WAWANCARA EKSKLUSIF

Terungkap Penyebab Suara Partai Gelora di Pemlilu 2024 tak Signifikan, Fahri Hamzah, Seri II

"Itu lagi-lagi bagian dari prerogatif yang enggak usah kita ganggu-ganggu. Karena itu adalah wilayah presiden. Pak Prabowo itu seorang kesatria"

Editor: Duanto AS
Ist/ Kolase Tribun Jambi
Fahri Hamzah,Wakil Ketua Umum Partai Gelora. 

Satu. Yang kedua, saya bukan anggota DPR. Kita sudah milih anggota DPR. Terus apa terjadinya mereka? Kalau dia nggak berantuan kritik terhadap pemerintah.

Nah, yang begini nih, mas, yang sulit dipahami karena teman-teman kita. Berada di tempat yang sama. Yang kira-kira dia tidak paham, bahwa dinamika dalam politik itu memang seperti itu. Kalau orang itu sudah berkongsi. Tidak boleh biasa-biasa.

Ini pertanyaan konyol, apakah sebenarnya, apakah Anda pernah membaca kolom komentar Facebook bahwa hampir semuanya haters?

Saya bersyukur bahwa saya pindah dari imajinasi orang yang salah tentang saya. Yang sederhana. Yang dianggap harus selalu melawan saya. Dan seolah-olah saya tidak boleh berkongsi.

Pembangunan pemerintahan yang baik. Sehingga orang-orang seperti itu. Yang belum paham tentunya. Yang sekarang ini dalam posisi seperti itu. Saya yakin mereka sedang mengalami perasaan pendidikan politik. Mereka tidak paham. Padahal dia ada dalam satu pertarungan. Dia harus memiliki kawan. Dan karena dia memiliki kawan. Jadi dia tidak boleh menyerahkan kawan. Saya kira orang akan mengalami pencerahan dalam hal itu. Dan itu nanti akan menandakan kedewasaan kita dalam hal politik.

Jadi, Pak Fahri melihat komen-komen haters di sosial media itu bagaimana?

Menikmati. Apalagi kan dalam agama. Katanya, kalau kita dimaki-maki sama orang, itu dapat pahala. Jadi kita harus nikmati. Bergembiralah karena banyak orang memaki-maki kita. Jadi kita dapat pahala. Bahkan dosa kita diambil.

Bang, apa benar pada waktu masa lalu, sebelum awal-awal mau pilih presiden. memang Pak Jokowi ini pernah menyampaikan gagasan sebuah koalisi gede antara merah, PDI Perjuangan, kemudian berupaya untuk menemukan Pak Prabowo dengan Mas Ganjar?

Dari awal, saya kalau ketemu dengan Pak Jokowi, terutama dia suka mengundang teman-teman Gelora berkali-kali, kita berdiskusi tentang pemerintahan prosesi politik. Belajar dari konflik-konflik elite. Dari awal berdirinya pemerintahan sampai hari ini. Bung Karno ke Pak Harto, itu putus.

Bahkan itu ada tragedi yang melahirkan satu order dan mematikan orde lainnya. Order Lama diganti oleh Orde Baru. Sampai hari ini terminologi itu masih ada. Saking dahsyatnya tragedi tahun 60-an itu.

Dari Pak Harto kepada Pak Habibie juga putus. Pak Habibie orang yang sangat dekat dengan Pak Harto, itu menjadi menjauh atau dijauhi oleh Pak Harto.

Dan Pak Habibie merasa sampai detik terakhir itu kesepian, tidak bisa mendekati Pak Harto. Tiap Pak Habibie mengantarkan kita pada pendiri yang baik. Dan kita bersyukur Pak Habibie mundur. Dia tidak mau mencalonkan diri.

Sehingga waktu lainnya mundur pada waktu itu memang ada sedikit konflik. Karena lahirnya konfigurasi politik baru yang mengalahkan partai pemenangnya yaitu PDIP.

Tapi, kita bisa bilang dari Ibu Mega kepada Pak Habibie juga baik. Konflik gini saja kan. Di situ dia sepenuhnya. Sehingga beliau mencari formula bagaimana agar elit-elit yang se-ideologis khusus. Yang harusnya tidak harus berpecah.

Yang harusnya tetap mengusung sesuatu yang sama itu bergantung. Nah, itulah yang dia jagaki sebenarnya. Kalau itu dibaca secara baik gitu, ya. Kalau itu dibaca dengan baik, kemarin pilpres akan jauh lebih mulus dari yang kita alami kemarin. Sebenarnya bisa lebih mulus. Lebih sederhana dan lebih mulus.

Tapi sayang tidak terkelola dengan baik. Tapi ya mudah-mudahan dengan terpilihnya Pak Prabowo. Yang juga merupakan salah satu kandidat yang juga Pak Jokowi akhirnya melihat ada harapan di situ. Sebagai presiden gitu. Mudah-mudahan pikiran Pak Jokowi untuk mendesain satu sistem yang tidak membiarkan transisi yang tegang. Seperti yang lalu-lalu apalagi munculnya tragedi. Saya kira akan jadi kenyataan.

Jadi betul, ya, bahwa Pak Jokowi awalnya menginginkan Pak Prabowo berpasangan dengan Mas Ganjar dulu?

Salah satu opsi favorit beliau.

Bahwa kemudian terjadi yang lain, mungkin, ya?

Ya, itulah yang akhirnya tidak terkomunikasikan dengan baik. Dan lagi-lagi itu karena ada sistem pecalonan juga di partai politik. Yang sekali lagi karena undang-undang mengatur threshold 20 persen. Akhirnya partai politik mengajak tiketnya adalah kekuatannya gitu. Padahal itu tidak boleh. Di masa depan itu hak rakyat untuk memilih dan dipilih adalah hak. Karena itulah threshold itu harusnya itu tidak menjadi privilege partai politik.

Tapi harus menjadi privilege rakyat untuk mengajukan orang yang dia inginkan. Dan itu ada kalau kita memakai sistem tampak threshold.

Harusnya dalam partai politik itu ada konvensi, ada pemilihan, sehingga keputusan itu betul-betul berasal dari pecalonan itu berasal atau nominasi itu berasal dari rakyat. Karena kalau tidak, ya, tiket itu nanti bisa dikuasai oleh orang lain.

Sebenarnya kalau dalam sistem seperti ini, kalau kita curiga kepada sistemnya, ya, kalau tiketnya sendiri kan bisa diborong oleh orang. Dan yang memborong itu kan bisa juga. Dua itu bisa diatur. Sehingga seperti hukum oligarki yang legendaris di negara-negara maju itu, oligarki mengatakan saya tidak peduli dengan pemilunya, tapi saya peduli dengan pecalonannya. Karena yang dicalonkan itu orang yang sudah diatur. Dan seharusnya kita lepaskan ini, biar rakyat yang mengatur nominasinya.

Paling tidak, kalau semua partai politik itu bisa melakukan nominasi, karena threshold-nya nol, maka semua gagasan itu di tahap awal itu bisa bertarung. Nanti di putaran kedua baru tinggal dua orang. Tapi proses bahwa semua orang hak dipilih dan memilihnya itu sudah dijalankan, sedangkan saya kira runtuhlah hukum oligarki. Itu yang kita perlu perbaiki ke depan sistemnya.

Menurut Anda, perlu tidak UU lembaga kepresidenan seperti dikatakan hakim MK dalam dissenting opinion-nya?

Mungkin perlu dibuat, tapi kita dulu pernah coba. Kesimpulannya terlalu rumit, karena kewenangan presiden itu terlalu luas. Sehingga tidak bisa diatur melalui sebuah undang-undang. Sehingga mungkin kalau mau diatur di masa yang akan datang, bisa. Tapi, mungkin pengaturan-pengaturan dasar saja tentang misalnya hubungan antar lembaga.

Misalnya mengatur transisi dari presiden satu ke presiden lain. Karena sekarang kan belum ada.
Bayangkan tanggal 14 Februari 2024 yang lalu, kita sudah tahu melalui quick count siapa yang menang. Tapi nanti baru dilantik tanggal 20 Oktober. Delapan bulan, mas.

Ada satu kekosongan gagasan hubungan antara presiden terpilih dengan incumbent. Untung kalau presiden terpilih dengan incumbent itu berasal dari satu gagasan atau ideologi yang sama. Atau ide yang sama. Bagaimana kalau berbeda? Ini kan bisa menciptakan pelik yang luar biasa. Dan kerumitan ini bisa membahayakan kita.

Nah hal-hal seperti itu bisa diatur dalam undang-undang kepresidenan. Kita pernah berdebat panjang dulu, itu rumit sekali.
Karena kewenangan presiden itu ada di mana-mana. Presiden kita ini kan juga eksekutif, tapi juga legislatif, tapi juga yudikatif. Kewenangannya d icabang kekuasaan lain ada. Apalagi di mana-mana. Saya kira itu. (tribun network/reynas abdila)

Baca juga: PKS Sebaiknya Tidak Masuk Kabinet Prabowo, Waketum Partai Gelora, Fahri Hamzah, Seri I

Baca juga: Nasib Jokowi Setelah Prabowo Jadi Presiden, Ketua Dewan Pakar PAN Dradjad Wibowo Seri I

Sumber: Tribunnews
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved