Berita Nasional
Bukan Luhut, Inilah Sosok Menteri Temani Jokowi 'Deal' Proyek Kereta Cepat dengan China pada 2014
Bukan Luhut Panjaitan yang selama ini santer disebut-sebut, ternyata ada satu menteri yang mendampingi Jokowi saat penandatanganan kerja sama
Penulis: Darwin Sijabat | Editor: Darwin Sijabat
TRIBUNJAMBI.COM - Misteri di balik awal mula kesepakatan proyek kereta cepat Jakarta-Bandung (Whoosh) dengan Tiongkok pada tahun 2014 perlahan terkuak.
Bukan sosok Luhut Panjaitan yang selama ini santer disebut-sebut, ternyata ada satu menteri yang mendampingi Presiden ke-7, Joko Widodo atau Jokowi saat penandatanganan kerja sama penting tersebut.
Bukan sosok Luhut Panjaitan yang selama ini santer disebut-sebut, ternyata ada satu menteri yang mendampingi Jokowi saat penandatanganan kerja sama penting tersebut.
Pengungkapan ini disampaikan oleh Profesor Sulfikar Amir, Sosiolog Perkotaan dari Nanyang Technology University (NTU) Singapura, dalam program gelar wicara ROSI di KompasTV, Minggu (2/11/2025).
Prof. Sulfikar menyebut deal awal proyek kereta cepat ini terjadi jauh sebelum pemerintah secara resmi mengumumkan penunjukan Tiongkok sebagai mitra.
Momen krusial tersebut berlangsung saat kunjungan Presiden Xi Jinping ke Jakarta pada Mei 2014, dalam rangka Peringatan Konferensi Asia-Afrika (KAA) di Bandung.
Pertemuan tersebut terjadi hanya sebulan setelah Jokowi yang baru menjabat melakukan kunjungan balasan ke Tiongkok.
"Sebulan setelah itu (kunjungan Jokowi ke China), Xi Jinping ke Jakarta untuk mengikuti Peringatan Konferensi Asia-Afrika di Bandung, dan mereka bertemu lagi di Jakarta," urai Sulfikar.
Baca juga: Kok Bisa Jokowi Rayu Xi Jinping? Kereta Cepat Bukan untuk Cari Untung
Baca juga: Lolos dari Pemakzulan Dramatis di DPRD, Bupati Sudewo Janji Tingkatkan Kinerja
Baca juga: Judol Buat Indonesia Bocor Rp133 T per Tahun, Presiden Prabowo Lantang di AELM Desak Kerja Sama
Menurut kesaksian Sulfikar, pertemuan bilateral di Jakarta itulah yang membuahkan hasil signifikan.
"Apa yang terjadi saat itu adalah penandatanganan kerja sama antara Indonesia-China, dan di situ mencantumkan proyek kereta cepat," tegasnya.
Sofyan Djalil, Bukan Menteri Lain
Sulfikar secara spesifik menyebutkan nama menteri yang berada di sisi Jokowi saat penandatanganan kerja sama kereta cepat dengan Presiden Xi Jinping.
"Ada satu menteri, dia menemani Jokowi saat itu, yaitu Sofyan Djalil, Menteri Perekonomian saat itu," ungkap Prof. Sulfikar.
Penunjukan Sofyan Djalil sebagai Menteri Koordinator Bidang Perekonomian sendiri baru dilakukan pada 27 Oktober 2014.
Prof. Sulfikar menegaskan bahwa keterlibatan Sofyan Djalil dalam momen penandatanganan awal ini menunjukkan bahwa deal politik dan teknis telah terjalin lama sebelum diumumkan ke publik.
"Artinya, jauh sebelum pemerintah Indonesia mengatakan proyek pembangunan kereta cepat itu diserahkan ke China, sudah ada deal antara Jokowi dan Xi Jinping secara resmi dan ditandatangani di Jakarta," imbuhnya.
Rekam Jejak Sofyan Djalil di Kabinet Awal Jokowi
Sosok Sofyan Djalil dikenal sebagai birokrat yang telah malang melintang di berbagai kementerian.
Ia menjabat sebagai Menteri Koordinator Bidang Perekonomian dalam Kabinet Kerja Jokowi-Jusuf Kalla hanya selama satu tahun (2014-2015).
Sofyan Djalil kemudian mengalami pergeseran jabatan berturut-turut, mulai dari Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (2015-2016) hingga akhirnya menjabat sebagai Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN selama periode yang cukup panjang (2016-2022).
Baca juga: Siap-siap Bakal Ada Tersangka Kasus Ijazah Jokowi, Ini Bocorannya
Baca juga: Polresta Jambi Rilis 7 Tampang Madesu Diduga Geng Motor, Wargenet: Bentar Lagi Bebas Ni
Pengungkapan ini memberikan perspektif baru tentang bagaimana proyek strategis nasional, seperti Whoosh, dirintis melalui jalur diplomatik tingkat tinggi dan melibatkan menteri-menteri kunci pada masa awal pemerintahan Presiden Jokowi.
Buat Perencanaan Proyek Jadi Tak Matang
Masih dalam program yang sama, Sulfikar Amir menilai kesepakatan kerja sama bukan perkara benar atau salah.
Namun, menurutnya, kesepakatan yang dibuat Jokowi dan Xi Jinping pada 2014 itulah yang membuat perencanaan proyek kereta cepat Jakarta-Bandung (KCJB) atau Whoosh menjadi tidak matang dan berakhir seperti saat ini.
"Deal itu sebenarnya bukan perkara salah atau benar, tapi deal itulah yang membuat seluruh perencanaan pembangunan kereta cepat Jakarta-Bandung itu menjadi seperti apa yang kita lihat sekarang," tutur Sulfikar.
Ia mengungkapkan, dibandingkan China, perencanaan dari Jepang mengenai titik berhenti Whoosh justru lebih bagus.
Ketika pemerintah Indonesia memutuskan bekerja sama dengan Jepang, ujar Sulfikar, negeri tirai bambu itu tak melakukan studi kelayakan secara mendalam seperit Jepang sebelumnya.
Sulfikar mengatakan China hanya menggunakan studi kelayakan dari Jepang dan dari situlah anggaran dibuat.
"Perencanaan dari Jepang itu jauh lebih bagus. Berhenti di Tugu Atas, Jakarta, lalu di Bandung, itu di Stasiun Bandung, center to center," ujarnya.
"Ketika China masuk, mereka tidak melakukan studi kelayakan, mereka hanya mengkaji studi kelayakan dari Jepang yang dilakukan dalam waktu 3 bulan."
Baca juga: Respon PDIP Soal Pemberian Gelar Pahlawan ke Soeharto, Hasto Singgung Catatan Keras Mahfud MD
"Lalu kemudian mereka membuat susunan anggaran yang sebenarnya tidak berbasis pada studi-studi empirik, berbeda dari apa yang dilakukan oleh Jepang," lanjut Sulfikar.
Jadi Rebutan Jepang-China
Proyek kereta cepat sempat menjadi "rebutan" antara pemerintah Jepang dan China.
Hal ini bermula pada 2014-2015, di mana proyek kereta cepat awalnya merupakan gagasan Jepang di era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Baca juga: Polemik Utang kereta cepat Whoosh: AHY Putar Otak Cari Solusi, China Singgung soal Manfaat
Jepang, melalui Japan International Cooperation Agency (JICA), sudah sempat melakukan studi kelayakan, meski saat itu pemerintah Indonesia belum memutuskan soal kerja sama.
Dilansir Kompas.com, JICA kala itu mengeluarkan modal hingga 3,5 juta dolar AS sejak 2014, untuk mendanai studi kelayakan.
Studi kelayakan itu dilakukan bersama Kementerian Perhubungan (Kemenhub), serta Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (kini bernama Badan Riset dan Inovasi Nasional atau BRIN).
Ketika pemerintahan beralih dari era SBY ke Jokowi, diputuskan oleh pemerintah Indonesia, proyek kereta cepat akan dibangun dengan rute Jakarta-Bandung.
Pemerintah Indonesia lantas membuka lelang terbuka bagi negara-negara yang tertarik, hingga masuklah China sebagai lawan Jepang yang sebelumnya sudah lebih dulu menyatakan minatnya.
Bersamaan dengan munculnya tawaran dari China dan pemerintah Indonesia kurang menunjukkan minat pada proposal pertama Jepang, utusan negeri sakura saat itu, Izumi Hiroto, membawa proposal kedua yang sudah direvisi.
Proposal yang dibawa pada 26 Agustus 2015, berisi tawaran investasi kereta cepat sebesar 6,2 miliar dolar AS.
Jepang juga menawarkan pinjaman proyek dengan masa waktu 40 tahun berbunga hanya 0,1 persen per tahun dengan masa tenggang 10 tahun, padahal sebelumnya bunga yang ditawarkan Jepang sampai 0,5 persen per tahun.
Usulan terbaru, Jepang juga menawarkan jaminan pembiayaan dari pemerintah Jepang dan meningkatkan tingkat komponen produk dalam negeri Indonesia.
Tidak lama setelahnya, China mengirimkan proposalnya pada 11 Agustus 2015, dengan tawaran harga pembangunan jauh lebih murah dan mendapat dukungan dari Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) periode 2014-2019, Rini Soemarno.
China kemudian menawarkan nilai investasi yang lebih murah dari Jepang, yakni sebesar 5,5 miliar dollar AS dengan skema investasi 40 persen kepemilikan China dan 60 persen kepemilikan lokal, yang berasal dari konsorsium BUMN.
Dari estimasi investasi tersebut, sekitar 25 persen akan didanai menggunakan modal bersama dan sisanya berasal dari pinjaman dengan tenor 40 tahun dan bunga 2 persen per tahun.
Selain itu, berbeda dengan tawaran Jepang, China menjamin pembangunan kereta cepat tak menguras dana
Baca juga: Kode Redeem ML Mobile Legends Terbaru Minggu 2 November 2025, Spesial Banjir Skin dan Diamond
Anggaran Pendapatan dan Belanja Nasional (APBN) Indonesia.
Tawaran China lainnya yang berbeda dengan proposal Jepang, adalah mereka mengeklaim akan terbuka soal transfer teknologi kepada Indonesia.
Dengan keuntungan yang ditawarkan, pemerintah Indonesia pun akhirnya berpaling dan memilih proposal yang ditawarkan China, meski hal itu menimbulkan kekecewaan pemerintah Jepang.
Simak berita terbaru Tribunjambi.com di Google News
Baca juga: Cair BLT Kesra 2025 Rp 900 Ribu Bulan November: Cek di https//cekbansos.kemensos.go.id Via Online
Baca juga: Penangkapan di Jalan Ibrahim Kota Jambi, Diduga Pelaku Curanmor
Baca juga: 5 Rekomendasi Film Horor Terbaru Netflix Bulan November, Ada Jalan Pulang yang Diperankan Luna Maya
Artikel ini telah tayang di Tribunnews.com dengan judul Ada Satu Menteri Disebut Temani Jokowi saat Tanda Tangan Proyek Whoosh dengan China
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/jambi/foto/bank/originals/20251102-Jokowi-dan-kereta-cepat.jpg)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.