bank.
Sementara sisanya berasal dari setoran modal pemegang saham, yaitu PT KCIC yang merupakan gabungan dari PSBI (60 persen) dan Beijing Yawan HSR Co Ltd (40 persen).
Whoosh jelas memberikan tekanan besar terhadap kinerja keuangan PT KAI (Persero) yang berperan sebagai lead konsorsium PSBI.
Utang untuk pembiayaan proyek Whoosh membuat PSBI mencatat kerugian senilai Rp1,625 triliun pada semester I-2025.
Sebagai lead konsorsium PSBI, maka PT KAI (Persero) menanggung porsi kerugian paling besar, yakni Rp951,48 miliar per Juni 2025, jika dibanding tiga BUMN anggota konsorsium PSBI lainnya.
Sehingga, beban yang ditanggung PT KAI (Persero) begitu berat, baik dalam bentuk biaya operasional kereta cepat maupun pengembalian utang.
Simak berita terbaru Tribunjambi.com di Google News
Baca juga: Mendalo Jambi Mencekam! Madesu Saling Serang Pakai Sajam di Jalan Lintas, Lawan Tumbang
Baca juga: 13 Pejabat Eselon II di Muaro Jambi di-Rolling, 10 Jabatan Kepala Dinas Akan Dilelang
Baca juga: Pastikan Tak Ada Lagi Sapi Ngorok di Batang Hari Jambi, Disbunnak Salurkan Vaksin
Baca juga: Klarifikasi Mantan Bupati Dharmasraya Usai Digrebek Sesama Jenis, Bantah Check In dengan Pria
Artikel ini telah tayang di Tribunnews.com dengan judul Whoosh Disebut Bukan Cari Untung, Politisi PDIP Kaget: Gimana Dulu Jokowi Bisa Rayu Xi Jinping?
Joko Widodo
Jokowi
kereta cepat
Whoosh
China
Xi Jinping
Ferdinand Hutahaean
Jakarta
Bandung
Tribunjambi.com
Multiangle
| Cemas Jokowi Jika KPK Lanjut Usut Kasus Korupsi Kereta Cepat, Rocky Gerung: Mencengangkan |
|
|---|
| Sosok 3 Menteri Era Jokowi yang Disebut Mahfud MD Bisa Diperiksa Terkait Dugaan Korupsi Kereta Cepat |
|
|---|
| Akhirnya Jokowi Ngaku Soal Utang Kereta Cepat Whoosh Triliunan, Kian Membengkak: Urusan Pemerintah |
|
|---|
| Bukan Untung Rugi, Jokowi Ungkap Alasan Sebenarnya Utang Kereta Cepat: Singgung Kerugian Negara |
|
|---|

Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.