“Saya mendesak Menteri ESDM dan KLHK segera berkoordinasi dengan pemerintah daerah untuk meninjau ulang izin operasional proyek ini,” ujar Rocky di Kompleks Parlemen, Senin (7/7/2025), secara spesifik menyorot proyek yang dijalankan oleh anak perusahaan Kalla Group tersebut.
Rocky menegaskan bahwa proyek tersebut telah menimbulkan kerusakan sosial, lingkungan, dan ekonomi.
"Warga tak bisa lagi mencari ikan di sungai, konflik antarwarga meningkat, dan lingkungan rusak. Jangan biarkan perusahaan berpesta di atas penderitaan rakyat,” tegasnya.
Persoalan ini bahkan lebih dalam, menyentuh isu penguasaan lahan adat.
Menurut Depati Muaro Langkap Tamiai, Mukhri Soni, konflik berawal dari pembebasan sekitar 400 hektar lahan adat Muaro Langkap yang seharusnya tidak dapat diperjualbelikan secara permanen.
“Kami tidak menolak pembangunan, apalagi untuk kepentingan negara. Seharusnya mereka patuh pada aturan adat,” ungkap Mukhri.
Ia mencurigai adanya upaya memecah belah masyarakat dengan penawaran pekerjaan dan uang, yang memicu konflik horizontal.
Mukhri bahkan telah melayangkan surat terbuka kepada Presiden Prabowo Subianto, meminta peresmian PLTA ditunda hingga seluruh masalah dengan masyarakat adat terselesaikan.
Klarifikasi Anak Usaha Bukaka: Mayoritas Warga Sudah Menerima
Menanggapi aksi tersebut, Humas PT KMH, Ansori, selaku perwakilan anak usaha Bukaka di lapangan, menyatakan bahwa pro dan kontra adalah hal biasa dan proyek harus tetap berjalan.
"Kesimpulan dari tim terpadu seperti apa, kemampuan kami membayar sekian, keinginan mereka inginnya sekian, ya enggak ketemu," ujar Ansori.
Ia mengklaim bahwa kelompok penolak hanyalah minoritas.
Berdasarkan data Dukcapil hingga Juni, dari total 907 KK di dua desa terdampak, sebanyak 643 KK telah menerima kompensasi.
"Coba banyak mana yang belum dengan yang sudah?" tantangnya.