Manusia Terakhir Pewaris Dideng, Jalan Panjang Sang Maestro Menghidupkan Kearifan Lokal

Nenek Jariah menjadi satu-satunya orang yang masih menguasai naskah syair yang sudah ada sejak ratusan tahun lalu.

Penulis: Dedy Nurdin | Editor: Edmundus Duanto AS
Tribun Jambi/Dedy Nurdin
Nenek Jariah (81), satu-satunya orang yang masih menguasai naskah syair Dideng yang sudah ada sejak ratusan tahun lalu. Dideng merupakan Warisan Budaya Takbenda di Desa Rantau Pandan, Kabupaten Bungo, Provinsi Jambi, yang keberadaannya terancam punah. 

NADA tinggi suara Nenek Jariah (81) sedikit bergetar. Usia yang tak lagi muda, tak menghalanginya terus memperkenalkan Dideng sebagai warisan budaya Rantau Pandan, Kabupaten Bungo, Jambi.

Senin (16/9/2019) lalu, sekira pukul 16.00 WIB, Nenek Jariah dituntun beberapa orang juniornya sesama pelantun Dideng menaiki tangga sebuah panggung kecil. Ia terlebih dahulu menanggalkan sandal jepit di depan anak tangga panggung yang tingginya selutut orang dewasa.

Di panggung kecil itu, sosok perempuan berusia lanjut itu duduk bersila bersama pelantun Dideng lainnya, membentuk pola setengah lingkaran.

Sore itu, selain Dideng, ada empat terdisi lisan lain, yakni Dadung, Sutan Bagindo, Ampek Gonjie Limo Gonop dan Antak Awo, yang turut ditampilkan sebagai Warisan Budaya Takbenda yang kini keberadaannya terancam punah.

Lima kesenian klasik itu ditampilkan dalam pergelaran tradisi lisan Jambi yang diseleggarakan Kantor Bahasa Provinsi Jambi.

Dideng....
Sapulah tangan bersudut limo,
Setiap sudut berisi cincin,
Hati-hati kamu tekesan,
Sebab sayo orang miskin,

Demikian syair Dideng itu dilantunkan Nenek Jariah dengan lengkingan, diiringi suara Piul (Biola). Suaranya terputus-putus, terkadang ia mengambil napas di tengah alunan suaranya. Syairnya mewakili kesunyian hati sang putri.

Nenek Jariah menjadi satu-satunya orang yang masih menguasai naskah syair yang sudah ada sejak ratusan tahun lalu. Meski tak lagi muda, ia tetap aktif mempertahankan warisan budaya yang pernah hidup di masyarakat Desa Rantau Pandan, Kabupaten Bungo.

Atas kegigihannya itu, Nenek Jariah dinobatkan sebagai Maestro Dideng. Sosok berkulit keriput ini mendapat penghargaan pada malam Anugrah Kebudayaan dan Seni Tradisi oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, pada 3 Oktober 2014 di Jakarta.

Perjuangan Nenek Jariah untuk membangkitkan kembali Dideng pun membuahkan hasil. Dideng ditetapkan sebagai satu di antara Warisan Budaya Takbenda pada acara Malam Apresiasi Penetapan Warisan Buaya Tak benda Indonesia 2019 di Istora Senayan Jakarta, pada 8 Oktober 2019.

Usai mementaskan Dideng hampir 30 menit lamanya, perempuan itu turun ke belakang panggung bersama 11 orang timnya.

Nenek Jariah (81) saat menampilkan Dideng di halaman Kantor Bahasa Jambi, pada 16 September 2019. Dideng merupakan Warisan Budaya Takbenda di Desa Rantau Pandan, Kabupaten Bungo, Provinsi Jambi, yang keberadaannya terancam punah.
Nenek Jariah (81) saat menampilkan Dideng di halaman Kantor Bahasa Jambi, pada 16 September 2019. Dideng merupakan Warisan Budaya Takbenda di Desa Rantau Pandan, Kabupaten Bungo, Provinsi Jambi, yang keberadaannya terancam punah. (Tribun Jambi/Dedy Nurdin)

Beberapa di antara pelantun Dideng merupakan siswa SD yang tengah mendalami seni tradisi ini.

Tak lama setelah duduk, seorang perempuan menghampiri, memberinya kue kotak dan air minum dalam kemasan. Namun, Nenek Jariah malah meminta kopi.

"Ado kopi? Awak nak ngopi," katanya.

Halaman
1234
Sumber: Tribun Jambi
BERITATERKAIT
  • Ikuti kami di
    KOMENTAR

    BERITA TERKINI

    berita POPULER

    © 2023 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved