WAWANCARA EKSKLUSIF
Hilirisasi Sawit RI Perbanyak Nilai Tambah, Managing Director Sinar Mas, Saleh Husin Seri I
Saleh Husin yang kini merupakan Managing Director Sinar Mas, menilai potensi pemanfaatan sawit RI masih kurang optimal sehingga perlu dilakukan hiliri
MENTERI Perindustrian 2014-2016, Saleh Husin, membuat disertasi dengan judul Hilirisasi Industri Sawit untuk Memperkuat Perekonomian Nasional dan Meningkatkan Posisi Tawar Indonesia dalam Perdagangan Dunia.
Karya ilmiah itu dinyatakan lulus ujian doktor Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia (UI), predikat yudisium summa cumlaude dengan IPK 3,96.
Saleh Husin yang kini merupakan Managing Director Sinar Mas, menilai potensi pemanfaatan sawit RI masih kurang optimal sehingga perlu dilakukan hilirisasi untuk memperkuat produksi barang jadi di dalam negeri.
"Kita selama ini ekspor CPO (minyak mentah) terutama ke negara Eropa tapi justru mereka memanfaatkannya yaitu dengan mengekspor kembali ke negara lain menjadi barang jadi," ucapnya dalam wawancara di Kantor Tribun Network, Palmerah, Jakarta, Selasa (5/3).
Di samping itu, Saleh dalam risetnya juga sudah mempelajari bahwa setiap ekspor CPO ke negara lain itu dilakukan hilirisasi supaya menjadi nilai tambah.
Ada sekira 62 negara yang menikmati perdagangan sawit Indonesia baik masih CPO sampai barang setengah jadi.
Menurutnya, hal itu disayangkan padahal Indonesia bisa melakukan produksi di dalam negeri.
"Berangkat dari situ artinya penelitian saya tidak masuk ke dalam tanamannya tetapi after dari pada tumbuhan menjadi CPO lalu diturunkan menjadi produk barang jadi sehingga mendapatkan nilai tambah yang baik,” ucap Saleh yang juga Managing Director Sinarmas.
Sehingga melalui risetnya, dia berharap bisa memberikan masukan kepada pemerintahan agar menyediakan wadahnya bagi Industri kita.
Itu supaya Indonesia bisa mendapatkan nilai tambah devisa negara lebih besar bagi bangsa ke depan.
Berikut wawancara eksklusif Direktur Pemberitaan Tribun Network, Febby Mahendra Putra, dengan Saleh Husin.
Boleh diceritakan, mengapa Pak Saleh memilih tema hilirisasi industri sawit dan berapa lama melakukan riset untuk disertasi?
Waktu itu, kita mengalami masa pandemi di mana kita memiliki banyak waktu.
Akhirnya saya bertemu dengan sahabat, Mas Hasto (Sekjen PDI Perjuangan), kemudian saya diajak untuk kuliah lagi.
Kebetulan kami ambil kelas riset, saya pikir yang selama ini pernah jalani ketika masih di pemerintahan agar tidak hanya fokus ekspor minyak mentah (CPO) tapi kita kirim dalam bentuk barang jadi.
Atau paling tidak sudah ada turunan-turunannya.
Nah, kita selama ini ekspor CPO terutama ke negara Eropa tapi justru memanfaatkannya, yaitu dengan mengekspor kembali ke negara lain menjadi barang jadi.
Di samping itu kita juga sudah pelajari bahwa setiap ekspor CPO ke negara lain itu dilakukan hilirisasi oleh mereka supaya menjadi nilai tambah.
Dari riset yang kami teliti itu kami melihat bahwa ada sekitar 62 negara yang menikmati dari perdagangan sawit kita baik masih CPO sampai barang setengah jadi.
Menurut kami, itu sangat disayangkan padahal Indonesia bisa melakukan itu.
Berangkat dari situ artinya penelitian saya tidak masuk ke dalam tanamannya tetapi after dari pada tumbuhan menjadi CPO lalu diturunkan menjadi produk barang jadi sehingga mendapatkan nilai tambah yang baik.
Sehingga melalui riset ini, kami paling tidak bisa memberikan masukan kepada pemerintahan agar menyediakan wadahnya bagi Industri kita. Itu supaya Indonesia bisa mendapatkan nilai tambah yang lebih besar dari bangsa kita.
Kalau tidak, kita hanya boleh dibilang sebagai produsen terbesar namun yang justru mendapatkan keuntungan orang lain. Itu yang menjadi rugi bagi bangsa.
Saya tertarik riset Pak Saleh bahwa harga minyak sawit itu ditentukan oleh bursa di Malaysia dan Rotterdam. Mengapa begitu?
Saya kira, pertama, adalah mungkin mereka baik Malaysia dan Belanda sudah melakukan perdagangan sawit sejak lama.
Sehingga orang sudah terbiasa dengan bursa sawit kedua negara itu.
Tapi kita lihat Indonesia produksi kelapa sawitnya berkembang menjadi lebih besar dari Malaysia.
Saya kira sayang kalau kita menjadi pemain tebesar di satu sisi harga masih ditentukan oleh negara lain.
Harusnya hukum dagang kalau kita punya barang maka kita yang mengatur harga.
Kita ingin bisa menarik transaksi yang selama ini ditentukan di bursa Malaysia dan Rotterdam itu pindah ke bursa sawit Indonesia.
Ini menjadi tantangan karena tidak mudah memindahkan orang yang sudah terbiasa melakukan perdagangan di pasar A untuk pindah.
Mereka pasti akan tanya apa untungnya.
Di situlah perlu keterlibatan pemerintah sebagai pembuat kebijakan tentu cara menariknya dengan sentuhan insentif kepajakan atau kemudahan lainnya.
Atau mungkin dengan tawaran keuntungan apabila transaksi dalam jumlah tertentu.
Paling tidak, ada rancangan-rancangan harus dilakukan bagi pemerintah kita.
Indonesia akhirnya sudah meluncurkan bursa sawit CPO Indonesia pada 2023. Apakah itu tidak terlambat?
Sebenarnya bursa CPO Indonesia sudah lama ada, tapi, ya, hidup segan mati pun tak mau.
Sekarang baru diaktifkan lagi oleh Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan pada 23 Oktober 2023.
Saya mengharapkan tidak sekadar hanya di-launching tetapi harus diikuti dengan pemberian insentif.
Sebab akan percuma tanpa insentif orang tidak akan pindah transaksi.
Katakanlah pelaku sawit di Indonesia ini kita minta pindah ke bursa sawit kita mereka mesti bertanya apa keuntungannya.
Apakah kita tidak bisa mengatur harga sawit lebih baik karena ekspor minyak mentah Indonesia terlalu banyak?
Tidak juga. Artinya begini, kita harus bisa atur volumenya.
Kalau volume minyak mentah kita terlalu banjir otomatis harga akan turun.
Salah satu caranya mengatur volume dengan mengurangi sehingga harga akan ikut naik.
Kalau ditahan di dalam negeri lalu salurannya ke mana, yaitu hilirisasi sawit.
Boleh dikatakan kunci utama kita bisa mengatur harga adalah dengan hilirisasi sawit?
Ya, hilirisasi sawit.
Sebetulnya ujung dari kita hilirisasi itu apa saja yang dihasilkan produknya?
Macam-macam turunan dari hilirisasi, bisa 70-80 produk. Misalnya untuk oil food (makanan), chemical (sabun, shampo).
Ada ketentuan makanan yang harus memakai CPO, jika dia memakai minyak nabati katakanlah cokelat dia akan lembek atau dia pakai soy bean sama akan lembek juga.
Bohong, kalau Eropa tidak butuh CPO. Dia pakai crude palm oil sehingga produk cokelatnya menjadi keras.
