WAWANCARA EKSKLUSIF

Terungkap Penyebab Suara Partai Gelora di Pemlilu 2024 tak Signifikan, Fahri Hamzah, Seri II

"Itu lagi-lagi bagian dari prerogatif yang enggak usah kita ganggu-ganggu. Karena itu adalah wilayah presiden. Pak Prabowo itu seorang kesatria"

Editor: Duanto AS
Ist/ Kolase Tribun Jambi
Fahri Hamzah,Wakil Ketua Umum Partai Gelora. 

Secara pribadi, apakah Abang tertarik menjadi bagian dari kabinet Prabowo-Gibran?

Pertama-tama, itu sekali lagi, ya. Saya sudah bekerja dalam politik perempat abad. Saya jadi anggota MPR pertama tahun 98. Ditelepon oleh Pak Habibie disuruh jadi anggota MPR lalu menjadi juru bicara waktu itu. Diminta oleh almarhum Hassan Betarum jadi juru bicara PPP waktu itu tahun 98. Jadi kalau kita hitung 98 sampai sekarang ini, ya, sudah seperempat abad lah. Artinya semua elite politik Indonesia tau lah kira-kira kapasitas saya sebagai kandang politik nasional.

Tahulah kapasitas saya yang akan dimanfaatkan di mana dan sebagainya. Saya kira Pak Prabowo juga paling tahu, karena saya secara pribadi sudah lama mengenal itu. Jadi dalam pengenalan itulah saya serahkan kepada para pimpinan kita untuk melakukan pemanfaatan atau tidak. Terhadap semua sumber daya politik yang ada di masyarakat kita. Apakah orang-orang seperti saya dianggap punya kompetensi atau tidak itu kita serahkan.

Tapi kalau diminta, oke saja berarti, ya?

Tapi struggle politik saya kan masuk politik kan. Memang orang masuk politik itu untuk apa? Untuk berkuasa. Masa kita masuk politik bukan untuk berkuasa.

Kita berperang itu kan untuk menang. Untuk merebut kekuasaan. Jadi ini sudah alurnya. Jadi jangan dilihat sebagai sesuatu yang berbeda begitu. Kita kadang-kadang ada orang berpolitik lalu kemudian berkampanye dia bilang harus kekuasaan. Padahal memang itu maksudnya.

Seperti ada orang makan, kita bilang rakus banget, gitu. Orang makan itu memang untuk supaya dia jangan lapar gitu. Bukan karena dia rakus, karena dia memang harus makan. Kira-kira begitulah nalarnya ini. Orang berpolitik, orang berkampanye untuk berkuasa.

Bang, kalau dilihat dalam posisi sekarang itu. Abang kan seringkali di dalam kehidupan sosial itu sering menyampaikan sesuatu, banyak orang menilai abang ini berubah dari dulu. Yang dari dulu kritis dari pemerintahan Jokowi, sekarang itu, kemudian belakangan itu, kemudian memberikan support. Bagaimana Abang menjawab kritik dari masyarakat?

Jadi ada dua dunia. Dunia akademik. Dunia yang netral. Para guru, profesor di kampus, di pesantren. Di sekolah-sekolah. Ini adalah dunia yang netral. Dunia saya ini bukan dunia yang netral. Ini adalah dunia yang bertarung.

Memilih kawan dan lawan. Misalnya dalam medan pertarungan itu. Saya dan anda tadinya bertengkar. Berperang.

Kalau dalam perang itu kita hampir saling bunuh. Tapi kalau dalam politik itu kita saling kritik. Kita saling hajarlah gagasannya. Tapi sekarang kita mengatakan. Mas Febby kita akan menghadapi musuh yang sama.

Sekarang kita kongsi. Apakah dalam perang boleh saya serang Anda? Kan tidak boleh. Nah, itulah yang di dunia akademik gagal didefinisikan.

Bahwa kalau saya berkongsi dengan anda dalam peperangan, aaya nggak boleh menyerang anda dalam perang dong.

Saya dengan Pak Jokowi berusaha untuk melihat Indonesia bersama-sama. Dalam satu kongsi. Bahkan waktu kita mendirikan Partai Gelora. Kita lapor kepada Pak Jokowi dan bilang.

Wah, ini bagus sekali gagasannya. Kalau gitu kita saling dukung. Kita sudah saling dukung, masa saya disuruh menyerang presiden.

Halaman
1234
Sumber: Tribunnews
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved