Ini yang Bakal Terjadi di Jambi Jika Pemerintah Terapkan PPN 12 Persen, yang Paham Menolak
Namun, ada juga masyarakat yang belum mengetahui kebijakan PPN 12 persen tersebut dan dampaknya.
Penulis: M Yon Rinaldi | Editor: Duanto AS
TRIBUNJAMBI.COM, JAMBI - Sebagian kalangan di Jambi yang mengetahui dampak kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen pada 2025, menolak.
Namun, ada juga masyarakat yang belum mengetahui kebijakan PPN 12 persen tersebut dan dampaknya.
Pemerintah Republik Indonesia menetapkan PPN 12 persen tahun depan. Kalangan pekerja informal dan pedagang di Jambi menolaknya.
Ijal, pedagang makanan ringan keliling di area Kantor DPRD Provinsi Jambi, menuturkan pajak tersebut secara tidak langsung berimbas pada usahanya.
Secara tidak langsung, dia harus menaikan harga dagangan, apalagi mengunakan QRIS untuk metode pembayaran.
"QRIS kan kena pajak juga, ya, 12 persen lagi, otomatis akan mempengaruhi harga jual ke konsumen," ujarnya Senin (23/12/2024).
Ijal juga mengkhawatirkan naiknya harga bahan baku, secara tidak langsung mempengaruhi harga jual dagangannya.
Ada efek domino dari seluruh harga barang yang berujung tingginya harga jual ke konsumen.
Untuk itu, ia sangat mengeluhkan adanya kenaikan PPN 12 persen.
"Kalau bisa jangan sampai baiklah, gimana nasib kami rakyat kecil ini," pungkasnya.
Pemilik warung makan Sop Pak De di Jalan Baru Telanai, Kota Jambi, juga mengeluh.
Menurutnya, saat ini penjualan masih sangat sepi, apalagi jika nanti PPN naik menjadi 12 persen.
"Sekarang saja penjualan susah, bang. Abang liat saja, sekarang sepi kan, padahal sudah jam makan siang. Dulu warung saya ini ramai sekali, bang," ujarnya.
Tak Semua Kalangan Paham
Tidak semua pekerja informal di Kota Jambi paham dampak dari kenaikan pajak.
Bahkan, ada yang tidak mengetahui adanya kenaikan PPN jadi 12 persen tahun depan.
Tiar pekerja bangunan mengatakan baru mendengar adanya kenaikan PPN 12 persen oleh pemerintah. Bahkan ia malah bertanya apa dampaknya bagi masyakat.
"Aku nggak tahu, bang. Jadi apa pengaruhnya untuk kita?" ujarnya.
Berbeda lagi dengan Budi, pekerja sablon di Kota Jambi. Dia mengetahui adanya berita kenaikan PPN 12 persen, tapi ia tidak peduli.
"Kemarin saya baca tentang itu, tapikan cuma untuk barang mewah," ujarnya.
Waktu diberitahu harga bahwa pulsa, mi instan juga akan dikenakan pajak 12 persen, Budi berkelit dan mengatakan bahwa itu tidak benar.
"Menteri keuangan bilang cuma barang mewah dan premium saja. Mi instan dan pulsa itu bukan barang mewah. Kalau mobil, mungkin lah," ujarnya dengan sangat yakin.
Ia juga juga tidak khawatir jika kenaikan PPN manjadi 12 persen akan mengakibatkan inflasi di masyakat.
"Aku dak kawatir inflasi, bang, aku punya utang, otomatis utang aku jadi kecik," ujarnya percaya diri.
Guru dan Karyawan Swasta Bicara
Kalangan guru dan karyawan swasta di Kota Jambi pun keberatan.
Hardi, karyawan perusahaan di bidang distribusi produk kesehatan, mengatakan kebijakan pemerintah yang menaikan PPN tahun depan merupakan kebijakan yang tidak tepat.
Itu karena perekonomian Indonesia, khususnya Jambi, yang dalam kondisi tidak baik-baik saja. Daya beli masyarakat juga tidak begitu baik.
"Kondisi ekonomi kita saat ini belum sepenuhnya baik dan tidak stabil, kebijakan ini tentu akan sangat mempengaruhi penjualan," ujarnya.
Dia merasa heran dengan kebijakan PPN 12 persen ini.
Awalnya hanya menyasar barang mewah, tapi dalam perjalanannya, pulsa hingga mi instan juga terkena kenaikan PPN.
"Kebijakan ini secara tidak langsung, pemerintah mengangkat harkat dan derajat masyarakat Indonesia, sehingga tidak ada lagi golongan masyakat miskin," ujarnya dengan nada sindiran.
Hardi juga mempertanyakan diberikannya subsidi pada kendaraan listrik, dimana menurutnya tidak semua masyarakat membutuhkan barang tersebut.
Sementara barang yang sangat dibutuhkan masyakat khususnya untuk mendukung perekonomian malah tidak diperhatikan, bahkan ia curiga ada permainan perang dagang yang merugikan masyakat.
Namun ia paham bentul dengan adanya kenaikan pajak ini mengigat hutang Indonesia yang sudah cukup besar saat ini.
"Aku paham sih, kenaikan pajak ini untuk menutup beban utang kita yang sudah kelewat besar. Namun kenapa tidak ada upaya lain," ujarnya.
Menurut Hardi, daripada menambah beban pajak kenapa tidak memaksimalkan potensi kebocoran pajak oleh perusahaan.
Saat ini masih banyak perusahan yang tidak jujur dalam pembayaran pajak, hal ini karena tingginya beban pajak di satu sisi perekonomian tidak stabil.
Dengan naiknya PPN ini bukan tidak mungkin banyak perusahan yang mencoba mengakali pembayaran pajak mereka, beberapa mungkin hanya sebagai upaya untuk bertahan dari kondisi saat ini.
"Kenapa pajak ini seakan menyasar rakyat kecil. Coba deh cek perusahan besar dan audit kantor pajak, saya yakin banyak ditemukan Kecurangan jika di lakukan dengan benar," ungkapnya.
Hal senada juga disampaikan Aisya, guru sebuah sekolah swasta di Kota Jambi. Di sangat menyayangkan naiknya PPN tahun depan.
Sebagai guru swasta yang penghasilannya tidak sebesar guru negeri, itu akan sangat terdampak.
Ia menyoroti beberapa pemberitaan akhir-akhir ini, dimana harga pulsa hingga mi instan ikut terkena dampak kenaikan PPN.
Bagi seorang guru, pulsa itu seperti kebutuhan dasar sebagai alat komunikasi dengan siswa maupun wali murid.
Itu untuk menambah wawasan hingga membuat bahan ajar sangat perlu browsing di internet.
"Dunia kita tidak bisa dipisahkan dari kuota internet dan pulsa. Di sanalah kita menambah wawasan untuk membentuk karakter anak," ujarnya.
Sementara itu, lanjut Aisyah, sebagai guru swasta dengan pendapatan yang tidak seberapa tentu mi instan sangat membantu di kala tanggal tua.
"Kalau besok anak anak dapat makan siang gratis bergizi, gurunya mungkin makan mi instan saja harus mikir," ujarnya.
Biaya Transaksi Bakal Dibebankan ke Penjual
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menyatakan, pengenaan biaya transaksi melalui Quick Response Code Indonesia Standard (QRIS) sebesar 12 persen akan dibebankan pada penjual atau gerai-gerai pelaku usaha.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Hubungan Mayarakat DJP, Dwi Astuti mengatakan, kebijakan itu sejalan dengan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 69 Tahun 2022 tentang Pajak Penghasilan dan Pajak Pertambahan Nilai atas Penyelenggaraan Teknologi Finansial.
Menurutnya, melalui PMK tersebut pengenaan PPN hanya Merchant Discount Rate (MDR) yang dipungut oleh penyelenggara jasa dari pemilik merchant.
"Jadi selama ini, jasa atas transaksi uang elektronik dan dompet digital sudah dikenakan PPN. Jadi itu di PMK 69/2022," kata Dwi dalam Konferensi Pers di Kantornya, Senin (23/12).
Sayangnya, Dwi enggan menjelaskan lebih rinci presentase kenaikan biaya transaksi untuk sekali pakai menggunakan Qris.
Dia hanya menekankan bahwa pengenaan pajak 12 persen itu untuk MDR. (tribunnews/nitis)
Baca juga: Daftar 6 Kota Kabupaten Baru di Jambi yang Diisukan Bakal Terpisah, Tabir Raya hingga Sungai Bahar
Baca juga: Kalender 2025 Lengkap 27 Hari Libur Nasional dan Cuti Bersama
Pemakaian QRIS di Jambi Belum Optimal, Juru Parkir Ungkap Penyebabnya |
![]() |
---|
Beli Helm Pakai QRIS Palsu, Polisi di Jabar Dipecat, Pernah Tipu Orang Rp3,23 M Untuk Urus Perkara |
![]() |
---|
Cara Mengisi QRIS untuk Bayar Parkir di Kota Jambi, Cara Mudah, Praktis dan Anti Pungli |
![]() |
---|
Juru Parkir di Jambi Nilai QRIS Masih Sulit Diterapkan, Pengguna Belum Paham |
![]() |
---|
QRIS Sudah Diterapkan, Tapi Sebagian Parkir di Tugu Keris dan Mayang Jambi Masih Manual |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.