Citizen Journalism
AZA, Teman dan Sahabat Tionghoa Sejak 1950-an, Para Tukang yang Sukses Jadi Pengusaha
Ketika pecah perang PRRI pada tahun 1958, gedung sekolah Tionghoa itu berikut gedung sekolah-sekolah negeri lainnya habis terbakar.
Warga Tionghoa pedagang eceran berstatus warga negara asing, hengkang.

Yang tersisa hanya beberapa keluarga: Aliong (tukang gigi), Angau (tukang emas), Athiu (bengkel sepeda), Cincu (ukang foto), Lak Khun (pabrik kopi rumahan), Atang (warung kopi), Apong (tukang gigi).
Tak satu pun pedagang eceran.
Yang menarik, keluarga Tionghoa yang pada awalnya adalah “para tukang” tersebut, umumnya beralih profesi menjadi pengusaha, dan sukses di berbagai bidang.
Misalnya keluarga Aliong yang tadinya tukang gigi itu, kini adalah pengusaha kaya yang memiliki lahan sawit puluhan ribu hektare.
Anak Athui, kini memiliki toko besar berjualan aksoseri mobil di pusat Kota Jambi.
Ada juga yang menjadi pengusaha perkapanlan yang cukup maju, yang banyak menampung warga Bangko non-Tionghoa di perusahaannya.
Sampai saat ini, saya masih bergaui akrab dengan keluarga Aliong dan Athui. Mereka adalah sahabat saya “sekampung” asal kota Bangko.
Pada awal Orde Baru, saya sekolah ke Kota Jambi.
SMP Negeri 4 tempat saya sekolah, adalah eks sekolah Tionghoa.
Sejak peristiwa G 30 S, hubungan RI-China memburuk.
Dampaknya sekolah-sekolah Tionghioa itu tutup dan gedungnya kemudan dipakai oleh sekolah negeri sore yang sebelumnya menggunakan gedung sekolah negeri “edisi” pagi.
Seingat saya, di sekolah negeri itu tak ada murid Tionghoa Jambi.
Mereka pindah ke sekolah Katolik atau ke kota lain.
Kemudian ada seorang siswa Tionghoa, pindahan dari Brebes, tetapi dia lebih menonjol Jawanya, medok dan halus tutur bahasanya.
Tentu saja kami sekelas akrab dengan Tionghoa Jawa yang sering ngajak makan rujak di rumahnya ini.
M Yasin, adalah seorang Tionghoa, anak angkat mantan Gubernur Jambi.
