WAWANCARA EKSKLUSIF

Kisah Toleransi di Vatikan, Dewi Praswida Tunggu Paus Fransiskus 3 Jam Lalu Salaman, Seri I

Dewi kerap melihat umat Muslim yang melaksanakan salat di rerumputan, tetapi tidak dipermasalahkan. "Itu (salat) gak ada yang masalahin...

Editor: Duanto AS
TRIBUNNEWS/FRANSISKUS ADHIYUDA
Dewi Praswida, alumni penerima beasiswa Yayasan Nostra Aetate di Vatikan, seusai wawancara khusus di Studio Tribunnews, Palmerah, Jakarta, Selasa (11/6) malam. 

Kalau orang lain yang ingin bertemu, mungkin bisa menghubungi Romo Markus atau mungkin melalui kedutaan barangkali, ya.

Saya teknis detailnya barangkali berbeda setiap tahun.

Tapi beberapa teman yang bertemu dengan Paus itu, sejauh yang saya kenal tuh mereka biasanya dibantu dari Romo Markus.

Waktu pas Mbak nikah itu kan ada kiriman bunga dari Vatikan, katanya. Bagaimana sih ceritanya sampai bisa menjalin kedekatan seperti itu, sampai pas nikah juga masih, oh, ini nih, yang pernah salaman sama Paus. Gitu, ya?

Jadi saya masih terus menjalin komunikasi sih. Menjalin komunikasi itu kan gak harus kita chat dengan 24 per 7 gitu.

Misal, kadang ada apa gitu, saya cerita misalnya melalui Romo Markus dan beberapa teman saya yang tinggal di satu asrama itu, kebetulan mereka tuh sudah pada pindah semua kan.

Tapi kita masih berkomunikasi gitu. Kebetulan teman-teman saya yang saya kenal di sana itu, mereka gak suka nih punya grup WhatsApp, mereka lebih suka kayak Facebook gitu.

Jadi, meskipun kata orang, oh, sudah gak zamannya ini, saya tetap main, karena itu jadi media saya berkomunikasi dengan teman-teman.

Dan waktu itu kebetulan saya berkabar ke Romo Markus.

Jadi Romo Markus tuh ibadahnya sudah menganggap saya tuh seperti anaknya sendiri, mbak.

Beliau tuh selalu mengabarkan gimana kuliahnya, kerjanya nyaman gak dan sebagainya.

Waktu itu lalu saya mengabarkan Romo, doanya, ya, saya mau nikah gitu.

Saya kaget juga kok.

Kita balik lagi nih, waktu pas di Vatikan, itu suasananya gimana sih, mbak? Kan mbak ini sebagai seorang muslim, ya, terus berhijab juga gitu. Jadi kan agak sedikit mencolok gitu, ya. Tapi gimana sih rasanya pengalamannya waktu di sana?

Oke, kalau suasananya tentu berbeda, ya, mbak.

Tapi ada yang sama, yaitu toleransinya.

Indonesia ini kan sangat toleran, ya, bagi saya, ya.

Di Vatikan itu juga sangat toleran.

Ada hal yang menarik itu gini, di sana itu kan Romo Suster itu kan berseliweran, ya, istilahnya.

Maksudnya, ke mana-mana dan pakai collar, pakai pakaian identitas mereka lah gitu.

Jadi tempat tinggal saya itu di Biara Pasionis. Satu pekarangan sih, saya gak di pastoran tapi satu pekarangan gitu.

Itu dekat dengan Coloseum. Di Coloseum itu kan banyak orang jual cendera mata gitu lah.

Nah, ternyata yang jualannya itu ada orang Afrika dan orang Asia.

Yang orang Asia, ini rata-rata Muslim.

Saya tuh setiap pulang dari kampus atau pulang dari mana yang waktu siang gitu, saya sering melihat mereka tuh salat di halaman, bukan halaman, ya.

Kayak ada rumputan gitu loh di seberang Coloseum. Itu gak ada yang masalahin. Jadi menurut saya, bagus lah.

Maksudnya, di sana itu kan benar-benar pusat kekristenan, ya.

Khususnya hari ini adalah Katolik.

Tapi seperti itu gak masalah.

Bahkan kalau kita bicara jilbab, Itu tidak hanya orang Islam yang berjilbab.

Saya tuh pernah mengunjungi gereja ortodok Rusia.

Itu yang membuat saya menarik adalah suatu ketika saya tuh di salah satu kampus di dekat Vatikan.

Kok bersama seorang romo dari Kupang, namanya Romo Lew itu.

Nanya, ‘romo itu kok kayak ada kubah, ya?

Itu masjid, ya?

Ya, enggak kok, dia masa masjidnya di dekat sini.

Masjidnya memang agak jauh gitu.

Lalu saya penasaran.

Saya mengajak teman saya.

Itu dari Afrika juga teman saya.

Saya jalan nih ke sana.

Saya masuk, saya kaget.

Suster yang di gereja ortodok Rusia itu.

Syari banget jilbabnya.

Itu bener-bener jilbab sampai bawah yang warna hitam.

Bahkan saya saja kalah syari sama suster itu.

Kalau istilahnya kan yang pakai jilbab besar, yang warna hitam gitu.

Jadi kalau berbicara jilbab, belum tentu yang berjilbab orang Islam itu.

Ternyata sangat toleran sekali, ya, gitu, ya. Di sini saja, kayaknya kalau misalkan kita salat di tengah-tengah gitu, memang agak diliatin. Kalau di sana enggak, ya, mbak?

Enggak, mungkin orang tuh, dugaan saya, orang di sana tuh mungkin, selama kamu nggak ganggu orang, nggak bikin kerusakan, bahkan, apa.

Selain itu, ya, saya tuh pernah suatu ketika jalan-jalan gitu kan, saya numpang berteduh di gereja gitu, itu juga tidak menjadi soal gitu, tidak pernah dipermasalahkan sih. (tribun network/reynas abdila)

Baca juga: Deni Iskandar Murid Abuya Muhtadi Belajar Gereja Katolik di Vatikan, Ketemu Paus Fransiskus, Seri II

Baca juga: Kisah Mgr Pius Datubara Makan Bersama Paus Yohanes Paulus II Saat ke Medan

Sumber: Tribunnews
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved