Advertorial
Ngiling Bumbu di Rumah Tuo, Simbol Ketahanan Pangan dan Interaksi Muda-Mudi
Suara batu saling beradu diiringi gelak tawa bujang dan gadis di halaman Rumah Tuo, Desa Rantau Panjang, Kecamatan Tabir, Kabupaten Merangin, 27 Juli
TRIBUNJAMBI.COM - Suara batu saling beradu diiringi gelak tawa bujang dan gadis di halaman Rumah Tuo, Desa Rantau Panjang, Kecamatan Tabir, Kabupaten Merangin, 27 Juli 2024.
Miah (18), bersenda gurau dengan teman-teman sebaya sembari sibuk mengukur buah-buah kelapa.
Tak jauh darinya, berbaris wadah dan alat tumbuk. Bumbu masakan siap digiling.
Mereka terdiri dari berbagai rempah seperti jahe, kunyit, lengkuas, serai, dan daun-daunan yang dicampur dengan cabai.
Bahan-bahan ini diperoleh dari ladang di sepanjang Sungai Lamuih, anak Sungai Semanyung yang bermuara ke Sungai Tabir berujung ke Sungai Batanghari.
Para gadis pun menumbuk berbagai rempah, sementara para pemuda melantunkan pantun:
“Batang salih di tepi rimbo
Rebah sebatang ke dalam payo
Kalun bulih abong betanyo
Kak Baju abang siapo namo?”

Pantun disambut bersahut-sahutan. Diawali dengan perkenalan nama.
Selanjutnya para bujang akan memberikan belut atau ikan hasil tangkapan yang mereka peroleh dari sawah untuk dimasak dengan bumbu yang telah digiling.
Belut menjadi simbol kekuatan maskulinitas.
Mancing belut pun menjadi tradisi perlombaan untuk menentukan kemahiran dan kegagahan laki-laki.
Kegiatan ini mengajarkan kerja sama tim dan keterampilan menangkap belut yang merupakan bagian dari kehidupan agraris masyarakat Tabir.