Keunikan Masjid Tertua di Muara Bungo yang Dibangun Masa Peperangan, Ada Bekas Tembakan di Pintu

Di bibir Sungai Batang Bungo, Masjid Al-Munawwarah masih kukuh berdiri meski usianya sudah 78 tahun.

Penulis: Mareza Sutan AJ | Editor: Teguh Suprayitno
Tribunjambi/Mareza
Masjid Al-Munawwarah di Muara Bungo. 

TRIBUNJAMBI.COM, MUARA BUNGO - Di bibir Sungai Batang Bungo, Masjid Al-Munawwarah masih kukuh berdiri meski usianya sudah 78 tahun. Masjid pertama yang jadi saksi perkembangan Islam di Kabupaten Bungo.

Tepatnya di Kelurahan Tanjung Gedang, Kecamatan Pasar Muara Bungo, Kabupaten Bungo, sebuah masjid dengan gaya arsitektur abad 20, tegak berdiri di antara pemukiman warga.

Di tempat itu, saya berjumpa dengan cerdik pandai dan tuo tengganai. Menggali cerita dari sebuah saksi sejarah yang dibangun sekitar tahun 1941. Hingga kini Masjid Al-Munawwarah masih digunakan untuk ibadah masyarakat sekitar.

"Masjid ini selesai dibangun pada 1941. Sampai sekarang, masjid ini masih dipakai untuk kegiatan keagamaan, seperti salat berjamaah, pengajian, dan kegiatan lainnya," kata Adnan Abu Bakar, Ketua Pengurus Masjid Al-Munawwarah.

Di tempat itu juga, orang-orang sering berkumpul, untuk pengajian BKMT, dan pengajian setiap malam Jumat. Bahkan untuk anak-anak, masjid itu juga dimanfaatkan sebagai rumah tahfiz.

Masjid Al-Munawwarah Tanjung Gedang, Muara Bungo.
Masjid Al-Munawwarah Tanjung Gedang, Muara Bungo. (Tribunjambi/Mareza)

Pada perayaan hari besar Islam, masjid itu juga menjadi sentral perayaan di Tanjung Gedang. Misal dalam menyambut Ramadan, orang-orang di sana memperingati malam Nisfu Syakban.

Melihat arsitektur bangunan, saya menemukan berbagai keunikan. Atap yang dibuat dari kayu balok bercat putih disusun berjejer di langit-langit masjid.

Kata Sayuti, tetua masjid yang saya temui bilang, sebagian bangunan dibuat dari kayu kulim. "Konon, kata orang-orang tua kita dulu, kayu itu dibawa menggunakan kerbau. Dibawa dari hutan-hutan sampai ke sini," kisahnya.

Baca: Terjebak Jalan Rusak, Petugas Damkar Batanghari Bingung Padamkan Api Sampai Lokasi Api Sudah Padam

Baca: Surat Suara Sempat Dibakar, 3 TPS di Sungai Penuh Lakukan Pemungutan Suara Ulang, Aparat Jaga Ketat

Baca: Mendekati Ramadan Harga Sembako di Kota Jambi Mulai Bergejolak, Ayam, Bawang, Cabai Naik

Baca: Sekolah di Kota Jambi Buat Acara Perpisahan di Hotel, Disdik: Perpisahan Tak Perlu Mewah-mewahan

Baca: Awalnya Hanya Iseng, Kini Nadia Mulai Keteteran Layani Pesanan Kue Pelanggan

Kayu kulim salah satu paling kuat. Dahulu, selain dijadikan bahan bangunan, orang-orang menggunakannya untuk bantalan rel kereta api, tiang listrik, bahan industri, hingga kayu pembuat kapal. Kayu itu keras, juga berat.

Pada corong kubahnya pun kayu kulim tersusun rapi. Beberapa jendela kayu masih tampak menempel di dinding-dinding masjid. Sebagian telah direnovasi dengan kaca dan terali besi memagarinya.

Di bagian luar, motif persegi disusun menyerupai stupa-stupa kecil di bagian bawah dinding masjid. Dinding-dinding masjid dihiasi dengan keramik dari Singapura.

"Dulu, orang-orang di sekitar Muara Bungo ini berdagang. Jual hasil bumi. Jual karet sampai ke Singapura, lewat sungai inilah. Pulangnya bawa buah tangan, termasuklah keramik ini. Ini dari Singapura ini," kata Sepri, pengurus Masjid Al-Munawwarah.

Sambil mendengarkan penjelasan, saya mengamati sisi-sisi menarik masjid itu, terutama tiang dan dindingnya. Konon, terbuat dari batu sungai.

Kata Sepri, dahulu Masjid Al-Munawwarah memiliki dua pintu. Ada pintu luar, ada pintu dalam. Namun beberapa tahun lalu, masjid itu sempat direnovasi. Pintu dalam dibobok dan menyisakan tiang-tiang yang tegak berdiri.

Sebelum direnovasi di sebuah sisi pintu, ada bekas peluru. Cerita Sepri, peluru itu ditembakkan penjajah pada masa peperangan.

Halaman
12
Sumber: Tribun Jambi
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved