Lahan Gambut Dalam Disodet, Perusahaan Jadi Penyebab Kebakaran di Jambi Berulang
Hasil temuan KKI Warsi di lapangan masih banyak pemegang konsesi tak menerapkan aturan untuk membasahi gambut hingga kedalaman 40 cm dari permukaan.
Penulis: Dedy Nurdin | Editor: Teguh Suprayitno
Lahan Gambut Dalam Disodet, Perusahaan Jadi Penyebab Kebakaran di Jambi Berulang
TRIBUNJAMBI.COM, JAMBI - Rudi Syaf Direktur KKI Warsi mengatakan, pihaknya melihat bahwa terulangnya kebakaran gabut di lokasi yang sama di tahun 2015 lalu yang pernah terbakar karena ketidak patuhan pemegang izin konsesi.
Hal ini disampaikan Rudi Suaf saat kegiatan Talkshow pencegahan, pengendalian kebakaran hutan dan lahan di Provinsi Jambi pada Selasa (10/9/2019).
Pasca kebakaran tahun 2015, pemerintah keluarkan peraturan tentang kawasan gambut harus basah melalui Peraturan Presiden tahun 2016.
Namun hasil temuan KKI Warsi di lapangan masih banyak pemegang konsesi tak menerapkan aturan untuk membasahi gambut hingga kedalaman 40 cm dari permukaan.
Baca: Anak Sekolah di Tanjab Barat Diliburkan, Dinas Pendidikan Keluarkan Surat Imbauan
Baca: KKI Warsi Temukan Fakta Kebakaran 2019 Mengulang Kejadian 2015
Baca: BREAKING NEWS, Kabut Asap, Sekolah di Seluruh Muarojambi Diliburkan Tiga Hari
Baca: Dua Jam Jabat Ketua DPRD Jambi, Edi Langsung Terbang Pantau Karhutlah
Baca: KKI Warsi: Luas Kebakaran Hutan dan Lahan di Jambi 18.584 Hektar
Terutama di kawasan gambut dengan kedalaman di atas tiga meter. Sehingga saat memasuki musim kemarau, lebih cepat kering dan memicu mudahnya terbakar baik di sengaja maupun tidak.
"Poinnya kami lihat semua gambut dalam relatif disodet kanal mengalirkan air. Ini yang mengakibatkan ketika kemarau sangat kering. Sudah ada upaya dilakukan tapi belum efektif karena harus konsepnya Kawasan Hidrologi Gambut (KHG) yang direstorasi," ujarnya.
"Kenapa perusahaan perkebunan sawit terutama tidak menjalankan aturan itu karena kekhawatiran mereka jika ketinggian air 40 cm dari permukaan akar sawit akan terendam, sehingga akar membusuk. Tapi kan aturan ini harus dijalankan," sambungnya lagi.
Belum lagi persoalan kepatuhan dari segi sarana dan prasarana, aturan mewajibkan semua memiliki sarana dan prasarana untuk pemadaman, termasuk menara pantau dan sumur serta personel.
Pemerintah bisa melakukan cek kepatuhan dengan melakukan audit secara rutin minimal satu kali setahun bahwa sarana dan prasarana berfungsi baik.
"Kadang mereka punya tapi ketika kebakaran tidak berfungsi. Keluhan korem tidak semua punya alat memadai," ujarnya.
Ia menyebutkan untuk saat ini pihak Warsi merekomendasikan agar penanganan karhutlah kembali merujuk pada peraturan presiden tahun 2016.
Baca: Bong dan Sabu Ditemukan di Dalam Sel, 10 Tahanan Kejari Jambi Diperiksa
Baca: Festival Batanghari Kembali Digelar September, Ini Tanggal dan Rangkaian Acaranya
Baca: Dua Pejabat Desa Napal Sisik Jadi Tersangka Korupsi Dana Desa
Baca: BREAKING NEWS, Dampak Kabut Asap, Siswa SMA/SMK dan SLB di Jambi Diliburkan
"Sesuai Undang-Undang kawasan lindung kalau ketiggian di atas tiga meter harus dikembalikan jadi lindung apakah izin atau masyarakat," ungkap Rudi Syaf.
"40 persen areal gambut kedalaman 3 meter harusnya diubah jadi lindung jadi tidak lagi sebagai produksi," pungkasnya. (Dedy Nurdin)