Negara-negara Eropa ikut mengampanyekan minyak sawit tidak bagus. Apa yang sebetulnya terjadi?
Jadi ini namanya persaingan dagang, kita bisa pelajari, selama ini mereka import CPO kita.
Selama ini mereka bikin turunan barang jadi, tapi kok mereka tidak teriak.
Padahal mereka bikin itu ada pabriknya punya banyak karyawan, sementara di dalam riset kita juga salah satu minyak nabati yang paling mudah dihilirisasi adalah CPO.
Karena angka iodium minyak nabati itu antara 50-55, tapi kalau minyak nabati yang lain itu di atas 100.
Sehingga agak sulit untuk di downstream. Artinya bisa tetapi costnya lebih mahal.
Jadi menurut Pak Saleh, kampanye negatif minyak sawit ini murni akibat perang dagang?
Bagaimana pun kita tahu, Eropa sebagai penghasil minyak nabati dunia.
Ada Amerika, Brasil, China (soybean), Ukraina, Rusia (bunga matahari) itu kan sama-sama minyak nabati.
Permasalahannya, mereka kan negara empat musim, jadi hanya bisa empat bulan memproduksi.
Sedangkan kita di Indonesia dan Malaysia bisa bekerja 12 bulan, sudah pasti costnya lebih murah.
Mau sampai kapanpun, mereka akan lebih mahal costnya.
Belum lagi tenaga kerja.
Untuk menghasilkan 1 ton minyak nabati dari soybean atau bunga matahari mereka membutuhkan lahan yang luas meski pun hasilnya sama.
Menurut penelitian Pak Saleh, apakah tanaman kelapa sawit ini merusak lingkungan karena terlalu besar meresap air?
Saya kira tidak. PT perkebunan sawit yang sudah beroperasi puluhan tahun di Sumatra itu tidak merusak lingkungan.
Bahwa ada isu kerusakan lingkungan, ya, namanya juga black campaign.
Namanya juga bagaimana cara menjatuhkan harga.
Apakah hilirisasi membuat produk jadi mempunyai dampak juga terhadap lingkungan?
Namanya hilirisasi pasti ada dampak kecil ataupun besar.
Tetapi, saya kira di industri sawit ini hampir semua dipakai, mulai dari tanaman, daun, batang hingga menjadi CPO sekarang bisa untuk pembangkit.
Di dalam disertasi Pak Saleh juga menegaskan bahwa CPO dapat mengurangi impor miyak kita nantinya, karena keberadaan bahan bakar biodiesel. Bagaimana penjelasannya?
Dengan kita membuat biodisel yang saat ini sudah B35, kita bisa menghemat devisa Rp161 triliun per tahun.
Artinya kita bisa hemat impor solar. Di samping itu juga kita menciptakan lapangan kerja luar biasa besar.
Dengan menggunakan biodiesel akhirnya kita menggunakan energi baru terbarukan tidak lagi menggunakan fosil. (tribun network/reynas abdila)
Baca juga: Analisis Politik, Jika Perolehan Suara PSI yang Meroket Diaudit, Diprediksi Seperti Ini Hasilnya
Baca juga: Kepala Seperti Ular Kobra, Harga Ikan Chana Puluhan Ribu hingga Jutaan Rupiah
Saksi Kata, Anggota HMI Dikeroyok di UIN STS Jambi hingga Kepala Bocor |
![]() |
---|
Saksi Kata: Sesepuh Kenali Asam Atas Kota Jambi Siap Mati, Heran Zona Merah Pertamina |
![]() |
---|
SAKSI KATA Pasien Somasi RSUD Kota Jambi, Pengacara: Anak 4 Tahun Meninggal |
![]() |
---|
Juliana Wanita SAD Jambi Pertama yang Kuliah, Menyalakan Harapan dari Dalam Rimba |
![]() |
---|
SAKSI KATA: Pengakuan Rosdewi Ojol Jambi yang Akunnya Di-suspend karena Ribut vs Pelanggan |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.