Berita Nasional

Korupsi Timah: Hendry Lie Divonis 14 Tahun Penjara dan Uang Pengganti Rp1,05 Triliun

Hendry Lie, pemilik saham mayoritas (beneficial owner) PT Tinindo Inter Nusa (TIN), dijatuhi hukuman penjara selama 14 tahun serta dikenai denda Rp1 m

Penulis: Mareza Sutan AJ | Editor: Mareza Sutan AJ
Tribunnews.com/Ilham Rian Pratama
VONIS 14 TAHUN - Terdakwa Hendry Lie saat menjalani sidang putusan atau vonis kasus korupsi pengelolaan tata niaga komoditas timah di wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) di PT Timah Tbk tahun 2015–2022 yang merugikan negara hingga Rp300,003 triliun, di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Kamis (12/6/2025). Majelis hakim menjatuhkan hukuman pidana penjara 14 tahun kepada Hendry Lie dan denda sejumlah Rp1 miliar subsider 6 bulan kurungan, karena terbukti dalam kasus korupsi tersebut. 

Hendry Lie diketahui memerintahkan dua bawahannya, yaitu Rosalina selaku General Manager Operasional PT TIN periode Januari 2017–2020, dan Fandy Lingga sebagai staf Marketing PT TIN sejak 2008 hingga Agustus 2018, untuk menandatangani surat penawaran kepada PT Timah tertanggal 3 Agustus 2018.

Penawaran itu berkaitan dengan kerja sama sewa peralatan pengolahan timah bersama sejumlah smelter swasta seperti PT Refined Bangka Tin (RBT), CV Venus Inti Perkasa, PT Sariwiguna Bina Sentosa, dan PT Stanindo Inti Perkasa (SIP).

Melalui PT TIN dan perusahaan afiliasinya, yakni CV Bukit Persada Raya, CV Sekawan Makmur Sejati, dan CV Semar Jaya Perkasa, Hendry bersama Rosalina dan Fandy melakukan pembelian dan pengumpulan bijih timah dari sumber penambangan ilegal di wilayah IUP PT Timah.

Hendry juga memberikan instruksi kepada Fandy untuk hadir dalam rapat yang berlangsung di Hotel Novotel Pangkal Pinang.

Dalam pertemuan itu, Fandy mewakili PT TIN untuk bertemu dengan Direktur Utama PT Timah periode 2016–2021 Mochtar Riza Pahlevi Tabrani, Direktur Operasi dan Produksi PT Timah periode April 2017–Februari 2020 Alwin Albar, serta 27 pemilik smelter swasta lainnya.

Pertemuan itu membahas permintaan PT Timah agar smelter swasta menyisihkan 5 persen bijih timah dari kuota ekspor mereka untuk perusahaan BUMN tersebut.

Hendry Lie juga terlibat dalam persetujuan pendirian perusahaan boneka seperti CV Bukit Persada Raya, CV Sekawan Makmur Sejati, dan CV Semar Jaya Perkasa.

Perusahaan-perusahaan tersebut digunakan sebagai rekanan jasa borongan PT Timah untuk mengumpulkan bijih timah dari penambangan ilegal dan kemudian dijual kembali ke PT Timah sebagai bagian dari skema kerja sama.

Selain menerima pembayaran dari PT Timah atas kerja sama tersebut, perusahaan-perusahaan yang terlibat menerima pembayaran lebih tinggi dari nilai semestinya atau overpricing.

Hendry Lie bersama Rosalina dan Fandy juga menyetujui permintaan Harvey Moeis—yang mewakili PT RBT—untuk memberikan "biaya pengamanan" sebesar 500–750 dolar AS per ton. Biaya itu dicatat seolah-olah sebagai bagian dari program CSR dari smelter swasta.

Ia juga mengetahui dan menyetujui kesepakatan antara Harvey Moeis dan sejumlah smelter swasta lain dalam menetapkan harga sewa smelter dengan PT Timah tanpa melalui studi kelayakan yang memadai.

Bahkan, kerja sama tersebut tidak tercantum dalam Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) milik PT Timah maupun kelima smelter terkait.

Lebih lanjut, Hendry melalui Rosalina dan Fandy menyetujui harga sewa pengolahan timah sebesar 4.000 dolar AS per ton untuk PT RBT dan 3.700 dolar AS per ton untuk empat smelter lainnya.

Penetapan harga itu dibuat dalam dokumen yang tanggalnya dimundurkan.

Selain itu, Hendry Lie juga menyetujui tindakan Harvey Moeis yang menerima biaya pengamanan dari PT Quantum Skyline Exchange milik Helena.

Halaman
123
Sumber: Tribunnews
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved