Manusia Terakhir Pewaris Dideng, Jalan Panjang Sang Maestro Menghidupkan Kearifan Lokal

Nenek Jariah menjadi satu-satunya orang yang masih menguasai naskah syair yang sudah ada sejak ratusan tahun lalu.

Penulis: Dedy Nurdin | Editor: Duanto AS
Tribun Jambi/Dedy Nurdin
Nenek Jariah (81), satu-satunya orang yang masih menguasai naskah syair Dideng yang sudah ada sejak ratusan tahun lalu. Dideng merupakan Warisan Budaya Takbenda di Desa Rantau Pandan, Kabupaten Bungo, Provinsi Jambi, yang keberadaannya terancam punah. 

Ia menambahkan, bagi masyarakat Desa Rantau Pandan, Dideng biasanya dilantunkan sebagai pengantar tidur bagi anak-anak. Selain itu, Dideng sebagai sarana mendidik anak agar tidak mudah percaya pada kabar yang diragukan kebenarannya.

Dideng juga diajarakan agar anak-anak tidak keras kepala dan pendendam serta bisa menepati janji jika janji itu telah terucap.

"Bisanya juga dilantunkan pada acara pernikahan, mulai selepas isya sampai menjelang subuh. Jadi hiburan pada malam pengantin sambil menjaga alat-alat, sambil dekorasi di acara pengantinan," kata Gadis.

"Orang tua dulu melantunkan Dideng saat memanen padi beramai-ramai. Jadi sambil panen sambil bersahutan melantunkan Dideng agar tidak jenuh," katanya.

Dideng sendiri merupakan sastra klasik yang diturunkan secara turun temurun sejak ratusan tahun lalu di Desa Rantau Pandan, Kabupaten Bungo. "Tidak diketahui pasti tahunnya. Tapi dideng ratusan tahun sudah ada. Nenek Jariah usianya sekarang 81 tahun, pertama belajar Dideng masih usia 16 tahun. Itu diturunkan dari neneknya, diturunkan secara turun temurun," kata Gadis yang juga masih keluarga Nenek Jariah.

Agar tradisi Dideng tak punah, saat ini Gadis Tauvif bersama beberapa rekannya berupaya melestarikan Dideng dengan cara pengajaran langsung kepada generasi muda, terutama perempuan di Desa Rantau Pandan.

"Ada beberapa anak SD yang belajar Dideng, menengah ke atas. Kita belajar langsung dengan Nenek Jariah, kami juga dibantu Kantor Bahasa Provinsi Jambi agar Dideng ini bisa dilestarikan," katanya.

Ia berharap agar ke depan akan lahir generasi yang bisa melanjutkan tradisi Dideng, apalagi setelah ditetapkannya sebagai Warisan Budaya Takbenda.

"Ke depan kami berencana membuat sanggar. Memang harus regenerasi, apalagi kondisi Nenek Jariah juga saat ini sudah cukup sepuh dan satu-satunya orang tua kampung yang masih menguasai Dideng," paparnya.

Tradisi lisan yang terancam punah

Nukman Permindo, Sekretaris Asosiasi Tradisi Lisan Jambi, mengatakan Dideng merupakan satu di antara tradisi lisan yang terancam punah jika tidak dilestarikan. Apalagi penuturnya saat ini hanya Nenek Jariah, seorang yang usianya sudah tergolong sepuh.

Ini karena tidak berjalannya sistem pewarisan seperti yang diharapkan. Faktor yang menyebabkan tak berjalannya regenerasi karena kurangnya minat generasi muda untuk menekuni tradisi lisan.

"Penutur kita ini memang terbatas penutur senior. Maksudnya secara usia lebih tua dan mereka lebih paham konten disampaikan. Tradisi lisan ini pewarisannya harus diubah dan mengarah ke model formal," katanya.

Tak hanya terancam punah, beberapa tradisi lisan yang pernah ada di Jambi saat ini ada yang telah punah karena tak ada regenerasi penutur. "Bisa jadi ada yang punah dan hanya tinggal cerita saja. Seperti Bekuau di Merangin, penuturnya sudah meninggal," kata Nukman.

Nukman mengatakan, dari hasil pemetaan, hampir di setiap daerah di kabupaten kota di Jambi memiliki tradisi lisan. Sejak 2014 hingga 2019, sekira 40 tradisi lisan terdata di Jambi dan telah dikemas untuk pertunjukan.

"Dari tahun 2014 sampai tahun 2018 kita pernah menampilkan sekitar 11 tradisi lisan setiap tahunnya dipentaskan untuk pertunjukan. Namun jumlahnya lebih dari itu, bisa mencapai di atas 100, karena setiap daerah hingga desa punya tradisi lisan," katanya.

Persoalan keterbatasan penutur, kesulitan mewariskan dan ketidakmampuan untuk eksis di zaman saat ini, menjadi kendala.

Saat ini, upaya regenerasi telah berjalan seiring munculnya kesadaran untuk melestarikan kearifan lokal. Revitalisasi tradisi lisan di Jambi juga harus didorong ke arah pertunjukan.

Selain pewarisan kembali, penguatan pada dokumentasi perlu dilakukan. Apalagi tradisi lisan tak hanya mengandung nasihat kehidupan bermasyarakat, tapi merupakan identitas dari kearifan lokal masyarakat Jambi.

"Kekuatan tradisi lisan ditutur, pola tutur di tiap daerah berbeda dan masing -masing punya ciri khas, di samping nasihat-nasihat bijak dalam syairnya," pungkas Nukman.

Dorong tradisi lisan masuk pendidikan formal

Ir Mulawarman, Kabid Penelitian Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) Provinsi Jambi, mengatakan Jambi memiliki banyak tradsi kearifan lokal yang menjadi pondasi karakter masyarakatnya.

Namun seiring perkembangan zaman, kearifan lokal seperti tradisi lisan yang mengandung banyak pesan moral mulai ditinggalkan.

Hasil penelitan FKPT Provinsi Jambi, mulai ditinggalkannya tradisi lisan dan budaya lainnya juga mempengaruhi pola komunikasi dalam masyarakat.

"Padahal kearifan lokal kita sejak dulu menjadi benteng pengaruh luar. Karena kekuatan tradisi itu pada kebersamaan di masyarakat, kondisinya sekarang kita punya tapi tidak dirawat," katanya, Selasa (12/10/2019).

Untuk itu, perlu adanya upaya lebih serius menghidupkan tradisi lokal. Karena seperti tradisi lisan, itu tidak tertulis, maka perlu dimasukkan dalam kegiatan belajar formal.

"Harus didokumentasikan dengan baik, diwariskan dan ke depan kita ingin mendorong agar kearifan lokal di Jambi ini bisa masuk dalam muatan lokal bahan pembelajaran di sekolah dan kampus-kampus," pungkasnya. (Dedy Nurdin)

Sumber: Tribun Jambi
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved