Perdagangan Manusia di Jambi
Sosok Dinda dan TW Bibi yang Jual Keponakan Perempuan di Jambi, Bawa ke Mendalo
Dengan suara bergetar karena menahan amarah, sang ibu, TW (35), menceritakan kondisi anak perempuannya yang menjadi korban perdagangan manusia
Penulis: tribunjambi | Editor: asto s
Psikolog klinis dewasa yang juga Dosen Prodi Psikologi Universitas Jambi, Hanna Widya Gultom, menuturkan berdasarkan riset, kasus seperti ini sering dilakukan orang terdekat.
Remaja ini mengalami kondisi betrayal trauma, sebab pelaku yang menjualnya adalah pengasuh yang tinggal dengan korban, tantenya.
Trauma memberikan dampak yang lebih berat, ketimbang pelakunya orang lain.
Rasa percaya terhadap adik ibu kandungnya (pelaku) bisa runtuh, sebab korban bingung siapa yang bisa dipercaya dan siapa yang tidak bisa dipercaya.
Hal itu karena korban dalam usia pembentukan identitas.
Dampaknya, akan membuat gejala trauma atau PTSD. Sebab difase itu merupakan masa mengenal relasi intim.
Dampak lainnya, korban akan merasa putus asa dan merasa tidak berharga.
Korban dalam kondisi baru mengenal dunia bekerja, masa peralihan. Karena kejadian itu, korban merasa dunia ini tidak aman.
Tidak mengejutkan, jika korban baru bercerita lima bulan setelah kejadian dengan ibu korban.
Hal yang tidak mengejutkan, sebab tercatat di literatur psikologi, korban melapornya sering terlambat.
Korban sering bungkam, sebab ada stigma "korban yang salah dan korban yang punya aib." Apalagi pelakunya keluarga terdekatnya.
Penanganan Tepat
Korban depresi dan kondisi putus asa. Harus menstabilkan emosi dan merasa aman, agar mau bercerita lebih dalam tentang hal yang dialaminya.
Korban harus diberi ruang untuk bercerita. Sebab, pelakunya keluarga terdekatnya.
Baca juga: Isu Kenzie Ditemukan Bersama SAD Merangin Dibantah Polisi dan Temenggung
Tentu korban merasa tak aman. Keluarga yang harusnya menjadi tempat yang aman baginya, malah sebaliknya.
Korban memiliki potensi melukai dirinya sendiri.
Sebab itu, harus screening skrining risiko. Bisa terapi secara emosi pasca kejadian yang dialaminya.
Hal yang penting ialah pendampingan keluarga, peran ibu sangat penting.
Perubahan perilaku korban pasca kejadian tersebut merupakan respon trauma korban.
Perubahan perilaku itu respons trauma korban.
Harapannya keluarga berempati terhadap korban, bukan menyalahkan dan menyudutkannya, harus profesional,” terangnya.
Hukuman Seumur Hidup hingga Kebiri
Undang-undang di Indonesia sudah mengatur hukuman untuk pelaku kekerasan seksual dan perdagangan manusia.
Kalau pelaku punya hubungan kuasa, seperti adik kandung ibu korban, hukumannya jauh lebih berat,” ujarnya.
Terkait hukuman pelaku, menurutnya sangat berpengaruh terhadap kondisi psikologis korban.
Bagi korban, hukuman pada pelaku penting bagi korban, sebab jika pelaku dihukum ringan atau tidak dihukum, korban merasa bukan pelaku yang salah, melainkan dirinya,” katanya.
Terkait hukuman pelaku perdagangan manusia, menurut Hanna pelaku bisa dipenjara seumur hidup.
Hukumannya mungkin penjara dan denda seberat-beratnya, mungkin bisa penjara seumur hidup.
Sementara itu, untuk pelaku pelecehan seksual, menurutnya pelaku bisa dihukum kebiri.
Mungkin pelaku pelecehan seksual dihukum kebiri kimia, untuk menghilangkan hasrat seksualnya.
Sebab pelaku bertransaksi dengan penjual tujuannya untuk memuaskan nafsunya.
Perlu diingat, kekerasan seksual bukan aib korban, melainkan aib pelaku.
Korban takut untuk cerita karena takut tidak dipercaya dan ikut disalahkan.
Pesan saya untuk masyarakat, pandanglah perdagangan manusia dan kekerasan seksual sebagai tindakan kriminal, bukan aib korban. (Tribun Jambi/Srituti Apriliani Putri/Syrillus Krisdianto)
Baca juga: Karya Jurnalis Tribun Jambi Rifani Halim Masuk Nominasi 10 Besar Anugerah Jurnalistik Komdigi 2025
Baca juga: Terkuak Rekam Medis Dosen Untag yang Tewas di Hotel, Keluarga Kaget Bisa Satu KK dengan AKBP B
