Berita Nasional
Ke Mana Istri Gubernur Riau Pasca Abdul Wahid Terjaring OTT KPK?
istri gubernur, Henny Sasmita Wahid, sudah tidak kembali ke rumah dinas sejak sang suami dibawa KPK ke Jakarta.
Penulis: Heri Prihartono | Editor: Heri Prihartono
TRIBUNJAMBI.COM -Kediaman dinas Gubernur Riau di kawasan Jalan Diponegoro, Pekanbaru, tampak sunyi pada Kamis siang.
Tak ada aktivitas berarti di bangunan megah yang biasanya ramai dengan kunjungan tamu dan kegiatan resmi pemerintahan.
Sejak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan operasi tangkap tangan terhadap Gubernur Riau Abdul Wahid pada awal pekan lalu, rumah dinas tersebut seperti kehilangan penghuninya.
Hanya beberapa anggota Satpol PP terlihat berjaga di pos keamanan depan pagar.
Seorang petugas mengungkapkan, istri gubernur, Henny Sasmita Wahid, sudah tidak kembali ke rumah dinas sejak sang suami dibawa KPK ke Jakarta.
“Ibu tidak ada balik, sejak bapak ditangkap KPK,” ujar salah seorang petugas Satpol PP yang berjaga sore itu.
Menurut keterangan yang sama, Henny kini berada di rumah pribadinya, meskipun lokasi pastinya belum diketahui. “Ibu sudah balik ke kediaman pribadinya, mungkin di Jakarta,” tambahnya.
Dua anak Abdul Wahid juga disebut menetap di Jakarta.
Sementara itu, rumah pribadi keluarga Wahid di Jalan Wara-wiri, Pekanbaru, tampak tertutup rapat.
Pantauan di lokasi menunjukkan halaman yang sepi dan tidak ada kendaraan keluar masuk selama beberapa hari terakhir.
KPK Geledah Sejumlah Lokasi
KPK telah menetapkan Abdul Wahid bersama dua pejabat lain sebagai tersangka dalam dugaan kasus korupsi di lingkungan Pemerintah Provinsi Riau.
Mereka adalah M. Arief Setiawan, Kepala Dinas PUPR PKPP Riau, serta Dani M. Nursalam, tenaga ahli yang disebut sebagai orang kepercayaan gubernur.
Setelah penetapan tersangka, tim penyidik melakukan penggeledahan di sejumlah lokasi, termasuk rumah dinas gubernur dan beberapa kantor dinas di Pekanbaru.
Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo, menjelaskan bahwa langkah ini merupakan bagian dari pengembangan penyidikan untuk menelusuri bukti-bukti tambahan.
“KPK mengimbau agar para pihak mendukung proses penyidikan ini agar dapat berjalan efektif. Kami akan sampaikan perkembangannya secara berkala sebagai bentuk transparansi dalam proses hukum ini,” ujarnya dalam keterangan resmi.
Ia juga menegaskan, dukungan masyarakat sangat penting karena korupsi terbukti menghambat pembangunan dan menurunkan kesejahteraan publik.
Terungkap Pola “Jatah Preman” di Dinas PUPR PKPP Riau
Dalam konferensi pers di Jakarta, KPK menguraikan modus operandi yang mereka sebut sebagai praktik “jatah preman” atau Japrem.
Skema tersebut melibatkan pungutan fee dari proyek peningkatan anggaran di Dinas PUPR PKPP yang nilainya meningkat signifikan.
Kasus bermula ketika Ferry Yunanda, sekretaris dinas, mengumpulkan enam kepala UPT wilayah untuk membahas pembagian fee dari tambahan anggaran proyek jalan dan jembatan.
Awalnya disepakati 2,5 persen, namun belakangan naik menjadi 5 persen atas perintah Gubernur Wahid melalui Kepala Dinas Arief Setiawan.
“Kesepakatan fee 5 persen ini kemudian dilaporkan kepada Kepala Dinas PUPR PKPP Riau dengan menggunakan bahasa kode ‘7 batang’,” ungkap Johanis Tanak, Wakil Ketua KPK, dalam ekspos perkara pada Rabu (5/11/2025).
KPK menduga setidaknya terjadi tiga kali setoran antara Juni hingga November 2025 dengan total sekitar Rp4,05 miliar.
Dari jumlah tersebut, sebagian besar disalurkan ke tangan Abdul Wahid melalui perantara Dani M. Nursalam.
Pada pengumpulan terakhir di awal November, uang setoran senilai Rp1,25 miliar menjadi barang bukti utama dalam operasi tangkap tangan KPK.
Saat itu, tim juga menemukan uang tunai dan mata uang asing senilai total Rp1,6 miliar dari hasil penggeledahan di beberapa lokasi, termasuk rumah pribadi Wahid di Jakarta Selatan.
Status Adat dan Dampak Politik
Kasus ini menimbulkan gejolak politik di Riau. Gelar adat Datuk Seri Setia Amanah yang sempat diberikan Lembaga Adat Melayu Riau (LAMR) kepada Abdul Wahid dikabarkan akan dicabut secara otomatis setelah status tersangka ditetapkan.
Sejumlah tokoh masyarakat menilai kasus ini menjadi pukulan telak bagi citra pemerintahan daerah. Aktivis antikorupsi di Pekanbaru, Arif Darmawan, menilai praktik “jatah preman” mencerminkan sistem yang sudah terbangun lama.
“Ini bukan sekadar perilaku individu, tapi pola kekuasaan yang mengakar. Ketika jabatan dijadikan alat transaksi, integritas publik ikut rusak,” ujarnya.
Meski KPK belum menyampaikan perkembangan lanjutan terkait penahanan Abdul Wahid, masyarakat Riau berharap proses hukum dapat berjalan cepat dan transparan.
Sementara itu, rumah dinas yang kini kosong menjadi simbol sunyinya kekuasaan yang tersandung kasus korupsi.
Di balik pagar yang tertutup rapat, tersisa hanya bayangan masa jabatan yang belum genap setahun, berakhir di tengah badai hukum yang menjerat sang gubernur.
Artikel diolah dari Tribun Pekanbaru
Baca juga: Jatah Preman Rp2,25 M Gubernur Riau Dikumpulkan Tenaga Ahli, Dipakai Hidup Mewah Abdul Wahid
| Daftar BLT Kesra November Pakai KTP, Dana Rp 900 Ribu Diambil di Kantor Pos |
|
|---|
| MKD DPR Tak Pecat Ahmad Sahroni Cs Meski Langgar Kode Etik, Pengamat Sebut Redam Kemarahan Publik |
|
|---|
| Ontran-ontran Keraton Solo Muncul Lagi setelah Raja Mangkat, Purbaya vs Tedjowulan |
|
|---|
| Update BLT Kesra Jambi November 900 Ribu di cekbansos.kemensos.go.id |
|
|---|
| Beda Korupsi di Sumut dan Jambi, Gubernur Bobby Tak Tersentuh Zumi Zola Kena |
|
|---|
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/jambi/foto/bank/originals/istri-gubernur-Henny-Sasmita-Wahid.jpg)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.