Banyak yang Tak Tahu, Setelah Supersemar Disalahgunakan Soeharto, Soekarno Munculkan Supertasmar
Banyak yang Tak Tahu, Setelah Supersemar Disalahgunakan Soeharto, Soekarno keluarkan Supertasmar Surat Perintah Tiga Belas Maret
TRIBUNJAMBI.COM - Tanggal 11 Maret diperingati sebagai hari keluarnya Surat Perintah 11 Maret 1966, perintah dari Presiden Soekarno kepada Letjen Soeharto untuk memulihkan keamanan negara.
Surat ini berisi perintah yang menginstruksikan Soeharto, selaku Panglima Komando Operasi Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib) untuk mengambil segala tindakan yang dianggap perlu untuk mengatasi situasi keamanan yang buruk pada saat itu.
Surat Perintah Sebelas Maret ini adalah versi yang dikeluarkan dari Markas Besar Angkatan Darat (AD) yang juga tercatat dalam buku-buku sejarah.
Sebagian kalangan sejarawan Indonesia mengatakan bahwa terdapat berbagai versi Supersemar sehingga masih ditelusuri naskah supersemar yang dikeluarkan oleh Presiden Soekarno di Istana Bogor.
Tak banyak yang tahu ternyata setelah keluarnya Supersemar dan disalahtafsirkan oleh Soeharto, Presiden Soekarno mengeluarkan Supertasmar.
Polemik Surat Perintah 11 Maret 1966 selama ini lebih tertuju pada peristiwa yang terjadi di Istana Bogor.
Baca: Kisah Operasi Kopassus di Papua, Misi Bebaskan 5 Anggota Koramil yang Seminggu Dikepung Pemberontak
Baca: Main Dengan 2 ABG Sekaligus Tarif Jutaan Rupiah, Prostitusi Online Anak-anak di Blitar Diungkap
Baca: Pilih Joged Saat Diajak Salawatan Nissa Sabyan, Ini Alasan Prabowo Subianto dan Reaksi Nissa
Ketika itu, Presiden Soekarno memberi Supersemar kepada Menteri Panglima Angkatan Darat Letjen Soeharto melalui tiga jenderal, yakni Mayjen Basuki Rachmat, Brigjen Muhammad Jusuf, dan Brigjen Amirmachmud.
Namun, ada sejumlah misteri yang belum terjawab selain keberadaan naskah asli atau beda interpretasi antara Soekarno dan Soeharto tentang Supersemar.
Salah satunya adalah Supertasmar, Surat Perintah Tiga Belas Maret.
Ini merupakan surat perintah yang dikeluarkan Soekarno untuk mengoreksi Supersemar.
Keberadaan Supertasmar ini diungkap kali pertama oleh AM Hanafi dalam buku Menggugat Kudeta Jenderal Soeharto: Dari Gestapu ke Supersemar (1998).
AM Hanafi merupakan mantan Duta Besar RI untuk Kuba pada era Soekarno.
Kelahiran Supertasmar disebut berawal ketika Soekarno marah mendengar kabar bahwa Partai Komunis Indonesia dibubarkan oleh Soeharto.
Soekarno menganggap Soeharto melampaui wewenangnya sebagai pengemban Supersemar.
Kekeliruan langkah Soeharto dalam menginterpretasi Supersemar itulah yang memicu Soekarno mengeluarkan Supertasmar.
AM Hanafi menjelaskan, Supertasmar itu berisi pengumuman bahwa Supersemar bersifat administratif/teknis, dan tidak politik. Soeharto juga diminta untuk segera memberikan laporan kepada Presiden.
Sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Asvi Warman Adam, mengatakan, Soekarno berusaha menyebarkan isi Supertasmar ke publik. Namun, upaya itu gagal.
Hanafi sempat menghubungi mantan Panglima Angkatan Udara, Suryadharma.
Baca: Link Live Streaming MotoGP Qatar 2019, Jadwal Race, Live Trans 7 Maverick Vinales Pole Position
Baca: Penampakan Dapur Super Mewah Reino Barack yang Akan Jadi Milik Syahrini, Luas Rumahnya 660 Meter
Baca: Link Live Streaming MotoGP Qatar 2019, Jadwal Race, Live Trans 7 Maverick Vinales Pole Position
Namun, Suryadharma mengaku tidak lagi punya saluran untuk menyebarkan surat perintah baru dari Presiden Soekarno itu.
"Pers pun tidak mau memberitakan," tutur Asvi Warman.
Tidak jelas
Hingga saat ini, keberadaan Supertasmar pun tidak jelas. Kepala Arsip Nasional RI Mustari Irawan juga mengakui, lembaganya tidak memiliki naskah atau salinan mengenai Supertasmar itu.
"Kalau Supertasmar, kami tidak ada," ucap Mustari ketika ditemui Kompas.com di kantornya pada 2014.
Namun, Arsip Nasional RI juga melacak keberadaan Supertasmar, bersamaan dengan pelacakan Supersemar yang masih misterius.
Pelacakan dilakukan, salah satunya dengan mencari di Sekretariat Negara.
"Kami juga terus cari di Sekretariat Negara, kan juga menyimpan dokumen," tuturnya.
Ajudan Kisahkan Kesedihan BK Dikibuli Pak Harto
Munculnya Supersemar atau Surat Perintah Sebelas Maret tahun 1996 menjadi kontroversi karena disebut merupakan kecerdikan Soeharto mengibuli Soekarno.
Tribunjambi.com mengutip dari Kompas kontroversi yang muncul jika membicarakan Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar) yang menjadi momentum peralihan kekuasaan Presiden pertama RI, Soekarno, ke Soeharto.
Pertama, menyangkut keberadaan naskah otentik Supersemar.
Kedua, proses mendapatkan surat itu.
Ketiga, interpretasi yang dilakukan oleh Soeharto.
Hingga saat ini naskah asli Supersemar itu sendiri belum ditemukan keberadaanya.
Kendati lembaga Arsip Nasional Republik Indonesia menyimpan tiga versi naskah Supersemar, ketiganya tidak otentik.
Baca: Setengah Kilogram Sabu Diselundupkan ke Jambi, Perempuan Asal Batam Diringkus BNN
Baca: SUARA Tangisan dari Toilet Kantor Polisi Bikin Geger, Ternyata Sesosok Bayi Berlumur Darah
Baca: Ditemukan Kondom Saat Andi Arief Ditangkap Kasus Narkoba Bersama Wanita, Demokrat: Kami Kaget

Setelah Supersemar dibuat oleh Soekarno, Soeharto menggunakannya dengan serta-merta untuk melakukan aksi beruntun sepanjang Maret 1966.
Soeharto melakukan pembubaran PKI, menangkap 15 menteri pendukung Soekarno, memulangkan anggota Tjakrabirawa, dan mengontrol media massa di bawah Puspen AD.
Sementara itu, bagi Soekarno, surat itu adalah perintah pengendalian keamanan, termasuk keamanan dirinya selaku Presiden dan keluarganya.
Soekarno pun pernah menekankan, surat itu bukanlah transfer of authority.
Namun, Amirmachmud, jenderal yang membawa surat perintah dari Bogor ke Jakarta pada 11 Maret 1966, langsung berkesimpulan bahwa itu adalah pengalihan kekuasaan.
Ajudan Soekarno Sebut BK Merasa Dikibuli Oleh Seoharto
Keluarnya Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) merupakan momentum naiknya Soeharto ke tampuk tertinggi pemerintahan Indonesia.
Pasca Supersemar, Soeharto dengan tanpa rintangan berarti menduduki kursi Presiden menggantikan Soekarno.
Ajudan Soekarno menceritakan bagaimana pedihnya Soekarno saat mengetahui Supersemar digunakan Soeharto untuk menggoyahkan posisinya.
Bahkan Soekarno merasa dibohongi Soeharto.

Itulah hal yang disampaikan Sidarto Danusubroto, ajudan terakhir Bung Karno, pasca-terbitnya Surat Perintah 11 Maret (Supersemar) tahun 1966.
"Bung Karno merasa dikibuli," kata Sidarto saat dijumpai Kompas.com di kediamannya di Jakarta Selatan, Minggu (6/3/2016) silam.
Setelah 53 tahun berlalu, Supersemar masih menyimpan banyak misteri.
Setidaknya masih ada kontroversi dari sisi teks dalam Supersemar, proses mendapatkan surat itu, dan mengenai interpretasi perintah tersebut.
Menurut Sidarto, Soekarno menunjukkan sikap berbeda dengan serangkaian langkah yang diambil Soeharto setelah menerima Supersemar.
Sidarto tidak menyebut detail perubahan sikap Soekarno, tetapi ia menekankan bahwa Supersemar tidak seharusnya membuat Soeharto membatasi ruang gerak Sang Proklamator dan keluarganya.
Baca: VIDEO: Ada Tangisan di Balik Senyum Syahrini Saat Dilamar Reino Barack, Warganet Merinding
Baca: Sakit Gigi Tidak Kunjung Sembuh, Bisa Jadi karena Tumor atau Jantung Koroner, Segera ke Dokter
"Dalam Supersemar, mana ada soal penahanan? Penahanan fisik, (dibatasi bertemu) keluarganya, penahanan rumah. Supersemar itu seharusnya melindungi keluarganya, melindungi ajarannya (Bung Karno)," kata Sidarto.
Pada 11 Maret 1966 pagi, Presiden Soekarno menggelar rapat kabinet di Istana Merdeka, Jakarta.
Pada saat bersamaan, ia dikejutkan dengan kehadiran demonstran yang mengepung Istana.
Demonstrasi itu dimotori kelompok mahasiswa yang mengusung Tritura (tiga tuntutan rakyat; bubarkan PKI, rombak kabinet, dan turunkan harga-harga).
Pada waktu yang sama, Brigjen Kemal Idris mengerahkan sejumlah pasukan dari Kostrad untuk mengepung Istana.
Alasan utamanya adalah untuk menangkap Soebandrio yang berlindung di Kompleks Istana.
Pasukan yang dikerahkan Kemal itu tidak mengenakan identitas.
Komandan Tjakrabirawa Brigjen Sabur melaporkan kepada Soekarno bahwa Istana dikepung "pasukan tidak dikenal".
Letjen Soeharto tidak hadir dalam rapat kabinet dengan alasan sakit.
Karena itu, Soekarno tidak dapat memerintahkan Soeharto membubarkan "pasukan tidak dikenal" tersebut dan akhirnya memilih keluar dari Istana Merdeka menggunakan helikopter menuju Istana Bogor.
Setelah itu, Soeharto mengutus Basoeki Rachmat, Jusuf, dan Amir Machmud menemui Soekarno di Istana Bogor.
Ketiga jenderal itulah yang membawa Supersemar ke Jakarta untuk Soeharto.
Bagi Presiden Soekarno, Supersemar adalah perintah pengendalian keamanan, termasuk keamanan Presiden dan keluarganya.
Namun, Soekarno "kecolongan" karena dalam Supersemar diyakini terdapat frasa "mengambil segala tindakan yang dianggap perlu."
Padahal, perintah dalam militer harus tegas batas-batasnya, termasuk waktu pelaksanaannya.
Dengan surat itu, Soeharto menjalankan aksi beruntun pada 12 Maret 1966 dengan membubarkan PKI, menangkap 15 menteri yang dianggap pendukung PKI atau pendukung Soekarno, dan memulangkan anggota Tjakrabirawa ke kesatuan di daerah asalnya.

Dalam buku Memoar Sidarto Danusubroto Ajudan Bung Karno yang ditulis Asvin Warman Adam, diperkirakan ada sekitar 4.000 anggota pasukan yang dipulangkan ke kesatuan di daerah asalnya. Tjakrabirawa adalah pasukan pengamanan yang loyal kepada Presiden.
Tak berselang lama, Soeharto juga mengontrol media massa di bawah Pusat Penerangan Angkatan Darat.
Serangkaian langkah yang diambil Soeharto itu membuat Soekarno marah, khususnya dengan pembubaran PKI.
Meski demikian, isu pembubaran PKI adalah salah satu penyebab merosotnya dukungan politik untuk Soekarno.
Mengapa Soekarno tidak mau membubarkan PKI? Sebab, Soekarno ingin memegang teguh ajaran three in one-nya, yaitu Nasakom (nasionalisme, agama, dan komunisme).
Soekarno konsisten sejak 1925 tentang Nasakom. Dalam sebuah pidato, ia menegaskan bahwa "kom" tersebut bukanlah komunisme dalam pengertian sempit, melainkan marxisme atau tepatnya sosialisme.
Dalam kesempatan lain, Soekarno mensinyalir bahwa revolusi Indonesia telah dibelokkan ke kanan. Padahal, menurut dia, revolusi Indonesia itu pada intinya adalah kiri. Meskipun demikian, Soekarno bersaksi, "Saya bukan komunis."
Terkait kasus 1965, Soekarno mengetahui bahwa ada oknum PKI yang bersalah. Namun, ia beranggapan kalau ada tikus yang memakan kue di dalam rumah, jangan sampai rumah itu yang dibakar.
Sidarto menuturkan, Soekarno masih memiliki peluang mengendalikan situasi pasca-Supersemar.
Ia menyebut posisi kekuatan ABRI saat itu masih 60:40 pro-Soekarno. Masih banyak loyalis Soekarno di tubuh ABRI-Polri yang siap membela.
Para loyalis Soekarno itu di antaranya adalah Angkatan Udara di bawah KSAU Omar Dhani, Angkatan Laut di bawah KSAL Mulyadi, Polri di bawah Jenderal Pol Soetjipto Joedodiharhjo, dan Kodam Siliwangi di bawah Mayjen Ibrahim Ajie.
Kemudian, Korps KKO di bawah Letjen Hartono, Korps Brimob di bawah Anton Soedjarwo, dan sebagian besar pasukan Kodam Brawijaya yang setia membela Soekarno.
Namun, ketika para loyalis ini menyarankan untuk melawan, Soekarno menolaknya.
Soekarno tidak ingin perlawanannya memicu perang sipil dan memecah belah bangsa.
Baca: Takluk di Tangan Intelijen Kopassus, Benny Moerdani Kubur Pasukan Elite Inggris di Hutan Kalimantan
Baca: Soeharto Pernah Menahan Sakit Sekaligus Malu Karna Tamparan Sosok TNI Ini saat Soekarno sedang Marah
Baca: Jarang Diketahui Orang, Potret Super Cantik Anak Soekarno dan Ratna Sari Dewi, Mirip Sama Ibunya?
"Para loyalis ini tidak tega melihat Bung Karno. Lebih baik mati bersama-sama. Sangat berisiko, tapi mereka die hard semua," ungkap Sidarto.
Sidarto diangkat menjadi ajudan Presiden Soekarno pada 6 Februari 1967.
Saat itu, pangkat Sidarto adalah ajun komisaris besar polisi.
Dia menggantikan Komisaris Besar Sumirat yang ditahan setelah terbitnya Supersemar.
Sidarto mengawal Soekarno sebagai Presiden hanya dua pekan, 6-20 Februari 1967.
Setelah itu, kekuasaan beralih kepada Jenderal Soeharto. Sidarto tetap menjadi ajudan Soekarno meski statusnya disebut sebagai "Presiden nonaktif".
Sekitar Mei 1967, Soekarno tidak diperbolehkan masuk ke Istana sekembalinya dari berkeliling Jakarta.
Sidarto menyaksikan peristiwa itu karena baru saja mendampingi Soekarno menyantap sate ayam di pinggir pantai Priok atau Cilincing, Jakarta Utara.
Sejak saat itu, Soekarno dikenai tahanan kota dan menetap di Wisma Yaso (sekarang Museum Satria Mandala, Jakarta) sampai akhir 1967.
Pada awal 1968, Soekarno dikenai tahanan rumah dan dibatasi aktivitasnya, termasuk untuk bertemu keluarga.
Sidarto ditarik dari posisinya sebagai ajudan Soekarno oleh Polri pada 23 Maret 1968. Kondisi kesehatan Soekarno yang semakin menurun dianggap lebih memerlukan dokter ketimbang ajudan. Pada Juni 1970, Soekarno meninggal dunia.
3 Versi Naskah Supersemar, Manakah yang Asli? Versi Presiden, Versi TNI AD atau Versi Lain?
Meski sudah berusia 50 tahun, Supersemar masih menuai kontroversi.
Surat perintah bertanggal 11 Maret yang mengantarkan Soeharto ke puncak kekuasaan di Indonesia itu menyimpan segudang misteri.
Dari sisi sejarah Supersemar adalah surat yang mengawali peralihan kepemimpinan nasional dari pemerintahan Orde Lama ke Orde Baru.
Baca: Misteri Supersemar - Kontroversi hingga Tiga Salinan Supersemar yang Beredar, Mana yang Asli?
Baca: TRIBUNWIKI - Daftar Artis Asal Jambi yang Sukses di Jakarta, Ada Juga Sutradara dan Penyanyi
Baca: Luna Maya Umroh, Anak Indigo Naomi Angela Ramalkan Mbak Bulan Dapat Jodoh Saat Pulang
Ini merupakan surat sakti yang menentukan kelahiran dan keabsahan pemerintahan Soeharto, sekaligus "penyingkiran" Soekarno.
Namun, pengungkapan misteri seputar Supersemar bisa dibilang menemui jalan buntu karena surat aslinya tidak diketahui keberadaannya.

Ia hilang secara misterius. Bersama dengan raibnya surat maha penting itu, berbagai spekulasi pun muncul.
Orang bertanya tentang siapa yang menyimpan surat itu, siapa sebenarnya yang membuatnya, seperti apa isinya, hingga apa tujuan dibuat dan bagaimana perintah itu kemudian dilaksanakan.
Dalam artikel berjudul "Arsip Supersemar 1966" yang diterbitkan Kompas 10 Maret 2015, ditulis:
Surat Perintah Sebelas Maret alias Supersemar adalah surat perintah yang ditandatangani Presiden Soekarno pada 11 Maret 1966. Isinya berupa instruksi Presiden Soekarno kepada Letjen Soeharto, selaku Menteri Panglima Angkatan Darat, untuk mengambil segala tindakan yang dianggap perlu untuk mengawal jalannya pemerintahan pada saat itu.
Namun hingga saat ini setidaknya ada tiga versi naskah Supersemar yang beredar di masyarakat. Pertanyaannya: Mengapa ada tiga? Mana yang asli? Apakah ada bagian yang ditutupi?
Baca: Mantan Pacar Sebar Rekaman Video Hubungan Intim, Gadis Ini Jadi Terancam Dikeluarkan dari Sekolah
Baca: Ungkap Alasan Dukung Jokowi, Keluarga Sandiaga Uno di Gorontalo Sebut Jokowi Lebih Perhatian
Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) saat ini menyimpan tiga Supersemar. Namun, ketiganya memiliki versi masing-masing.
Pertama, Supersemar yang diterima dari Sekretariat Negara, dengan ciri: jumlah halaman dua lembar, berkop Burung Garuda, diketik rapi, dan di bawahnya tertera tanda tangan beserta nama "Sukarno".

Kedua, Supersemar yang diterima dari Pusat Penerangan TNI AD dengan ciri: jumlah halaman satu lembar, berkop Burung Garuda, ketikan tidak serapi versi pertama.
Penulisan ejaan sudah menggunakan kaidah bahasa Indonesia yang berlaku pada saat itu.

Jika pada versi pertama di bawah tanda tangan tertulis nama "Sukarno", pada versi kedua tertulis nama "Soekarno".

Ketiga, Supersemar yang diterima dari Yayasan Akademi Kebangsaan, dengan ciri: jumlah halaman satu lembar, sebagian surat robek sehingga tidak utuh lagi, kop surat tidak jelas, hanya berupa salinan. Tanda tangan Soekarno pada versi ketiga ini juga berbeda dengan versi pertama dan kedua.
"Ada tiga arsip naskah Supersemar, dari Sekretariat Negara, Puspen TNI AD, dan dari seorang kiai di Jawa Timur," kata Asvi Warman Adam, peneliti sejarah Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, dalam diskusi bulanan Penulis Buku Kompas di Bentara Budaya Jakarta, Palmerah Selatan, Kamis (10/3/2016).
Selain yang disimpan ANRI, ada pihak-pihak lain yang mengaku memiliki naskah aslinya (buku Seabad Kontroversi Sejarah, Asvi Warman Adam, halaman 80).
Baca: Download Lagu Luna Maya Tak Bisa Bersamamu Viral, Gambarkan Kepedihan Cewek Tergores Hati
Baca: Camat Wanita Ini Disebut Mirip Wali Kota Surabaya Tri Rismaharani, Selamatkan Jambret Nyaris Dibakar
Beberapa sumber menyebutkan bahwa naskah asli Supersemar disimpan di sebuah bank di luar negeri, sedangkan sumber lain menyebut yang asli sebenarnya sudah tidak ada karena dibakar dengan tujuan tertentu.
Dalam wawancara oleh Majalah Forumedisi 13, 14 Oktober 1993, mantan Pangdam Jaya sekaligus mantan Menteri Dalam Negeri Amirmachmud mengatakan, naskah asli Supersemar diserahkan oleh Basoeki Rachmat, M Jusuf, dan dirinya kepada Soeharto yang saat itu menjabat Menteri Panglima Angkatan Darat.
Kemudian Pak Harto menyerahkan surat itu pada Soedharmono untuk keperluan pembubaran PKI. Setelah itu surat tersebut "menghilang."
Apakah dikembalikan pada Soeharto karena Soedharmono mengaku tidak menyimpannya, atau disimpan orang lain?
Menurut Amirmachmud naskah asli Supersemar terdiri dari dua lembaran. Itu sebabnya buku "30 Tahun Indonesia Merdeka" ditarik dari peredaran karena di dalamnya memuat naskah Supersemar yang palsu, hanya satu lembar.
Penugasan atau pemaksaan?
Nah, selain soal keaslian, cerita mengenai proses kelahiran Supersemar juga kontroversial.
Dalam buku "Kontroversi Sejarah Indonesia" (Syamdani halaman 189), diceritakan ada mantan anggota Tjakrabirawa, Letnan Dua Soekardjo Wilardjito yang menyaksikan bahwa Bung Karno menandatangani Supersemar pada 11 Maret 1966 dibawah todongan pistol FN kaliber 46.
Wilardjito mengatakan, saat itu Mayjen Basoeki Rachmat (saat itu Pangkostrad), Mayjen Maraden Panggabean (Wakasad), Mayjen M Yusuf dan Mayjen Amirmachmud mendatangi Soekarno di Istana Bogor dengan membawa map merah muda.
M Yusuf kemudian menyodorkan sebuah surat yang harus ditandatangani. Sempat terjadi dialog dengan Bung Karno.
Wilardjito mengaku dari jarak tiga meter di belakang Soekarno, ia melihat Basoeki Rachmat dan M Panggabean menodongkan pistol. Bila itu yang terjadi, maka orang bisa menyimpulkan bahwa sedang terjadi kudeta.
Namun begitu, keterangan Wilardjito dibantah M Yusuf dan Amirmachmud. Dalam buku "Kontroversi Sejarah Indonesia" halaman 186 Amirmachmud hanya menyebutkan sempat ada rencana membawa senjata ke Bogor.
"Adalah Pak Jusuf yang mengusulkan supaya kami bawa bren, bawa sten, dan segala macam. Saya bilang, di sana ada dua batalyon Cakra (Tjakrabirawa), kami mau apa di sana?" katanya.
Cerita lain,menurut Asvi, sebelum 11 Maret 1966, Soekarno pernah didatangi oleh dua pengusaha utusan Mayjen Alamsjah Ratu Prawiranegara.
Kedua pengusaha itu, Hasjim Ning dan Dasaad, datang untuk membujuk Soekarno menyerahkan kekuasaan kepada Soeharto.
Akan tetapi, Soekarno menolak, bahkan sempat marah dan melempar asbak.
"Dari situ terlihat ada usaha untuk membujuk dan menekan Soekarno telah dilakukan, kemudian diikuti dengan pengiriman tiga jenderal ke Istana Bogor," kaat Asvi.
Kontroversi selanjutnya adalah soal isinya.
Bagi Soekarno, surat itu adalah perintah pengendalian keamanan, termasuk keamanan dirinya selaku Presiden dan keluarganya.
Soekarno pun pernah menekankan, surat itu bukanlah transfer of authority.
Namun, Amirmachmud, jenderal yang membawa surat perintah dari Bogor ke Jakarta pada 11 Maret 1966, langsung berkesimpulan bahwa itu adalah pengalihan kekuasaan.
Dengan interpretasi seperti itulah, Soeharto kemudian naik ke tampuk kekuasaan.
Mengungkap kebenaran
Kini, setelah 50 tahun berlalu, belum ada jawaban terang soal pertanyaan-pertanyaan yang mengganjal. Namun ada harapan bahwa kegelapan itu terungkap.
Salah satu titik berangkatnya adalah konsistensi Arsip Nasional Republik Indonesia dalam mencari dokumen asli Supersemar.
Salah satu instrumen yang bisa digunakan adalah Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2009 tentang Kearsipan.
UU kearsipan itu berisi aturan tentang sanksi maksimal hukuman penjara selama 10 tahun bagi orang yang menyimpan arsip negara dan tidak menyerahkannya kepada Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI). Selain itu, Daftar Pencarian Arsip (DPA) juga disinggung.
Asvi Warman Adam berharap ANRI mendorong keluarnya peraturan pemerintah atas UU Kearsipan.
Apabila pemerintah menerbitkan peraturan pelaksana, maka ANRI akan punya wewenang lebih untuk mencari naskah asli itu.
Bisa jadi, kewenangan itu termasuk menggeledah pihak-pihak yang mungkin menyimpan naskah otentik Supersemar tersebut.
Bila itu yang terjadi, maka ada harapan terjadi pelurusan sejarah. Bila dahulu sejarah selalu disesuaikan oleh kepentingan penguasa, kini sejarah juga memasukkan pandangan dan temuan dari banyak orang.
Adagium "Sejarah ditulis oleh para pemenang" tidak lagi jadi sesuatu yang mutlak.
Walau Soeharto tak lagi berkuasa, dan tak ada dampak langsung secara politik, pengungkapan misteri Supersemar tetap memiliki arti bagi bangsa Indonesia.
Setidaknya sebagai bangsa, sejarah dengan gamblang bisa diceritakan.
Pengungkapan Supersemar juga menjadi peringatan bagi para penguasa agar tidak membelokkan sejarah untuk kepentingannya. Karena mereka bisa saja menuliskan sejarah menurut kemauannya, namun tidak bisa menghapuskan kebenaran.
Artikel ini telah tayang di Wartakotalive dengan judul Di Manakah Naskah Asli Supersemar? Selama ini Ada 3 Versi soal Naskah Supersemar,