Marak Karhutla di Areal Perusahaan, Pemerintah Didorong Gunakan Pendekatan Hukum Administrasi Negara

Kebakaran hutan dan lahan atau Karhutla yang terjadi di wilayah gambut di Provinsi Jambi masih saja terjadi

Penulis: Suang Sitanggang | Editor: Suang Sitanggang
istimewa
Suasana Focus Group Discussion yang dilaksanakan Eksekutif Daerah Jambi, di Grand Hotel Jambi, Rabu (28/8/2019). FGD ini memotret kondisi gambut di Jambi saat ini, dan mencari alternatif solusi untuk penanganan gambut. 

“Karena dalam hukum adminsitrasi, prosesnya tidak harus menggunakan dan melibatkan pihak pengadilan. Bisa langsung menggunakan kekuasaan pejabat yang berwenang, izinnya perusahaan bisa langsung dicabut,” ungkapnya.

Ia menyebut Negara tidak perlu takut bila perusahaan menggugat.

“Wibawa Negara harus ditegakkan. Pendekatan pidana dan perdata bisa disusul kemudian,” ungkapnya.

Sementara itu, terkait dengan kondisi wilayah gambut saat ini, Hambali dari Mitra Aksi menyebut, pada hitungan 20 tahun sebelumnya, wilayah gambut yang ada di Provinsi Jambi masih bisa dikategorikan cukup baik.

Berbeda dengan situasi yang saat ini telah terjadi, wilayah gambut seakan-akan telah jadi salah satu wilayah yang patut dipersalahkan pada peristiwa karhutla.

Opini terkait karhutla di wilayah gambut, ucapnya, saat ini banyak digiring pada aspek akibatnya saja.

“Belum mengkoreksi pada aspek penyebabnya. Jika kita berpikirnya berangkat dari aspek sebab, kenapa gambut itu kering dan menjadi salah satu faktor munculnya peristiwa kebakaran lahan dan hutan,” tuturnya.

Hambali mengatakan gambut sejatinya adalah lahan basah. Sikap yang disampaikan beberapa para pihak yang hadir dalam FGD, meyakini bahwa dalam 20 tahun terakhir, ekspansi industri baik itu HTI maupun perkebunan telah masuk dan merekayasa ekosistem wilayah gambut.

Pernyataan tersebut juga diperkuat oleh Rudy Syaf, yang menyebut perilaku perusahaan baik yang bergerak di industri HTI maupun perkebunan kelapa sawit, telah banyak merubah kondisi gambut yang semula basah menjadi kering.

Pengeringan gambut yang dilakukan, tidak lain dalam upaya untuk mengatur wilayah gambut agar bersesuaian dengan kebutuhan jenis tanaman monokultur yang ditanam perusahaan.

Praktek yang dilakukannya, perusahaan membangun kanal-kanal yang secara fungsi adalah, membuang permukaan air pada lapisan atas gambut agar bisa kering.

Dikatakan Rudy, skenario perusahaan membangun kanal-kanal untuk mengeringkan lahan gambut pada lapisan atas, bertentangan dengan UU Kehutanan yang menyatakan bahwa, muka air tanah gambut harus berada pada 40 cm.

“Maka menurut kami, gambut itu memang harus kembali ke khittah sebagai lahan gambut,” terangnya. (suang sitanggang)

Baca: Presiden Keluarkan Aturan Penghentian Pemberian Izin Baru Hutan Primer dan Lahan Gambut

Baca: Sejumlah Titik Api di Lahan Gambut Mulai Padam, Ini Luas Lahan Terbakar di Kabupaten Muaro Jambi

Baca: KKI WARSI Temukan Kejanggalan di Lokasi Kebakaran Gambut di Muara Medak, Musi Banyuasin

Sumber: Tribun Jambi
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved