WAWANCARA EKSKLUSIF

Hubungan Pegi dengan Sudirman Patut Dicurigai, Mantan Kabareskrim, Ito Sumardi, Seri I

Di media sosial beredar video Pegi sebelum sidang praperadilan yang mengatakan tidak sama sekali mengenal para tersangka.

Editor: Duanto AS
TRIBUNNEWS/LENDY RAMADHAN
TELUSURI KASUS - Mantan Kabareskrim Polri, Komjen Pol (Purn) Ito Sumardi (kiri), melakukan sesi wawancara eksklusif dengan Direktur Pemberitaan Tribun Network, Febby Mahedra Putra (kanan) di Studio Tribun Network, Jakarta Pusat, Kamis (25/7). 

Setelah tiga hari ditangani di polres, ditarik oleh pak kapolda waktu itu, kenapa? Supaya tidak ada conflict of interest, karena Rudiana ini kan tugas di polres, yang mati itu adalah anaknya. Makanya ditariklah ke polda.

Kan ini satu upaya yang bagus supaya objektif kan. Nah, kemudian dari sana setelah diproses, pertanyaan saya lagi seorang Rudiana yang pangkatnya masih Iptu bintangnya tinggi waktu itu apa bisa mempengaruhi hakim, apalagi dia menentukan orang-orang yang dia tidak kenal supaya mendapatkan hukuman yang istilahnya merampas masa depan mereka. Hukuman seumur hidup ini kan merampas masa depan mereka. Apa mungkin seorang Rudiana demikian.

Nah, tentunya ini kan harus dibuktikan saya juga tidak mengatakan Rudiana benar, saya juga tidak mengatakan dari mereka ini benar kita uji saja di pengadilan. Jadi saya kira apapun hasil dari pengadilan harus kita hormati.

Kalau memang ketujuh tersangka itu terpidana itu mereka tidak bersalah wajib dilepaskan. Itu adalah merupakan hak asasi manusia. Berarti ada satu sistem penegakan hukum yang mungkin perlu dikaji ulang atau perlu dianalisis kenapa bisa terjadi.

Tapi kalau memang mereka bersalah, ya, harus menerimalah itu kan. Jadi saya melihat bahwa banyak pendapat-pendapat yang mungkin menurut saya itu berdasarkan versinya kurang objektif.

Pak Ito tadi menyebut bahwa berdasarkan pengakuan Pak Rudiana, dia melakukan pengamanan kepada orang-orang itu delapan orang. Dan ada cerita bahwa sebelum diserahkan kepada reserse umum, dia periksa dulu di narkoba. Di situlah kemudian muncullah kemudian laporan panjang. Menurut beberapa tangan bahwa di LP-nya itu gak wajar karena berparagraf-paragraf dalam laporan itu seolah-olah Pak Rudiana ini adalah orang yang melihat kejadian itu. Menurut yang Pak Ito ketahui bagaimana?

Rudiana itu kan mendapatkan identitas, mereka berdelapan, ya, berdelapan, itu kan dari saksi ini kan dua orang, Dede. Menurut pengakuan, bukan menurut saya loh, ya.

Tentunya dia juga hati-hati karena kalau tidak ada konsekuensinya, dia menangkap orang yang bisa berkakibat kepada pelanggaran kode etik, sehingga ini sudah didalami oleh Tim Irwasum. Jadi pada saat Pak Kapolri mengatakan ada kejanggalan, diturunkanlah Bareskrim, Irwasum yang memeriksa itu bekas sekpri saya, jadi beliau itu gak mungkin lah ngebohong dan dia memang orang reserse.

Kemudian dari Propam juga diperiksa, sehingga kan waktu itu sempat Pak Kadiv Humas Mabes Polri mengatakan hasil pemeriksaan tidak terdapat pelanggaran kode etik. Karena Rudiana waktu itu memeriksa orang itu secara naluri adalah meskipun secara kedinasan ini juga merupakan sesuatu yang tidak benar. Tapi kan dia mengamankan orang ini ingin diyakin apakah orang-orang ini memang bersalah atau tidak gitu, sebelum diserahkan ke penyidik.

Itu kan saya kira satu hal yang bagus daripada nangkap orang menyerahkan tahu-tahu salah. Kalau salah kan Rudiana bisa kena kode etik.

Nah, dari situlah dia menyerahkan, sambil difoto, satu-satu fotonya ada. Semuanya dalam keadaan mulus. Nah, pada saat dimasukkan ke polda itulah kemudian di penjara itu, istilahnya ada tindakan kekerasan, yang akhirnya muncullah foto-foto dulu.

Sehingga dari foto-foto itu dilaporkan kemudian, dari tim Propam Polda melakukan penyelidikan, akhirnya 16 orang itu semua ditindak. Ya, baik dari tahanan, kemudian dari fungsi-fungsi yang terkait dengan tahanan, itu ada 16 orang. Datanya ada di Polda, bisa dilihat. Sehingga di sini adalah muncullah sekarang di-framing seolah-olah Rudiana memeriksa. Kemudian disiksa. Ini sudah menjadi bahan yang dilakukan eksaminasi oleh Mabes Polri setelah Pak Kapolri memerintahkan turun dikawal oleh Kompolnas.

