Pelecehan Siswa SMP di Jambi

Ibu Bermotor Butut itu Surati MA demi Keadilan tuk Anaknya yang Dinodai Oknum ASN Jambi

Dalam surat yang dikirimnya, keputusan yang diambil hakim justru menguntungkan terdakwa dan mengabaikan kondisi psikologis korban masih berusia anak.

Penulis: Rifani Halim | Editor: Mareza Sutan AJ
Tribunjambi.com/Rifani Halim
KIRIM SURAT - Imelda, ibu korban tindak asusila yang dilakukan oknum ASN di Jambi menuntut keadilan dengan mengirim surat ke Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial, Selasa (29/7/2025). 

"Karena hakim itu tidak menggunakan Undang-Undang Perlindungan Anak. Kami minta Pengadilan Tinggi memutuskan sesuai hukum perlindungan anak."
~ Imelda, Ibu Korban.

TRIBUNJAMBI.COM, JAMBI - Dengan motor matik hitam butut, Imelda melaju seorang diri ke kantor pos Telanaipura, Kota Jambi, Selasa (29/7/2025) siang.

Tergantung sebuah tas kain tipis berwarna kuning. Isinya, sederet surat pengaduan yang ditujukan kepada Mahkamah Agung (MA), Komisi Yudisial (KY), Gubernur Jambi, dan sejumlah lembaga negara.

Semuanya demi mencari keadilan untuk anaknya, A (14) yang menjadi korban pelecehan seksual oknum ASN Pemerintah Provinsi Jambi bernama Rizky Aprianto alias Yanto.

Ia mengirim surat-surat itu sebagai bentuk kekecewaannya terhadap putusan majelis hakim Pengadilan Negeri Jambi yang memvonis ringan pelaku dengan hukuman dua tahun penjara.

“Iya, karena hakim itu tidak menggunakan Undang-Undang Perlindungan Anak. Kami minta Pengadilan Tinggi memutuskan sesuai hukum perlindungan anak,” kata Imelda.

Imelda menilai hakim tidak profesional dan tidak adil dalam memutus perkara.

Ia mengadukan dugaan pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku hakim dalam perkara nomor 157/Pid.Sus/2025/PN Jambi.

Dalam surat yang dikirimnya, keputusan yang diambil hakim justru menguntungkan terdakwa dan mengabaikan kondisi psikologis korban yang masih berusia anak.

Selain itu, ia juga menyoroti pernyataan hakim dalam persidangan yang dinilai menyudutkan anaknya.

Kalimat seperti “kamu suka melawan orang tua ya, Le” dan “kamu buta warna ya”, dianggap tidak pantas diucapkan kepada saksi korban yang masih trauma.

Tak hanya itu, Imelda menyebut ada perbedaan antara amar putusan yang dibacakan di ruang sidang dengan salinan putusan tertulis.

Dalam persidangan, terdakwa dijatuhi hukuman penjara dua tahun dengan masa percobaan, namun dalam putusan tertulis, frasa “dengan masa percobaan” justru tidak tercantum.

Kekecewaan juga bertambah karena hakim hanya menggunakan dakwaan kedua dari jaksa, yakni Pasal 6 huruf A UU No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.

Padahal, dakwaan pertama jauh lebih berat, yaitu Pasal 82 ayat (1) UU No. 17 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak, yang mestinya lebih relevan mengingat korban masih di bawah umur.

Halaman
123
Sumber: Tribun Jambi
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved