TRIBUNJAMBI.COM, KERINCI - Proyek Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) yang dikelola oleh anak usaha PT Bukaka Teknik Utama Tbk (BUKK) di Kabupaten Kerinci, Jambi, berujung ricuh pada Kamis (21/8/2025).
Ratusan warga Desa Pulau Pandan yang menuntut kejelasan kompensasi lahan bentrok dengan aparat keamanan.
Peristiwa ini menandai eskalasi konflik sosial, lingkungan, dan adat yang telah membayangi proyek strategis nasional tersebut selama bertahun-tahun.
Situasi memanas ketika massa, yang telah berunjuk rasa sejak pagi, menerobos masuk ke area kerja bendungan PLTA yang dioperasikan oleh PT Kerinci Merangin Hidro (KMH), entitas anak Bukaka.
Batu dan kayu beterbangan ke arah alat berat ekskavator yang sedang mengeruk sungai.
Aparat gabungan dari Polres Kerinci, Polda Jambi, dan Kodim 0417/Kerinci yang berjaga di lokasi terpaksa melepaskan tembakan gas air mata untuk membubarkan massa setelah terjadi aksi saling dorong.
Kericuhan ini menyebabkan sejumlah warga terluka ringan, sementara kaca satu unit alat berat pecah.
"Kami minta Humas PLTA, Ansori, langsung menemui kami di sini. Setiap rapat, Ansori tidak pernah hadir," teriak seorang ibu di lokasi unjuk rasa.
Hingga petang, massa yang didominasi ibu-ibu masih bertahan di Jembatan Sungai Tanjung Meridu.
Kekecewaan warga memuncak karena perwakilan manajemen dari anak usaha perusahaan milik keluarga Kalla itu tak kunjung menemui mereka.
"Kami bukan menolak pembangunan, tapi hak kami jangan diabaikan. Lahan kami dipakai, tapi sampai sekarang ganti rugi tidak jelas,” seru warga lainnya.
Akar masalah unjuk rasa ini adalah tawaran kompensasi sebesar Rp5 juta per Kepala Keluarga (KK) yang dinilai tidak adil dan tidak sebanding dengan kerugian atas hilangnya mata pencaharian di sepanjang Sungai Tanjung Merindu.
Sorotan Nasional dan Konflik Adat
Jauh sebelum kericuhan ini, proyek PLTA Kerinci telah menjadi sorotan di tingkat nasional. Pada Juli 2025 lalu, Anggota Komisi VII DPR RI, Rocky Candra, mendesak pemerintah untuk menghentikan sementara proyek tersebut.