Saya kebetulan kan dekat dengan teman-teman, beberapa teman di Kompolnas. Saya juga selalu bertanya, apa sih yang sebenarnya terjadi supaya kalau kita bicara jangan asal ngomong, jangan asal kita membuat versi sendiri, yakin-yakin padahal kita gak tahu apa yang terjadi.

Saya punya akses penuh, Pak, 100 persen saya punya akses penuh baik di polda maupun di Mabes Polri. Sehingga untuk saya berbicara itu adalah bagaimana saya menyampaikan fakta.

Nah, sekarang orang bilang kan, kenapa Polri kok diam saja. Kalau Polri bicara, ada kesan membela diri. Tentunya ini kan juga gak bagus, karena kan menyangkut satu orang sedang dinas kan ini kan masih polisi aktif. Orang bilang kenapa Rudiana tidak muncul, Rudiana ini polisi aktif.

Untuk dia bisa berbicara atau melakukan sesuatu di luar daripada penugasan dia, dia harus dapat izin pimpinan. Dan pimpinan akan menentukan apakah itu urgensinya terhadap tugas dia. Sehingga selama ini tidak muncul. Nah, sekarang, saya tanya, kenapa kok kamu sekarang memakai penasihat hukum pak, saya tidak punya uang, saya cuma seorang iptu, uang dari mana.
Sampai ada tiba-tiba orang menawarkan kepada saya sekarang penasihat hukumnya kepada Pak Rudiana, Bu Elsa Pak Fitra dan sebagainya.

Setelah itu, barulah saya ceritakan dan itu adalah Rudiana menceritakan sebagai seorang manusia biasa bukan sebagai polisi. Jadi tolong, ini juga dimaknai bahwa dia juga punya hak untuk bisa menentukan keadilan atas kematian anaknya.
Nah, saya kira itulah yang mungkin perlu menjawab kenapa selama ini, Rudiana seolah-olah melarikan diri, mungkin dia lari, dia polisi aktif, bisa-bisa dipecat.

Jadi dia tuh selama ini, menurut Rudiana, dia melihat TV tuh dia sedih. Saya berkali-kali menangis, demi Tuhan, dia ngomong gitu. Kenapa? Saya diperlakukan tidak adil, padahal saya kehilangan anak saya. Anak kandung siapa, apakah orang yang mau anaknya meninggal.

Tentunya dia ingin mendapat keadilan, dia ingin mendapatkan kepastian hukum dan dia juga kan gak kenal dengan tujuh orang atau delapan orang. Nah, kalau misalnya itu dibebaskan, mungkin buat Rudiana waktu itu sudah selesai. Tinggal nyari lagi siapa pelaku utamanya. Pelaku yang sebenarnya siapa.

Mungkin ini masih episodenya jadi agak panjang saya kira. Kita serahkan saja pada proses hukum yang berlaku.

Pak Ito, ini supaya clear and clean. Kdang-kadang kita itu mendapatkan satu persepsi yang salah. Jadi Pak Ito tadi mengatakan bahwa sebenarnya dalam proses penyidikan, polisi ini sudah menghindari conflict of interest dengan cara penyidikan diambil alih oleh Polda Jabar, karena muncul anggapan seolah-olah yang menyidik itu Polres Cirebon lalu Pak Rudiana ini ikut intervensi dalam proses penyidikan. Dan kemudian ikut-ikutlah Pak Cawe-cawe, kalau di istilah kita. Ternyata, tadi, tidak. Tidak mungkin seorang yang perwira iptu kemudian bisa mempengaruhi penyidik yang ada di polda. Pak Ito tadi menyebut bahwa ada satu proses yang perlu dicermati terkait dengan Sudirman dan Peggy. Karena banyak orang mengatakan Peggy Setiawan yang disebut oleh Sudirman kemudian dimunculkan dalam DPO mempunyai ciri-ciri yang tidak sama dengan Peggy Setiawan. Ini gimana?

Ini supaya clear jelas, ya, saya tentunya harus menanyakan kepada penyidik dalam kapasitasnya sebagai pensiunan. Kebetulan saya juga Ketua Ikatan Sarjana Profesi Perpolisian Indonesia. Saya sudah hampir tiga tahun saya punya akses ke bawah seperti teman saya Pak Beni Mamoto di Kompolnas. Dan Pak Beni juga ikut Lihat disana menanyakan, sekarang kamu menentukan bahwa Peggy Setiawan itu sebagai tersangka dari mana, keterangan menurut Sudirman.

Sehingga pada saat ditemukan antara Peggy dengan Sudirman, Peggy mengatakan dia tidak mengenal Sudirman. Itulah yang dijadikan oleh mereka mengajukan prapradilan.

Bahwa ada polisi salah tangkap, error in persona dan lain sebagainya, itu proses hukum yang harus kita terima. Kemudian di sana kan hanya sayangnya ada jejak digital yang mengatakan bahwa Peggy itu tidak mengenal semua tersangka. Termasuk Sudirman.

Padahal Sudirman yang menjadikan Pegi itu seolah-olah tersangka yang tadinya di penyidikan itu adalah dia katakan ciri-cirinya ini, pada saat ditunjukkan melalui sesuatu media yang dia tidak lihat, itu Pegi bukan dia Pak, Pegi itu. Sehingga penyidikan yakin, kan tidak mungkin penyidik itu menunjuk seseorang yang tidak dikenal oleh sumber yang Sudirman. Nah setelah prapradilan selesai, muncul lagi satu jejak digital yaitu video yang mengatakan dia kenal Sudirman itu teman sekolah, teman itu.

Nah, ini kan ada sesuatu yang tentunya saya mengajak. Ada sesuatu yang selama ini tidak jujur gitu. Kalau tidak jujur sampai menjadi satu keputusan pengadilan itu kan berarti kan ini ada sesuatu, apa namanya, keputusan yang salah gitu kan.

Sama juga dengan misalnya, misalnya memang betul ternyata ini tujuh terpidana dengan Saka Tatal ini, misalnya dinyatakan dia tidak bersalah. Berarti kan ada satu keputusan pengadilan yang salah. Tapi tentunya itu juga harus melalui proses pembuktian, mencari kebenaran yang betul-betul objektif.

Pak Ito, artinya Pak Ito ingin mengatakan sebenarnya tugas polisi ini sudah kelar. Artinya untuk membuka tabir kematian dari Vina dan Eky ini kelar. Kalau mau membuktikan sebaliknya, ya, pihak lain harusnya melakukan sesuatu. Tapi ada pihak lain yang mengatakan justru ini polisi punya tugas baru. Gimana ini?

Gini, Mas, kita bicara masalah sistem pradilan pidana. CJS, criminal justice system, ya. Di sana adalah ada tiga lembaga yang bekerja secara berkesinambungan. Di hulu ya, itu adalah penyidikan.

Untuk bagaimana itu membuktikan adanya satu tindak pidana atau tidak. Dia hanya mengumpulkan bukti, mengumpulkan keterangan dan sebagainya. Di sini saja.

Kemudian masuk kepada lembaga penuntut. Penuntut yang bagaimana menentukan orang ini betul tidak terbukti dengan sangkaan pasal yang di penyidikan. Di sini nanti setelah terbukti maka dia buatlah, oh unsur-unsur pidananya memenuhi dan kemudian berat ringannya di sini adalah ada melalui pertimbangan jaksa, akhirnya jaksa menentukan tuntutannya, tuntutan hukumannya.

Kemudian setelah ini dibawalah ke peradilan. Sistem peradilan ini menghadirkan semua hakim itu menurut pasal 183 ayat (1) tidak bisa memutuskan kesalahan seseorang, menghukum seseorang tanpa ada minimal dua alat bukti yang sama dan keyakinan. Keyakinan hakim ini dah menentukan apa betul orang ini telah melakukan pembunuhan yang berencana.

Nah, di sini tugas polisi sudah selesai. Sudah selesai, tugas polisi gak bisa lagi. Jadi itu dasar hukumnya di mana, referensinya apa.

Nah, setelah ini sudah selesai, maka inilah keputusan harus bisa diterima dan diuji lagi. Melalui banding, melalui kasasi, melalui PK. Sekarang sedang trending kasus di Surabaya. Mungkin sudah, ya. Kasus Surabaya ada dugaan pembunuhan yang dilakukan oleh anak seorang mantan Anggota DPR. Kebetulan yang menangani adalah mantan ajudan saya, Wakaserse Polrestabes Surabaya.

Nah, divonis bebas. Bisa apa polisi? Kalau kasusnya si Rudiana ini, delapan orang divonis bebas,. Bsa apa kita? Kita kan sudah selesai tugas kita. Nah, yang di Surabaya tugas polisi sudah selesai. Nah, nanti tinggal jaksa, jaksa kan menuntut 12 tahun.
Nanti jaksa ngebanding, akan itu terserah. Tapi tugas polisi sudah selesai. Sehingga kalau dikatakan dalam proses penyedihkan itu banyak kelemahan.

Saya akui, banyak yang sebetulnya bisa membuat sesuatu tidak terbantahkan. Kalau dalam satu proses itu kita membuat, apa namanya, penyelidikannya itu kepada bukti-bukti yang tidak terbantahkan, tidak akan ada masalah ini. Sekarang kan banyak, kenapa kok tidak sidik jarinya? Tapi hakim, jaksa menganggap dengan bukti-bukti yang ada, itu sudah cukup.
Tadi kan minimal dua alat bukti, satu keyakinan, hakim dapat memutuskan satu perkara. (tribun network/reynas abdila)

Baca juga: Susno Duadji Sesalkan Kecerobohan di Kasus Afif Maulana, Seri II

Baca juga: Susno Duadji Puji Eman Sulaeman Hakim PN Bandung tak Terpengaruh Tekanan Kekuasaan, Seri I

Sumber: Tribunnews
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved