REVISI UU KPK Sudah Menghilangkan OTT, Refly Harun: Itu Kecerobohan yang Sangat Luar Biasa
TRIBUNJAMBI.COM - Kritikan tajam Pakar hukum Tata Negara Refly Harun ditujukan kepada pemerintah, terkait persetujuan pemerintah
Area tersebut yaitu meletakan KPK dibawa eksekutif, dimana KPK tidak lagi menjadi badan indepedent.
"Ini bisa memberikan legitimasi bagi eksekutif untuk membuat peraturan pemerintah, karena itu lembaga dirana eksekutif, demi menjalankan undang-undang sebagaiaman semestinya" jelas Refly.
Baca: Supir Angkot di Kota Jambi Bingung Diminta Berbenah: Kami Cari Setoran Sama Gaji Aja Susah
Baca: PENGELOLA Belum Setor ke Pihak Universitas Jambi Rp 900 Juta, Parkir Berbayar Unja Setop Beroperasi
Baca: Jadi Militer Paling Kuat di ASEAN, Kekuatan TNI Unggul dari Korea Utara dan Israel, Lihat Daftarnya
Selain itu pelemahan lainnya yang dinilainya, saat pegawai KPK dijadikan ASN yang bertugas sebagai penyidik dan penyelidik.
"Kalau mereka membalelo paling tinggal dipindakan saja, beda dengan lembaga independent, hanya pegawai lingkup internal KPK," jelasnya.
Kemudian soal dewan pengawas KPK yang memiliki tiga fungsi.
Pertama, fungsi pengawasan yang dinilainya seperti bawaslu di pemilu.
Kedua, fungsi instansi pemberian izin menyadap, menggeledah dan menyita.
Baca: Supir Angkot di Jambi Dilarang Makan dan Merokok Saat Mengemudi
Baca: Pemkot Jambi Hadirkan Koordinator Juri Internasional MTQ Prof Said Agil Almunawar di MTQ Kota Jambi
Baca: Bermodal Kaos Singlet dan Rambut Gondrong, Kisah Mantan Preman Ini Sukses Banting Stir Jadi Kopassus
Ketiga dewan pengawas seperti (Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu RI
(DKPPP) yang menyidangkan pelanggaran kode etik pimpinan KPK dan pegawai KPK.
"Kalau kita bicara adminitrasi pemerintahan, dimana-mana pegawai cukup ditindak oleh pimpinannya dalam hal ini pimpinan KPK atau Sekjen KPK. Yang jadi persoalan pimpinan dan pegawai disamakan yang bisa disidang kode etik oleh dewan pengawas KPK," jelasnya
"Jadi ini skenario besar melumpuhkan KPK,"tandasnya
Refly juga menyinggung soal tugas dan kewenangan Presiden.
Baca: Terdakwa Efrin Ipan Dihukum 1 Tahun Penjara, Tersangkut Perkara Taman Hijau Kabupaten Bungo
Baca: Dituntut Hukuman Mati, Pembunuhan Calon Pendeta Cantik Melinda Zidemi Sudah Direncanakan Pelaku
Baca: Bahanya Menikah Muda, DPPKB Kota Jambi Sebarkan Pusat Informasi Konseling Remaja
Refly menyebut, dalam desain konstitusional Indonesia, Presiden memiliki 50 persen kekuasan legislatif.
Artinya tidak ada satu RUU yang bisa lolos, kalau presiden mengatakan tidak.
"Tidaknya Presiden itu banyak sekali tempatnya. Tidak untuk membahas, tidak untuk persetujuan, dan tidak untuk mengesahkan," ujarnya
Baca: Korban Alami Luka Bakar, Dua Rumah di Sungai Rusak Berat Akibat Terbakar
Baca: Oknum Kades di Merangin Ditangkap Polisi karena Tertangkap Main Judi
Baca: Sudah 5 Hari Menghilang, Putri Lumentut Sempat Main dengan Temannya dan Dicari hingga ke Selokan
"Kalau tidak untuk mengesahkan tidak ada gunanya karena 30 hari akan sah dan wajib diundangkan. Tapi tidak persetujuan Paripurna, membuat RUU tidak bisa diundangkan, dan lebih pangkal lagi tidak untuk membahasnya," pungkasnya.
(Tribunmanado.co.id/RhendiUmar)