Citizen Journalism

AZA, Teman dan Sahabat Tionghoa Sejak 1950-an, Para Tukang yang Sukses Jadi Pengusaha

Ketika pecah perang PRRI pada tahun 1958, gedung sekolah Tionghoa itu berikut gedung sekolah-sekolah negeri lainnya habis terbakar.

Editor: Duanto AS
Istimewa
Antony Zeidra Abidin (AZA) 

*oleh Antony Zeidra Abidin (AZA)

DI BUKIT di depan rumah saya di Kota Bangko, ibukota Kabupaten Merangin pada akhir tahun 50-an, terdapat sebuat sekolah Tionghoa.

Tangga beton di lereng menuju sekolah itu, terletak di seberang jalan rumah keluarga kami.

Kepala sekolah dan istrinya, sering bertegur sapa dengan keluarga kami.

Puluhan murid-muridnya, adalah anak para pedagang kelontong, tukang gigi, tukang emas, tukang foto atau pemilik studio foto, pemilik bengkel sepeda, pemilik pabrik kopi rumahan, warung kopi.

Tidak ada pedagang rempah-rempah atau toko tekstil, karena bisnis ini pada saat itu menjadi sepesialisasi etnik India.

Warga Tionghoa Asal Jambi Hendra Kho Jadi Anggota Sat Bravo 90, Pasukan Elite TNI AU

Pengusaha Tionghoa Sumbangkan Alquran Raksasa dari Sulaman, Mushaf 17 Meter

Pendatang dari India itu, umumnya menikah dengan wanita setempat. Mereka beragama Islam.

Ketika pecah perang PRRI pada tahun 1958, gedung sekolah Tionghoa itu berikut gedung sekolah-sekolah negeri lainnya habis terbakar.

Banyak gedung pemerintah dan juga pembangkit listrik yang terbakar.

Akibatnya, banyak yang mengungsi, termasuk keluarga kami yang ketika itu pindah untuk sementara ke kota Jambi.

Sekembali kami dari pengungsian pada tahun 1959, suasana Bangko terasa sangat sepi.

Gedung perkantoran dan sekolah yang terbakar masih tetap menjadi puing. Belum dibangun. Termasuk sokolah Tionghoa itu.

Gedung Sekolah Rakyat (SR), tempat dulu saya sekolah juga masih berupa onggokan puing, tetapi tak lama kemudian dibangun SR (sekarang SD) di bekas perkantoran kabupaten di pusat kota.

Sedangkan sekolah Tionghoa Bangko itu, tak pernah dibangun lagi, hingga sekarang.

Pasalnya, saat itu terbit Peraturan Presiden RI No. 10 tahun 1959 yang melarang WNA berdagang eceren di kota kecamatan. Sedangkan ibukota Kabupaten Merangin dipindahkan ke Muara Bungo dan Kota Bangko yang hancur lebur itu turun status menjadi ibukota kecamatan.

Halaman
1234
Sumber: Tribun Jambi
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved