Marak Karhutla di Areal Perusahaan, Pemerintah Didorong Gunakan Pendekatan Hukum Administrasi Negara
Kebakaran hutan dan lahan atau Karhutla yang terjadi di wilayah gambut di Provinsi Jambi masih saja terjadi
Penulis: Suang Sitanggang | Editor: Suang Sitanggang
TRIBUNJAMBI.COM, JAMBI – Kebakaran hutan dan lahan atau Karhutla yang terjadi di wilayah gambut di Provinsi Jambi masih saja terjadi.
Padahal berbagai upaya sudah dilakukan, terlebih sejak terjadi kebakaran hebat tahun 2015, yang menyebabkan Jambi diselimuti asap berbulan-bulan.
Di antara upaya itu adalah pemerintah membentuk Badan Restorasi Gambut (BRG).
Tapi pada praktiknya, BRG tak bisa berbuat banyak, sebab BRG bukan lembaga superbodi. Kewenangan BRG sangat terbatas.
“Kewenangan BRG bisa dikatakan terbatas. Apalagi di lahan konsesi, kami punya tugas melaksanakan supervisi," kata Dermawati Sihite, Kepala Sub Pokja Supervisi Pengelolaan Lahan Konsesi BRG, saat Focus Group Discussion yang dilaksanakan Eksekutif Daerah Walhi Jambi, Rabu (28/8).
Bila ada yang tidak sesuai, terangnya, pihaknya hanya bisa memberikan rekomendasi yang disampaikan kepada instansi terkait.
"Misalnya memberikan rekomendasi kepada KLHK,” terangnya.
Sejumlah pihak hadir dalam FGD yang dilaksanakan di Grand Hotel Jambi mulai pagi itu, di antaranya dari kalangan akademisi, pegiat NGO, serta pihak-pihak yang turut dalam upaya restorasi dan unsur pemerintah.
Dosen Fakultas Hukum Unja, DR Helmi menyebut, satu di antara masih terusnya terjadi kebakaran hutan dan lahan, termasuk di lahan gambut, adalah karena sisi penegakan hukum yang belum benar-benar memberikan efek jera.
Pandangan yang disampaikan Helmi, satu hal yang tidak bisa ditawar-tawar lagi adalah adanya tanggung jawab mutlak pemegang izin konsesi atas atas terjadinya kebakaran di lahan yang diizinkan kepada perusahaan tersebut.
"Jika kebakaran di wilayah konsesi, maka pemegang izin konsesi bertanggungjawab mutlak,” ungkap Helmi.
Karena dalam beberapa regulasi yang saat ini berlaku, misalnya pada Pasal 49 UU 41 Tahun 1999, terangnya, pemegang hak atau izin bertanggung jawab atas terjadinya kebakaran hutan di areal kerjanya.
Dia menjelaskan, tersumbatnya proses penegakan hukum terhadap perusahaan yang arealnya terbakar, satu di antaranya disebabkan Negara yang hingga kini masih lebih banyak menggunakan pendekatan hukum pidana dan hukum perdata.
“Sehingga pekerjaan yang harus dipenuhi oleh penegak hukum, memiliki jalur yang panjang dan sulit untuk dipenuhi. Dalam proses hukum pidana dan perdata yang dihubungkan dengan kebakaran lahan dan hutan, pihak penegak hukum harus mengumpulkan dan menghadirkan alat bukti. Jika pembuktian itu tidak didapatkan, perusahaan akan sulit untuk dipidanakan dan dijatuhi hukuman,” tuturnya.
Menurut Helmi, untuk penegakan hukum khususnya pihak perusahaan yang mengalami kebakaran di lahan konsesinya, bisa menggunakan pendekatan proses hukum adminsitrasi.
“Karena dalam hukum adminsitrasi, prosesnya tidak harus menggunakan dan melibatkan pihak pengadilan. Bisa langsung menggunakan kekuasaan pejabat yang berwenang, izinnya perusahaan bisa langsung dicabut,” ungkapnya.
Ia menyebut Negara tidak perlu takut bila perusahaan menggugat.
“Wibawa Negara harus ditegakkan. Pendekatan pidana dan perdata bisa disusul kemudian,” ungkapnya.
Sementara itu, terkait dengan kondisi wilayah gambut saat ini, Hambali dari Mitra Aksi menyebut, pada hitungan 20 tahun sebelumnya, wilayah gambut yang ada di Provinsi Jambi masih bisa dikategorikan cukup baik.
Berbeda dengan situasi yang saat ini telah terjadi, wilayah gambut seakan-akan telah jadi salah satu wilayah yang patut dipersalahkan pada peristiwa karhutla.
Opini terkait karhutla di wilayah gambut, ucapnya, saat ini banyak digiring pada aspek akibatnya saja.
“Belum mengkoreksi pada aspek penyebabnya. Jika kita berpikirnya berangkat dari aspek sebab, kenapa gambut itu kering dan menjadi salah satu faktor munculnya peristiwa kebakaran lahan dan hutan,” tuturnya.
Hambali mengatakan gambut sejatinya adalah lahan basah. Sikap yang disampaikan beberapa para pihak yang hadir dalam FGD, meyakini bahwa dalam 20 tahun terakhir, ekspansi industri baik itu HTI maupun perkebunan telah masuk dan merekayasa ekosistem wilayah gambut.
Pernyataan tersebut juga diperkuat oleh Rudy Syaf, yang menyebut perilaku perusahaan baik yang bergerak di industri HTI maupun perkebunan kelapa sawit, telah banyak merubah kondisi gambut yang semula basah menjadi kering.
Pengeringan gambut yang dilakukan, tidak lain dalam upaya untuk mengatur wilayah gambut agar bersesuaian dengan kebutuhan jenis tanaman monokultur yang ditanam perusahaan.
Praktek yang dilakukannya, perusahaan membangun kanal-kanal yang secara fungsi adalah, membuang permukaan air pada lapisan atas gambut agar bisa kering.
Dikatakan Rudy, skenario perusahaan membangun kanal-kanal untuk mengeringkan lahan gambut pada lapisan atas, bertentangan dengan UU Kehutanan yang menyatakan bahwa, muka air tanah gambut harus berada pada 40 cm.
“Maka menurut kami, gambut itu memang harus kembali ke khittah sebagai lahan gambut,” terangnya. (suang sitanggang)
Baca: Presiden Keluarkan Aturan Penghentian Pemberian Izin Baru Hutan Primer dan Lahan Gambut
Baca: Sejumlah Titik Api di Lahan Gambut Mulai Padam, Ini Luas Lahan Terbakar di Kabupaten Muaro Jambi
Baca: KKI WARSI Temukan Kejanggalan di Lokasi Kebakaran Gambut di Muara Medak, Musi Banyuasin