WAWANCARA EKSKLUSIF

Hilirisasi Sawit RI Perbanyak Nilai Tambah, Managing Director Sinar Mas, Saleh Husin Seri I

Saleh Husin yang kini merupakan Managing Director Sinar Mas, menilai potensi pemanfaatan sawit RI masih kurang optimal sehingga perlu dilakukan hiliri

Editor: Duanto AS
TRIBUNNEWS/LENDY RAMADHAN
Managing Director Sinar Mas, Saleh Husin (kiri), bersama Direktur Pemberitaan Tribun Network, Febby Mahendra Putra (kanan), di Studio Tribun Network, Jakarta Pusat, Selasa (5/3). 

Kalau ditahan di dalam negeri lalu salurannya ke mana, yaitu hilirisasi sawit.

Boleh dikatakan kunci utama kita bisa mengatur harga adalah dengan hilirisasi sawit?

Ya, hilirisasi sawit.

Sebetulnya ujung dari kita hilirisasi itu apa saja yang dihasilkan produknya?

Macam-macam turunan dari hilirisasi, bisa 70-80 produk. Misalnya untuk oil food (makanan), chemical (sabun, shampo).

Ada ketentuan makanan yang harus memakai CPO, jika dia memakai minyak nabati katakanlah cokelat dia akan lembek atau dia pakai soy bean sama akan lembek juga.

Bohong, kalau Eropa tidak butuh CPO. Dia pakai crude palm oil sehingga produk cokelatnya menjadi keras.

Negara-negara Eropa ikut mengampanyekan minyak sawit tidak bagus. Apa yang sebetulnya terjadi?

Jadi ini namanya persaingan dagang, kita bisa pelajari, selama ini mereka import CPO kita.

Selama ini mereka bikin turunan barang jadi, tapi kok mereka tidak teriak.

Padahal mereka bikin itu ada pabriknya punya banyak karyawan, sementara di dalam riset kita juga salah satu minyak nabati yang paling mudah dihilirisasi adalah CPO.

Karena angka iodium minyak nabati itu antara 50-55, tapi kalau minyak nabati yang lain itu di atas 100.

Sehingga agak sulit untuk di downstream. Artinya bisa tetapi costnya lebih mahal.

Jadi menurut Pak Saleh, kampanye negatif minyak sawit ini murni akibat perang dagang?

Bagaimana pun kita tahu, Eropa sebagai penghasil minyak nabati dunia.

Ada Amerika, Brasil, China (soybean), Ukraina, Rusia (bunga matahari) itu kan sama-sama minyak nabati.

Permasalahannya, mereka kan negara empat musim, jadi hanya bisa empat bulan memproduksi.

Sedangkan kita di Indonesia dan Malaysia bisa bekerja 12 bulan, sudah pasti costnya lebih murah.

Mau sampai kapanpun, mereka akan lebih mahal costnya.

Belum lagi tenaga kerja.

Untuk menghasilkan 1 ton minyak nabati dari soybean atau bunga matahari mereka membutuhkan lahan yang luas meski pun hasilnya sama.

Menurut penelitian Pak Saleh, apakah tanaman kelapa sawit ini merusak lingkungan karena terlalu besar meresap air?

Saya kira tidak. PT perkebunan sawit yang sudah beroperasi puluhan tahun di Sumatra itu tidak merusak lingkungan.

Bahwa ada isu kerusakan lingkungan, ya, namanya juga black campaign.

Namanya juga bagaimana cara menjatuhkan harga.

Apakah hilirisasi membuat produk jadi mempunyai dampak juga terhadap lingkungan?

Namanya hilirisasi pasti ada dampak kecil ataupun besar.

Tetapi, saya kira di industri sawit ini hampir semua dipakai, mulai dari tanaman, daun, batang hingga menjadi CPO sekarang bisa untuk pembangkit.

Di dalam disertasi Pak Saleh juga menegaskan bahwa CPO dapat mengurangi impor miyak kita nantinya, karena keberadaan bahan bakar biodiesel. Bagaimana penjelasannya?

Dengan kita membuat biodisel yang saat ini sudah B35, kita bisa menghemat devisa Rp161 triliun per tahun.

Artinya kita bisa hemat impor solar. Di samping itu juga kita menciptakan lapangan kerja luar biasa besar.

Dengan menggunakan biodiesel akhirnya kita menggunakan energi baru terbarukan tidak lagi menggunakan fosil. (tribun network/reynas abdila)

Baca juga: Analisis Politik, Jika Perolehan Suara PSI yang Meroket Diaudit, Diprediksi Seperti Ini Hasilnya

Baca juga: Kepala Seperti Ular Kobra, Harga Ikan Chana Puluhan Ribu hingga Jutaan Rupiah

Sumber: Tribunnews
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved