Perda Kelola Gambut di Jambi Tak Jalan, Karhutla Kembali Berulang
Secara regulasi hukum, penanganan kebakaran hutan dan lahan di Provinsi Jambi sudah kuat.
Penulis: Dedy Nurdin | Editor: Teguh Suprayitno
Perda Kelola Gambut di Jambi Tak Jalan, Kebakaran Kembali Berulang
TRIBUNJAMBI.COM, JAMBI - Secara regulasi hukum, penanganan kebakaran hutan dan lahan di Provinsi Jambi sudah kuat. Mulai dari peraturan presiden tahun 2016, peraturan daerah hingga perdes belum lagi peraturan tingkat kementrian yang semuanya mengatur soal penanganan kebakaran hutan dan upaya pencegahan.
Hal ini disampaikan Poprianto, mantan anggota DPRD Provinsi Jambi priode 2014 - 2019 dari fraksi Golkar yang ikut menggagas perda karhutlah.
"Kita sendiri sudah ada perda, bahkan yang terbaru tahun 2018 memang lebih besar arahnya untuk tata kelolah gambut," katanya saat mengikuti Talkshow yang digelar Warsi pada Selasa (10/9/2019).
"Di perda ini lebih menguatkan untuk tata kelola gambut, berkaca sebelumnya pada saat pj gunernur tidak berani mengeluarkan dana taktis. Dengan perda ini begitu memasuki kemarau kabupaten bisa langsung menetapkan status siaga, dana taktis ini bisa dimanfaatkan dan jumlahnya besar tahun 2019 ini mencapai 20 miliar," sambunya.
Baca: Lahan Gambut Dalam Disodet, Perusahaan Jadi Penyebab Kebakaran di Jambi Berulang
Baca: Anak Sekolah di Tanjab Barat Diliburkan, Dinas Pendidikan Keluarkan Surat Imbauan
Baca: KKI Warsi Temukan Fakta Kebakaran 2019 Mengulang Kejadian 2015
Baca: BREAKING NEWS, Kabut Asap, Sekolah di Seluruh Muarojambi Diliburkan Tiga Hari
Baca: Dua Pejabat Desa Napal Sisik Jadi Tersangka Korupsi Dana Desa
Tujuan dari dana taktis ini sendiri kata Poprianto untuk menanggulangi siaga darurat. Termasuk dalam kasus kebakaran hutan dan lahan.
Selain itu ada banyak peraturan yang jika di jalankan dengan baik kebakaran hutan dan lahan harusnya tidak terjadi lagi. Dengan aturan pemerintah ini harisnya pemerintah cukup kuat untuk mengambil kebijakan.
"Misalnya ketika yang terbakar tahun 2015 berulang kembali pemerintah sudah bisa mencabut izinnya. Ketika melakukan cek kelengkapan, cek kepatuhan jika tidak dipenuhi ini juga jadi dasar pemerintah tapi lagi-lagi kita lemah menegakkan peraturan itu," ujarnya.
Kelemahan kedua kata Poprianto pemerintah nyaris tidak bisa memetakan setiap lokasi yang terbakar. Ia mencontohkan kasus kebakaran hutan tahun 2015, lebih dari 1000 hektar lahan yang terbakar tidak bertuan.
Meski secara izin ada tercatat pemegangnya, namun dijadikan lahan tidur saja. Lantas kemudian diasumsikan sebagai tanah masyarakat.
"Kita terlalu gampang mengkambing hitamkan masyarakat. Kalau sudah sampai ratusan dan ribuan hektar terbakar itu harusnya kita tau ada cukongnya," katanya.
"Di Tebo Alam Bukit Tigapuluh selalu terjadi kebakaran hingga ratusan hektar. Kalau fugsi intelijen dilaksanakan harusnya bisa dilacak ulah siapa. Karena setelah itu bibit sawit masuk ke sana," sambungnya.
Di dalam perda tata kelola gambut kata Poprianto sudah diatur mana lahan gambut lindung dan budidaya.
Gambut dengan kedalaman diatas 3 meter wajib basah, untuk perusahaan yang telah memiliki HGU setelah izin konsinya habis tidak boleh lagi diperpanjang.
Baca: Bong dan Sabu Ditemukan di Dalam Sel, 10 Tahanan Kejari Jambi Diperiksa
Baca: Lebih dari Separuh Lapas Perempuan Muarojambi Dihuni Napi Narkoba
Baca: BREAKING NEWS, Polisi Temukan Bong dan Sabu di Sel Tahanan Pengadilan Negeri Jambi
Baca: Festival Batanghari Kembali Digelar September, Ini Tanggal dan Rangkaian Acaranya
Baca: KKI Warsi: Luas Kebakaran Hutan dan Lahan di Jambi 18.584 Hektar
Sementara untuk izin baru tidak diperbolehkan lagi membuka sawit di atas tiga meter. "Untuk dibawah tiga meter dipersilahkan tapi harus tetap basah, itu sudah ada dalam perda tahun 2018 tentang tata kelola gambut yang baru," ujarnya.
"Persoalan kita sebetulnya tinggal di kepemimpinan, siapa yang berani pasang badan menegakkan peraturan ini. Sementara satgas hanya sebatas pemadaman tidak pada level kebijakan," pungkasnya. (Dedy Nurdin)