Polemik di Papua
Sejarah Bendera Bintang Kejora Hingga Larangan Pemerintah untuk Dikibarkan, Simbol OPM?
Bendera Bintang Kejora merupakan bendera yang dipakai sebagai bendera wilayah Nugini Belanda, bagian barat Pulau Papua dari Hindia Belanda.
Bendera Bintang Kejora.
TRIBUNJAMBI.COM - Bendera Bintang Fajar atau Bendera Bintang Kejora merupakan bendera yang dipakai sebagai bendera wilayah Nugini Belanda, bagian barat Pulau Papua dari Hindia Belanda.
Bendera ini berupa tujuh garis horizontal warna biru dan enam garis putih di sebelah kanan serta bagian warna merah di sebelah kiri yang memiliki bintang putih di tengahnya.
Dikutip Kompas.com dari Intisari (30/5/2021), awalnya, masyarakat Papua di Teluk Humboldt Holandia (sekarang Jayapura) mengibarkan bendera itu sebagai bangsa berdaulat sejak 1944-1945.
Saat itu, Amerika Serikat meninggalkan wilayah Papua Barat setelah Perang Pasifik sambil membawa tawanan Jepang. Namun, Belanda lalu masuk dan menguasai Papua bagian barat.
Bendera Bintang Kejora dulunya merupakan simbol gerakan Koreri atau gerakan adat dan kultural dari sebuah suku.
Bendera Bintang Kejora dipakai sebagai lambang Papua Barat sejak 1 Desember 1961 sampai 1 Oktober 1962 saat Papua Barat berada di bawah pemerintahan Otoritas Eksekutif Sementara Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNTEA).
Kemudian pada Kongres Nasional Papua di Hollandia (sekarang Jayapura) mengesahkan bendera ini sebagai simbol perjuangan rakyat Papua untuk merdeka pada 19 Oktober 1961.
Bendera ini dirancang politikus Papua bernama Nicolaas Jouwe yang saat itu menjabat sebagai wakil presiden Dewan Nieuw Guinea.
Baca juga: Bendera Bintang Kejora Hiasi Langit Timika Papua, 1 Warga Diamankan, Rayakan 1 Desember OPM?
Baca juga: Rekapitulasi Suara Pilkada 2024 di Maybrat Papua Ricuh, Massa Serang Petugas
Warna merah, putih, dan biru pada Bendera Bintang Kejora melambangkan persatuan rakyat Papua. Sementara bintang kejora lambang harapan dan pencerahan bagi masa depan Papua yang merdeka.
Dilarang Berkibar
Pada 15 Agustus 1962, Perjanjian New York berisi penyerahan Papua bagian barat atau dikenal sebagai Irian Barat dari Belanda ke Indonesia melalui UNTEA disahkan.
Papua bagian barat akhirnya resmi menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) pada 1 Mei 1963.
Namun, perkembangan situasi menyebabkan muncul referendum untuk memutuskan Irian Barat akan bergabung dengan Indonesia atau menjadi negara sendiri.
Pemerintah Indonesia lalu mengadakan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) pada 1969 untuk menentukan status Irian Barat.
Hasilnya, masyarakat Irian Barat menghendaki bergabung dengan NKRI. Bendera Bintang Kejora dilarang berkibar selama Pepera.
Meski begitu, banyak orang Papua mengibarkan bendera ini diam-diam sebagai simbol perlawanan.
Jadi Simbol OPM
Sejak 1970-an, Bendera Bintang Kejora lalu dipakai sebagai simbol utama Organisasi Papua Merdeka (OPM) yang memperjuangkan kemerdekaan Papua dari Indonesia.
Baca juga: Tukang Ojek di Papua Kembali Jadi Korban, Kali Ini Tewas Usai di Aniaya OTK
Pemerintah Indonesia menetapkan OPM sebagai organisasi teroris yang terlarang pada 2021 berdasarkan UU Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
Selama era Orde Baru, pengibaran Bendera Bintang Kejora dan OPM diberantas oleh pemerintah karena berusaha melepaskan diri dari Indonesia.
Namun pada kepemimpinan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur), dia tidak melarang Bendera Bintang Kejora dikibarkan masyarakat Papua.
Gus Dur menganggap Bendera Bintang Kejora sebagai simbol identitas kultural warga Papua. Oleh karena itu menurut Gus Dur bendera tersebut boleh dikibarkan di bawah bendera Merah Putih.
Bendera Bintang Kejora Berkibar
Tanggal 1 Desember dirayakan sebagian kelompok berseberangan sebagai Hari Ulang Tahun Organisasi Papua Merdeka (OPM) atau disebut KKB Papua.
Momen tersebut acapkali menyisakan cerita. Seperti yang terjadi di kawasan Kelurahan Timika Indah, Kabupaten Mimika, Papua Tengah pada Senin (2/2/2024) sekitar pukul 13.35 WIT.
Disana bendera Bintang Kejora kembali berkibar di salah satu tiang yang berada di sebuah rumah warga.
Meski peringatan 1 Desember sudah lewat satu hari, namun aksi pengibaran bendera tetap dilakukan dan berlangsung sekitar 15 menit. Sontak, hal ini menjadi sorotan publik.
Pasalnya, peristiwa serupa kerap terjadi di berbagai wilayah Papua sebagai bentuk ekspresi aspirasi masyarakat.
Baca juga: Heli Caracal Milik TNI Ditembak di Papua Tengah, 2 Prajurit Terluka, KKB Papua? Ini Kronologinya
Aparat keamanan yang mendapat laporan langsung bergerak cepat ke lokasi dan menurunkan paksa bendera tersebut.
Seorang warga yang diduga terlibat pun diamankan untuk dimintai keterangan. Polisi juga menyita bendera BintangKejora yang sebelumnya dikibarkan.
Namun, hingga berita ini ditayangkan, aparat belum memberikan keterangan. Kabarnya satu warga diamankan juga masih diperiksa.
Sejarah Peringatan 1 Desember
Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB)-Organisasi Papua Merdeka (OPM) atau yang sering disebut Kelompok Kriminal Bersenjata atau KKB Papua telah lama berdiri di Indonesia, yakni di wilayah Papua.
Organiasi tersebut awalnya merupakan gerakan spiritual kargoisme, kelompok kebatinan yang menggabungkan kepercayaan adat dan kristiani, yang dibentuk oleh kepala distrik Demta, Aser Demotekay.
Kelompok kedua berasal dari Manokwari pada tahun 1964, tokohnya adalah Terianus Aronggear. Dia mendirikan 'Organisasi Perjuangan Menuju Kemerdekaan Negara Papua Barat'.
Organisasi ini juga bergerak secara klandestin. Belakangan, organisasi Terianus dikenal sebagai Organisasi Papua Merdeka (OPM).
Kelompok separatis mengibarkan bendera Bintang Kejora Papua Barat pada tanggal 1 Desember setiap tahunnya. Tanggal tersebut mereka anggap sebagai hari kemerdekaan Papua.
Menurut laporan Human Rights Watch, Polri berspekulasi bahwa orang-orang yang melakukan tindakan seperti ini bisa dijerat dengan tuduhan pengkhianatan yang hukumannya berupa kurungan penjara selama 7 sampai 20 tahun di Indonesia.
Nicolaas Jouwe dan dua komandan OPM, Seth Jafeth Roemkorem dan Jacob Hendrik Prai, berencana mendeklarasikan kemerdekaan Papua pada tahun 1971. Tanggal 1 Juli 1971, Roemkorem dan Prai mendeklarasikan Republik Papua Barat dan segera merancang konstitusinya.
Konflik strategi antara Roemkorem dan Prai berujung pada perpecahan OPM menjadi dua faksi: PEMKA yang dipimpin Prai dan TPN yang dipimpin Roemkorem. Perpecahan ini sangat memengaruhi kemampuan OPM sebagai suatu pasukan tempur yang terpusat.
Sejak 1976, para pejabat perusahaan pertambangan Freeport Indonesia sering menerima surat dari OPM yang mengancam perusahaan dan meminta bantuan dalam rencana pemberontakan musim semi. Perusahaan menolak bekerja sama dengan OPM.
Baca juga: Perjalanan 31 Jam Demi Suara: Kisah Heroik Tim Logistik Pilkada ke Kampung Terpencil di Papua Barat
Mulai 23 Juli sampai 7 September 1977, milisi OPM melaksanakan ancaman mereka terhadap Freeport dan memotong jalur pipa slurry dan bahan bakar, memutus kabel telepon dan listrik, membakar sebuah gudang, dan meledakkan bom di sejumlah fasilitas perusahaan. Freeport memperkirakan kerugiannya mencapai $123.871,23.
Tahun 1982, Dewan Revolusi OPM (OPMRC) didirikan dan di bawah kepemimpinan Moses Werror, OPMRC berusaha meraih kemerdekaan melalui kampanye diplomasi internasional. OPMRC bertujuan mendapatkan pengakuan internasional untuk kemerdekaan Papua Barat melalui forum-forum internasional seperti PBB, Gerakan Non-Blok, Forum Pasifik Selatan, dan ASEAN.
Tahun 1984, OPM melancarkan serangan di Jayapura, ibu kota provinsi dan kota yang didominasi orang Indonesia non-Melanesia. Serangan ini langsung diredam militer Indonesia dengan aksi kontra-pemberontakan yang lebih besar. Kegagalan ini menciptakan eksodus pengungsi Papua yang diduga dibantu OPM ke kamp-kamp di Papua Nugini.
Tanggal 14 Februari 1986, Freeport Indonesia mendapatkan informasi bahwa OPM kembali aktif di daerah mereka dan sejumlah karyawan Freeport adalah anggota atau simpatisan OPM. Tanggal 18 Februari, sebuah surat yang ditandatangani "Jenderal Pemberontak" memperingatkan bahwa "Pada hari Rabu, 19 Februari, akan turun hujan di Tembagapura".
Sekitar pukul 22:00 WIT, sejumlah orang tak dikenal memotong jalur pipa slurry dan bahan bakar dengan gergaji, sehingga "banyak slurry, bijih tembaga, perak, emas, dan bahan bakar diesel yang terbuang." Selain itu, mereka membakar pagar jalur pipa dan menembak polisi yang mencoba mendekati lokasi kejadian.
Tanggal 14 April 1986, milisi OPM kembali memotong jalur pipa, memutus kabel listrik, merusak sistem sanitasi, dan membakar ban. Kru teknisi diserang OPM saat mendekati lokasi kejadian, sehingga Freeport terpaksa meminta bantuan polisi dan militer.
Dalam insiden terpisah pada bulan Januari dan Agustus 1996, OPM menawan sejumlah orang Eropa dan Indonesia; pertama dari grup peneliti, kemudian dari kamp hutan. Dua sandera dari grup pertama dibunuh dan sisanya dibebaskan.
Bulan Juli 1998, OPM mengibarkan bendera mereka di menara air kota Biak di pulau Biak. Mereka menetap di sana selama beberapa hari sebelum militer Indonesia membubarkan mereka. Filep Karma termasuk di antara orang-orang yang ditangkap.[21]
Tanggal 24 Oktober 2011, Dominggus Oktavianus Awes, kepala polisi Mulia, ditembak oleh orang tak dikenal di Bandara Mulia, Puncak Jaya. Kepolisian Indonesia menduga sang penembak adalah anggota OPM. Rangkaian serangan terhadap polisi Indonesia memaksa pemerintah menerjunkan lebih banyak personel di Papua.
Pada tanggal 21 Januari 2012, orang-orang bersenjata yang diduga anggota OPM menembak mati seorang warga sipil yang sedang menjaga warung. Ia adalah transmigran asal Sumatera Barat.
Tanggal 8 Januari 2012, OPM melancarkan serangan ke bus umum yang mengakibatkan kematian 3 warga sipil dan 1 anggota TNI. 4 lainnya juga cedera.
Tanggal 31 Januari 2012, seorang anggota OPM tertangkap membawa 1 kilogram obat-obatan terlarang di perbatasan Indonesia-Papua Nugini. Obat-obatan tersebut diduga akan dijual di Jayapura.
Tanggal 8 April 2012, OPM menyerang sebuah pesawat sipil Trigana Air setelah mendarat yang akan parkir di Bandara Mulia, Puncak Jaya, Papua. Lima militan bersenjata OPM tiba-tiba melepaskan tembakan ke pesawat, sehingga pesawat kehilangan kendali dan menabrak sebuah bangunan. Satu orang tewas, yaitu Leiron Kogoya, seorang jurnalis Papua Pos yang mengalami luka tembak di leher.
Pilot Beby Astek dan Kopilot Willy Resubun terluka akibat pecahan peluru. Yanti Korwa, seorang ibu rumah tangga, terluka di lengan kanannya dan anaknya yang berusia 4 tahun, Pako Korwa, terluka di tangan kirinya. Pasca-serangan, para militan mundur ke hutan sekitar bandara. Semua korban adalah warga sipil.
Tanggal 1 Juli 2012, patroli keamanan rutin yang diserang OPM mengakibatkan seorang warga sipil tewas. Korban adalah presiden desa setempat yang ditembak di bagian kepala dan perut. Seorang anggota TNI terluka oleh pecahan kaca.
Tanggal 9 Juli 2012, tiga orang diserang dan tewas di Paniai, Papua. Salah satu korban adalah anggota TNI. Dua lainnya adalah warga sipil, termasuk bocah berusia 8 tahun. Bocah tersebut ditemukan dengan luka tusuk di bagian dada.
Simak berita terbaru Tribunjambi.com di Google News
Baca juga: Tiga Pelaku Pencurian Modus Ganjal ATM Diringkus Polresta Jambi, Kerugian Rp 67,5 Juta
Baca juga: Mattia Perin: Juventus Mengubah Filosofi di Bawah Asuhan Thiago Motta
Baca juga: Target Kemenangan Pilkada 2024 Tidak Tercapai, Kader PAN Terpecah?
Baca juga: KPU Merangin Gelar Rapat Pleno Terbuka Rekapitulasi Hasil Pilkada 2024 Malam Ini
Sebagian artikel ini tayang di Kompas.com
Bendera Bintang Kejora Hiasi Langit Timika Papua, 1 Warga Diamankan, Rayakan 1 Desember OPM? |
![]() |
---|
Rekapitulasi Suara Pilkada 2024 di Maybrat Papua Ricuh, Massa Serang Petugas |
![]() |
---|
Kronologi Tukang Ojek Jadi Korban Penikaman saat Antar Penumpang ke Bandara di Papua |
![]() |
---|
Tukang Ojek di Papua Kembali Jadi Korban, Kali Ini Tewas Usai di Aniaya OTK |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.