Berita Viral

Penyintas Tragedi 1965 tak Rela Soeharto Diberi Gelar Pahlawan Nasional

Penyintas Tragedi 1965 menolak rencana pemberian gelar pahlawan nasional kepada Presiden ke-2 Republik Indonesia, Soeharto.

Penulis: Heri Prihartono | Editor: Heri Prihartono
Tribunjambi.com
SOEHARTO.Penyintas Tragedi 1965 menolak rencana pemberian gelar pahlawan nasional kepada Presiden ke-2 Republik Indonesia, Soeharto. 

TRIBUNJAMBI.COM -Utati salah satu Penyintas Tragedi 1965, menolak rencana pemberian gelar pahlawan nasional kepada Presiden ke-2 Republik Indonesia, Soeharto

Penolakannya didasari oleh pengalaman pribadi sebagai korban kekerasan dan penindasan politik di masa Orde Baru.

Enam dekade telah berlalu, namun trauma akibat peristiwa tersebut masih ia rasakan hingga kini.

Dalam konferensi pers yang digelar koalisi masyarakat sipil di Gedung YLBHI, Menteng, Jakarta, Selasa (4/11/2025), Utati menyatakan bahwa langkah pemerintah untuk memberikan gelar kehormatan kepada Soeharto merupakan bentuk pengkhianatan terhadap para korban.

"Menurut saya, penderitaan itu sampai sekarang masih kami alami. Jadi kalau presiden yang melakukan begitu banyak tekanan pada kami terus mau diangkat menjadi pahlawan nasional, itu rasanya kami tidak rela. Saya terutama ya, karena saya di sini sebagai korban langsung," ujar Utati.

Utati merupakan salah satu korban langsung dari peristiwa Gerakan 30 September (G30S) 1965.

 Ia ditahan selama 11 tahun di penjara wanita Bukit Duri, Jakarta Selatan, tanpa melalui proses peradilan. Selama masa tahanannya, Utati dan tahanan politik lain harus berjuang mempertahankan hidup dalam kondisi yang keras dan penuh tekanan psikologis.

“Dengan segala cara kami yang ada di situ jelas tidak mau mati konyol tapi berusaha untuk bertahan bisa hidup keluar dengan akal yang masih waras,” tuturnya.

Setelah dibebaskan, kebebasan yang ia peroleh ternyata tidak sepenuhnya membebaskannya dari pengawasan negara.

Utati masih diwajibkan melapor jika hendak bepergian ke luar kota, dan gerak-geriknya tetap diawasi oleh aparat.

Pada masa pemerintahan Soeharto, diterapkan kebijakan “bersih lingkungan” yang membatasi aktivitas sosial dan ekonomi para mantan tahanan politik serta keluarganya.

Kebijakan ini menyebabkan diskriminasi terhadap anak dan cucu para korban. Banyak dari mereka tidak berani mengakui identitas keluarganya karena khawatir terkena dampak sosial dan ekonomi.

“Kenapa takut? Ya karena nanti ditandai tidak bersih lingkungan, tidak boleh kerja di sini, tidak boleh kerja di situ. Yang jadi guru, jadi dalang, jadi pegawai negeri itu kan semuanya nggak boleh,” jelas Utati.

Setelah reformasi 1998 dan lengsernya Soeharto dari jabatan presiden, para penyintas baru mulai berani muncul ke publik dan saling bertemu.

Namun, menurut Utati, rasa takut dan cemas masih membekas. 

Halaman 1/3
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved