Opini
Orang Laut: Dari Pengembara Laut ke Perjuangan di Daratan
Orang Laut merupakan satu di antara komunitas paling menonjol yang memiliki sejarah panjang di kemaritiman Indonesia
Amilda Sani, Retno Wulan
---
Indonesia, dengan luas wilayah maritim yang mendominasi, memiliki sejarah panjang yang melibatkan komunitas-komunitas yang hidup bergantung pada laut. Salah satu yang paling menonjol adalah Orang Laut, kelompok etnis yang selama berabad-abad hidup berpindah-pindah di atas perahu kecil dan menggantungkan hidup pada hasil laut. Pada masa kejayaan Kerajaan Sriwijaya dan Kesultanan Melaka, Orang Laut memainkan peran strategis sebagai penjaga perairan, pengumpul pajak, dan pendukung perdagangan. Keahlian mereka sebagai pelaut tangguh memungkinkan kerajaan-kerajaan ini mengamankan dominasi maritim dan perdagangan di wilayah Asia Tenggara (Lombart, 2000; Lapian, 2009).
Catatan sejarah menunjukkan bahwa hubungan Orang Laut dengan penguasa darat sangat erat. Pada masa Sriwijaya, mereka tidak hanya mengawasi wilayah perairan, tetapi juga bertindak sebagai benteng pertahanan melawan serangan asing, dengan imbalan perlindungan dan pengakuan atas wilayah mereka. Loyalitas ini berlanjut pada era Kesultanan Melaka, di mana mereka menjadi pengawal setia dan pendukung ekspansi kekuasaan sultan (Lapian, 2000). Namun, peran mereka mulai terkikis pada masa kolonial Belanda, ketika mereka dianggap ancaman karena sering menyerang kapal dagang. Orang Laut kemudian dicap sebagai lanun atau bajak laut, sehingga kekuasaan mereka atas wilayah perairan semakin terpinggirkan (Lombart, 2000; Trisnadi, 2002).
Transformasi besar terjadi pada masa Orde Baru, ketika pemerintah mulai memaksa Orang Laut meninggalkan kehidupan nomaden mereka dan menetap di daratan. Kebijakan ini dilakukan dengan dalih pembangunan, tetapi berdampak besar pada struktur sosial, budaya, dan ekonomi mereka. Laut, yang selama ini menjadi ruang hidup dan identitas mereka, berubah menjadi sekadar sumber ekonomi, sementara kehidupan di daratan memaksa mereka untuk beradaptasi dengan pola hidup yang berbeda. Perubahan ini merusak ikatan komunitas dan mengubah struktur keluarga dari keluarga inti menjadi keluarga besar karena keterbatasan tempat tinggal (Depsos, 1995).
Saat ini, sebagian besar Orang Laut menetap di Kepulauan Riau, khususnya di pulau-pulau kecil seperti Pulau Bertam, Pulau Lingka, dan Pulau Gara. Mereka masih menggantungkan hidup pada hasil laut seperti ikan, udang, dan tripang, namun tantangan semakin meningkat. Industrialisasi, pembangunan pariwisata, dan tingginya lalu lintas transportasi laut telah mengancam ekosistem mangrove dan terumbu karang yang menjadi sumber daya utama mereka. Dampak modernisasi ini memaksa mereka untuk terus beradaptasi, meski banyak yang merasa identitas budaya mereka kian tergerus (KKI Warsi, 2012).
Dalam sejarah panjangnya, Orang Laut telah melalui tiga fase besar. Pada masa Sriwijaya dan Melaka, mereka menikmati era kehormatan dengan peran strategis di dunia maritim. Era kolonial membawa marginalisasi, di mana mereka dipandang sebagai ancaman bagi kepentingan dagang Belanda.
Kemudian pada masa Orde Baru, mereka menghadapi fase penaklukan budaya, di mana pola hidup tradisional mereka digantikan oleh kehidupan di daratan. Hari ini, mereka berada di persimpangan jalan, menghadapi dilema besar antara mempertahankan tradisi atau sepenuhnya beradaptasi dengan
modernisasi. (*)
Menebus Dosa Ekologis: Metanoia Lingkungan dalam Perspektif Islam |
![]() |
---|
Memahami Hilirisasi dan Disertasi Bahlil Lahadalia |
![]() |
---|
Keajaiban China, Visi Presiden Prabowo dan Legasi Gubernur Jambi Al Haris |
![]() |
---|
Era Baru Kepemimpinan Golkar Bersama Jokowi dan Bahlil |
![]() |
---|
Tim Ekonomi Andalan Presiden Prabowo untuk Pertumbuhan 2 Digit |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.