Advertorial
Ngiling Bumbu di Rumah Tuo, Simbol Ketahanan Pangan dan Interaksi Muda-Mudi
Suara batu saling beradu diiringi gelak tawa bujang dan gadis di halaman Rumah Tuo, Desa Rantau Panjang, Kecamatan Tabir, Kabupaten Merangin, 27 Juli
Tradisi ini mengantar generasi muda memahami pentingnya ketahanan pangan dan kearifan lokal.
Mereka belajar untuk memanfaatkan sumber daya alam secara berkelanjutan.
Ngiling bumbu telah berlangsung turun-temurun di Rumah Tuo yang berusia hingga 700 tahun.
Tradisi ini diadakan pada berbagai kesempatan penting seperti saat hendak turun ke ladang, panen, pernikahan, kematian, atau pembangunan rumah baru.
Di dalamnya terkandung nilai-nilai kebersamaan, solidaritas, dan kerja sama.
Ramuini (19) peserta ritual ngiling bumbu yang masih bersekolah di SMAN 2 Merangin bilang ritual ngiling bumbu tidak lagi dirayakan menjadi ajang silaturahmi muda-mudi, seiring dengan perkembangan zaman dan teknologi.
“Sekarang ngiling bumbu hanya bagian dari masak-masak saat beselang berlangsung. Dan itu dilakukan oleh induk-induk (ibu) bukan muda-mudi. Ajang perkenalan juga sekarang di HP bae,” katanya.
Selain bagian tradisi gotong royong (beselang), ngiling bumbu merupakan bagian mempererat tali silaturahmi dan perkenalan muda-mudi yang dikenal dengan istilah Ba usik sirih bergurau pinang yang artinya menjadi pertemuan jodoh antara pemuda dan pemudi.
“Eee, Bong eh
Dari Mano hendak kemano
Dari jepun ke bando cino
Dado salah abong betanyo
Adik nak malang Miah namonyo
Setelah bumbu selesai digiling, biasanya induk-induk akan lanjut tradisi ngukuih yang artinya memasak gulai belut bercampur dengan gulai pakis.
Aromanya memanggil lambung yang sedang lapar untuk segera diisi.