Ada 4 Modus Politisasi SARA dan Kampanye Hitam di Pilkada 2020 Yang Diungkap Bawaslu

Tiap pemilihan kepala daerah, banyak isu atau kampanye hitam yang dilontarkan untuk menjatuhkan bakal calon kepala daerah.

Editor: Rahimin
Ratna Dewi Pettalolo, anggota Bawaslu. (bawaslu.go.id) 

TRIBUNJAMBI.COM - Tiap pemilihan kepala daerah, banyak isu atau kampanye hitam yang dilontarkan untuk menjatuhkan bakal calon kepala daerah. 

Anggota Badan Pengawas Pemilu ( Bawaslu RI) Ratna Dewi Pettalolo menjabarkan potensi politisasi suku, agama, ras dan antar golongan (SARA) serta kampanye hitam (black campaign) di Pilkada Serentak 2020.

Setidaknya, terdapat 4 modus politisasi SARA dan kampanye hitam.

"Ada beberapa modus politisasi SARA atau kami sebut modus terkait dengan black campaign," kata Ratna dalam sebuah diskusi daring yang digelar Kamis (13/8/2020).

Ketika Sri Mulyani Teringat Kenanganan Tukang Mebel 22 Tahun Silam Yang Sekarang Jadi Presiden

Kabar Buruk Pertamina Akan Hapus Pertalite hingga Premium Digantikan BBM Lain, Kata Pemerhati Energi

Putera Amein Rais Ribut Dengan Wakil Ketua KPK, Tak Terima Disuruh Matikan Handphone Saat di Pesawat

Pertama, pidato politik yang cenderung mengarah kepada politik identitas yang bermuara ke isu SARA.

Menurut Ratna, hal ini banyak terjadi di Pilkada DKI 2017 serta pada Pemilu 2019.

Kedua, ceramah-ceramah provokatif di tempat ibadah atau acara keagamaan.

Untuk mengatasi hal ini, kata Ratna, perlu pendekatan-pendekatan struktrual pada tokoh-tokoh agama khususnya yang dianggap berpengaruh pada Pilkada 2020 ini.

Pilkada Serentak 2020
Pilkada Serentak 2020 (Warta Kota)

Bawaslu sejak Pemilu 2019 telah bekerja sama dengan kelompok lintas agama, baik Islam, Kristen Protestan, Katolik, Hindu, Budha, bahkan aliran kepercayaan.

Ratna mengatakan, kerja sama itu salah satunya menghasilkan buku mengenai pemilihan umum tanpa politisasi SARA dan politik uang.

"Isinya adalah berupa bahan sosialisasi digunakan oleh tokoh-tokoh agama, para ustaz, para mubaligh, kemudian pendeta ketika mereka melakukan ceramah-ceramah di rumah ibadahnya masing-masing di Pemilu 2019 kemarin, dan ini kami lanjutkan di Pilkada 2020," ujar Ratna.

Oknum PNS Tak Berdaya di Hotel Usai Dicekoki Miras dan Diajak Kencan, Mobil Dibawa Kabur PSK Muda

Begal Sadis di Sumsel Tewas usai Nekat Tembaki Polisi Saat Mau Ditangkap, Peluru Tembus Dada

Refly Harun soal Pilkada Solo 2020: Mending Gibran Lawan Kotak Kosong daripada Lawan Calon Boneka

Modus lainnya, lanjut Ratna, spanduk calon kepala daerah yang mengandung pesan verbal berkonten SARA.

Terakhir, penyebaran ujaran kebencian oleh akun-akun anonim di media sosial. Dengan semakin masifnya penggunaan media sosial beberapa waktu terakhir, diprediksi politisasi SARA melalui platform tersebut juga akan meningkat.

"Ini pekerjaan yg tidak mudah bagi Bawaslu bagaimana bisa menindaklanjuti temuan atau laporan ujaran kebencian yang dilakukan di akun yang tidak resmi di media sosial," kata Ratna.

 Kantor Bawaslu Provinsi Jambi Disemprot Disinfektan
Kantor Bawaslu Provinsi Jambi Disemprot Disinfektan (Tribunjambi.com/Hendri Dunan Naris)

Ratna menambahkan, secara eksplisit larangan politisasi SARA telah diatur di Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada.

Halaman
12
Sumber: Kompas.com
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved