WAWANCARA EKSKLUSIF
Jokowi dan Prabowo Duet Maut, Direktur Eksekutif Indo Barometer M Qodari, Seri I
Menurutnya, bukan SBY dengan Jokowi yang musuhan melainkan karena Jokowi berasal dari PDIP. Namun, putusnya pemerintahan itu tetap dengan ...
Sama-sama obsesinya Indonesia Maju. Pak Jokowi itu agenda Indonesia Maju. Pak Prabowo, Indonesia Maju.
Tahun 2009, namanya Indonesia Macan Asia. Itu Indonesia emas itu. Itu Indonesia Maju. Dalam judul yang berbeda. Pak Prabowo dalam bukunya selalu mengatakan tentang kekayaan Indonesia. Sebesar-besar kemahmuran rakyat Indonesia.
Yang implementasi, yang operasionalisasi, Pak Jokowi. Dengan konsep hilirisasi. Itu kan optimalisasi kekayaan sebesar-besar kemahmuran rakyat kan.
Kalau bahan mentah nilainya 3. Kalau bahan jadi nilainya 30. 10 kali lipat.
Belum lagi nanti kalau barang industri bisa naik jadi 300. Itu yang meletakkan dasar-dasarnya yang praktikannya adalah Pak Jokowi.
Jadi antara Pak Jokowi dengan Pak Prabowo ini menurut saya inilah yang namanya sebetulnya dwi tunggal. Tahun 1945 kita punya dwi tunggal. Soekarno-Hatta.
2024 kita punya dwi tunggal. Jokowi Prabowo. Prabowo Jokowi. Sama-sama akan mengantarkan menuju Indonesia Maju 2045.
Kerja sama antara Sukarno dengan Bung Hatta melahirkan Proklamasi 45. Kerja sama antara Jokowi dan Prabowo melahirkan Indonesia Maju 2045.
Opportunity itu gini. Tantangannya itu sangat besar lah kita ini.
Banyak orang gak sadar sebetulnya menuju Indonesia Maju 2045 itu ada tantangan yang lebih nyata. Ya, ini apa? Bonus demografi.
Kita ini bonus demografi ini 5 tahun, 10 tahun ke depan. Bonus demografi adalah situasi dimana tenaga kerja kita itu berlebih.
Nah, tenaga kerja yang berlebih ini kalau lapangan kerjanya tersedia itu akan produktif.
Mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Nah untuk bisa pertumbuhan ekonomi harus ada investasi.
Karena kalau gak ada investasi gimana membuka lapangan kerja kan? Tetapi bayangkan kalau misalnya gagal menyiapkan lapangan kerja gak ada investasi. Gak ada pekerjaan.
Apa yang terjadi?
Bukan bonus demografi.
Bencana demografi.
Orang muda frustrasi. Sekarang aja sudah banyak generasi Z yang frustrasi. Kan gini, gen Z ini kan sama generasi Alpha.
Dan setelah gen Z ini generasi Alpha namanya. Balik ke grup A lagi. Itu kan rentan secara psikologis.
Bayangkan kalau mereka nggak punya pekerjaan. Lari ke mana? narkoba. Lari ke mana? Kriminalitas.
Jadi bonus itu satu sisi. Tapi sisi yang lain adalah bencana demografi. Nah itu membutuhkan suatu kepemimpinan yang sangat kuat, sangat solid.
Tidak boleh pemerintahan Pak Prabowo dan Mas Gibran ini sebagai pilot dan copilot mengalami turbulensi.
Apalagi turbulensi seperti Singapore Airlines. Iya kan? Ngeri kan? Enggak boleh ada turbulensi.
Karena itu pemerintahan harus stabil. Baik dari dalam maupun dari luar. Atau saya balik. Dari luar maupun dari dalam.
Per hari ini, menurut saya, ini yang poin pertanyaan. Kalau dari luar udah ketahuan kita ini.
Kira-kira yang berada di luar pemerintahan adalah PDI Perjuangan.
PKS misalnya. Yang udah pasti, udah jelas kayaknya PDI Perjuangan.
Nah, yang di dalam ini yang tentunya harus dihitung dengan cermat oleh Pak Prabowo. Siapa saja dari yang masuk-masuk ini potensi bandel-bandel. Potensi tarik ulur.
Tarik ulur itu dalam kebijakan publik berbahaya, Mas. Kenapa? Kebijakan publik itu tidak nanti murni atau tidak kuat di teknokratis. Kuat di negonya Pak. Bahaya Pak. Bahaya ya?
Bahaya. Karena gini, semua kebijakan publik itu pasti ada yang namanya kajian akademik.
Kajian teknokratis. Paling ideal gimana? Ukuran tinggi berapa? Kalau jalan panjang berapa? Lebar berapa? Speknya seperti apa? Biayanya berapa? Begitu ada negonya Pak, pasti nggak mungkin optimal Pak.
Jadi spek itu berubah kan? Bisa berubah.
Jangan-jangan ini, mohon maaf ya, IKN ini juga kebanyakan tarik menarik kekuatan politiknya juga. Diluar soal, soal apa ya, kemampuan manajerial ya. Tapi tarik menarik, tarik menarik kelembagaan, tarik menarik kekuatan politik, barangnya nggak jalan Pak.
Kayak tarik tembang saja, Bos.
Kalau ada dua pihak yang sama kuat, ada nggak pemenangnya? Nggak ada. Kalau ada tarik tembang, satu lebih kuat, apakah bisa satu di utara, satu di selatan?
Nggak Mas, nggak ada yang jatuh Mas, kalau sama kuat. Oke.
Baru arah itu jelas, kalau ada yang kuat. Kalau kita bicara pemerintah, kita bicara masyarakat, kita bicara keluarga, kita bicara organisasi, kita harus belajar dari kereta api. Saya sebut filosofi kereta api.
Bahwa kereta api itu baru bisa jalan, satu, kalau ada lokomotifnya. Dua, kalau lokomotifnya itu kuat.
Kalau lokomotifnya lemah, bisa nggak narik? Nggak bisa. Kalau nggak ada lokomotif, bisa nggak jalan? Nggak bisa jalan. Buntut sama buntut bisa jalan? Nggak bisa Pak.
Nah, itu hal-hal sederhana, yang sering nggak dipahami orang. Wih, ini pemimpin nggak tegas, pemimpin terlalu otoriter. Eh, ntar dulu, lu kalau nggak tegas pemimpin itu, barang ini nggak jalan.
Apalagi ketika harus mengambil keputusan-keputusan yang berat. Apalagi kalau bicara urusan-urusan, tantangan-tantangan yang, visi yang jauh ke depan. Itu harus strong leader.
Harus kuat lokomotifnya. Kalau nggak, ketinggalan kita. Jadi kita punya lokomotif, harus kuat, harus berani, kapasitas besar. Baru kereta itu cepat. Itu ya yang mau dicapek ya?
Cara kita melihat pemerintahan, kita melihat kemasyarakat.
Boleh ada diskusi, tapi harus ada mekanisme dimana, ketika pengambilan keputusan sudah diambil, harus jalan. Ini filosofi kereta api. Kereta api saya ganti.
Filosofi. Kereta api cepat.
Bang, tadi kan disebutkan bahwa, Pak, menurut Abang, menurut telahan Abang, Pak Jokowi kan seorang genius nih. Terus dia apain setelah 20 Oktober nanti?
Kembali kepada Pak Prabowo dan Pak Jokowi. Beliau berdua ini saya yakin sudah punya kimistri yang luar biasa. Saya melihat Pak Jokowi dan Pak Prabowo kimistrinya luar biasa.
Pak Jokowi sangat memahami dan membantu Pak Prabowo. Hal-hal yang pernah hilang dalam sejarah hidupnya, kalau linear, itu kembali semua. Menteri Pertahanan, Jenderal Bintang Empap, dan Presiden Republik Indonesia.
Sementara Pak Prabowo juga sangat memahami Pak Jokowi. Luar biasa adaptasinya. Ada karpet merah, gak mau minjam. Beliau ini orang halus sekali. Halus.
Halus kayak apa? Mungkin ekspresinya kan, apa, keras gitu. Tapi saya kan dalam hatinya lembut sekali. Lembut sekali.
Kemudian kita bicara mengenai, tadi sudah dibahas. Secara ide, secara gagasan, sebetulnya sama-sama menciptakan Indonesia negara emas. Indonesia, tapi ini bahasa saya ya, proklamasi yang kedua.
Kenapa saya sebut proklamasi yang kedua? Jangan lupa, Bung Karno mengatakan, kemerdekaan adalah jembatan emas.
Jadi sebetulnya merdeka tahun 1945 itu, itu belum merdeka. Dalam pengertian kita jadi negara maju kan?
Itu jembatan menuju perjalanan Indonesia menjadi, Indonesia emas, negara maju.
Negara hebat. Manusia Indonesia menjadi manusia yang, bermakalah. Menjadi salah satu warga yang dihormati, di dunia.
Jadi ini yang harus dijaga itu. Saya denger dari teman saya, Jeffrey Geofani, dulu dia bilang, kan Jeffrey tinggal di Singapura udah lama, pakai batik itu malu dia bilang. Sekarang pakai baju batik, itu bangga.
Kenapa? Indonesia sudah sangat dihargai, dan sudah sangat diapresiasi. Nah bagaimana cara mempertahankan itu? Bahkan lebih meningkatkan lagi. Kalau dengan Malaysia, nggak usah diomongin lah.
Justru sekarang kata Jeffrey, orang Malaysia itu menghina dirinya sendiri Contoh itu Pak Jokowi, contoh itu Indonesia.
Pokoknya dalam berbagai lini kita sudah, sudah balik lagi ini. Terutama dalam sepak bola.
Malaysia sudah minder sama Indonesia. Dulu kita minder sama mereka. Sekarang Thailand aja juga mikir-mikir, untung gak satu, kata Madam Peng, untung gak satu grup sama Indonesia.
Kalah kita. Vietnam lagi pusing cari pelatih. Soalnya tanding dengan Indonesia kalah melulu.
Filip Trosi ya, pelatih kelas dunia. Eh itu melatih tim Fransis loh.
Apakah kemudian menurut Abang, Pak Jokowi perlu menjadi politisi pegang partai politik gitu, Pak? Atau dia jadi sesuatu yang, yang menurut Pak Prabowo, perlu diwadai dalam Presiden Club gitu ya? Gimana itu, Pak?
Ada dua teori di sini.
Pertama, yang mengatakan Pak Jokowi, tidak usah di partai politik. Tetap di kemasyarakatan saja.
Tapi kalau saya pribadi menilai, bahwa untuk mengawal Agenda Indonesia Maju, mengawal pesawat, pesawat Boeing, pesawat besar yang namanya Indonesia Incorporated ini, dia perlukan stabilitas.
Dan stabilitas itu datang dari mana? Dari partai politik. Kalau kita bicara partai politik pada hari ini, analisa lagi nih. Di DPR ada 8 partai.
Ya, kan? 8 partai loh. Bukan 9 kayak 2019. Kemudian dari 8 itu, kata kuncinya itu ada 3. Gerindra, Golkar, PDIP.
Istilah saya, The Holy Trinity of Political Party Indonesia. Jadi, Trinitas Sucinya itu ada 3. Maksudnya itu pilar ya, bukan keagamaan ini ya. Walaupun istilahnya kayak keagamaan. 3 pilar. Nah, Gerindra pasti dukung Pak Prabowo. PDI pasti, Jokowi juga.
Jadi kata kuncinya di mana? Golkar. Sekarang, kalau bicara kepentingan di Pak Golkar, ini PR-nya Pak Prabowo. Beliau sebagai presiden, ini sekarang harus memikirkan.
Ini salah satu PR terbesar beliau. Manakah yang beliau yakin? Siapakah yang beliau yakin akan paling loyal dengan agenda Indonesia maju?
Yang paling akan sejalan dengan beliau sebagai presiden? Siapa yang paling sudah terbukti bersama dengan beliau? Menurut saya itulah yang penting. Jadi petunjuknya Pak Jokowi.
Kalau yang kurang-kurang, apalagi yang pernah belok-belok, jangan, itu berbahaya. Bagi Anda pribadi dan bagi Indonesia kedepannya.
Pak Prabowo kan mau dikenang sebagai presiden yang sukses, presiden yang berhasil, yang membawa Indonesia menjadi negara yang lebih patriotik, lebih bangga macam Asia.
Jadi siapa pemimpin Partai Golkar yang bisa mengganggu agenda Indonesia maju, Indonesia emas, Indonesia macam Asia?
Jadi arahnya jelas kalau gitu, ya? Jelas, ya?
Silakan. Ini kalau di podcast itu, nggak semua harus dijawab. Harus ada bagian-bagian dimana kita silahkan. Memberi pertanyaan. Isi dalam kolom komentar. Bedanya podcast dengan yang lain itu.
Tolong sisakan satu pertanyaan yang jangan dijawab. Isi kolom komentar. Siapa menulis itu? Yang paling bisa menjaga, paling mengawal Pak Prabowo. Memerintah Indonesia. Mencapai Indonesia macam Asia.
Tulis di kolom komentar. Gerinda udah jelas, PDIP nggak jelas. tanda tanya.
Itu yang saya maksud. Jangan muncul turbulensi di luar, jangan muncul turbulensi di dalam. Perhari ini beda dengan Singapura Airlanse.
Menurut saya, turbulensi di luar justru udah bisa dihitung dengan sangat mudah, sangat jelas. Justru turbulensi di dalam ini yang hati-hati.
Anda adalah periset sekaligus peneliti. Orang yang ngerti statistik ya. Kalau, apakah nanti hasil dari Pilkada serentak akan mencerminkan konfigurasi politik secara nasional?
Jadi gini. Pertama, kalau pola yang sudah-sudah itu tidak linear.
Secara nasional dengan daerah nggak linear. Tetapi kalau kita bicara 2024, ini kan memang agak lain. Karena ada ada wacana-wacana lorong gelap demokrasi.
Gitu, ada lorong gelap demokrasi. Ada yang mengagak bahwa situasi sekarang ini situasi yang ya lorong gelap demokrasi. Ini adalah anomali politik.
Karena itu kita berjuang dari luar. Nah, hal ini saya belum tahu seberapa jauh akan merembet, menetap tingkat daerah. Apakah ini hanya menjadi pidato di tingkat nasional? Atau kemudian ini juga menjadi suatu operasionalisasi, suatu realitas politik di daerah? Dugaan saya sementara sih enggak.
Karena di daerah itu ada dinamekannya sendiri. Pertama, komposisi suara dan kursi di pusat tidak identik dengan di daerah. Di nasional PDIP boleh nomor satu.
Tapi kalau di provinsi yang lain, belum tentu. Bisa Golkar, bisa Gerindra, dan seterusnya. Yang kedua, salah satu logika paling mendasar dalam pilkada itu sama dengan pemilu nasional, yaitu elektabilitas.
Partai boleh besar, tetapi kalau dia enggak punya kandidat yang populer, kalau misalnya kandidat yang populer itu dari partai yang lebih kecil, atau kandidat yang populer itu bukan dari partai politik, itu bisa berubah komposisi. Jadi pada titik itu, untuk sementara saya katakan ada kemungkinan berubah.
Walaupun kalau pakai kacamata kegelapan demokrasi, teorinya PDI perjuangan, bisa saja variable kursi partai, variable elektabilitas, itu kemudian dianulir atau dikalahkan oleh ideologis tadi itu.
Pokoknya, walaupun dia paling surveinya paling tinggi, walaupun misalnya kursi kita ini dia surveinya paling tinggi, tapi karena kita kursi paling besar, dan ini adalah bagian dari kegelapan demokrasi, ini adalah Voldemort, istilahnya.
Dan kita adalah Harry Potter, atau kita adalah Dumbledore. Itu Slytherin, kita adalah Gryffindor.
Nggak boleh gabung. Bisa jadi begitu. Bisa jadi begitu.
Nah, kita nggak tau. Ini bagian dari apa yang saya katakan tadi, bahwa ini adalah dinamika elite yang Wallahualam bisa. Kenapa? Bingung juga kita mau mengambil kesimpulan.
Nah, karena seperti perjuangan, hari pertama pidato Bu Mega keras banget. Hari terakhir rekomendasi politik dari Mbak Puan, lembut sekali. Nah, bagaimana kita? Kan kita nggak tau ini dinamikanya ke depan seperti apa.
Bu Mega sendiri juga udah ngomong kan, saya jadi ketua DPR jalan-jalan, ketua umum Mbak, Mbak Puan aja. Nah, berarti 6 bulan, 4 bulan kedepan ini yang jadi sikap politik sikapnya Bu Mega atau sikapnya Mbak Puan. Dan itu bisa sangat berbeda loh.
Itu maksud saya. Bahwa pada titik ini, kita nggak bisa M. Qodari dari Mr. Q nggak bisa mengatakan atau membuat analisa selinear dan se-exact seperti hasil-hasil pemilu. Kalau hasil pemilu dari Oktober 2003 Mr. Q udah bilang, Prabowo menang.
Saya kasih judul, hampir pasti menang. Supaya jangan dimarahin netizen. Kayak Tuhan aja hampir pasti.
Sebetulnya tuh, saya tuh dalam hati, Pak Prabowo pasti menang. Tapi supaya jangan dimarahin netizen, jangan dikutuk-kutukin, saya tambahin hampir.
Kalau matematikanya menang, tapi kan kita di politik dan kita di netizen. Jangan pakai matematika. Jadi matematika tuh dalam hati aja, Mas.
Atau diskusi terbatas aja. Jadi kalau keluar itu tetap judulnya koreksi. Karena dalam koreksi itu ada ruang kemungkinan itu.
Bang, ini pertanyaan terakhir. Apakah Abang nanti mau membantu involving dalam pemerintahan Prabowo-Gibran secara langsung? Mau nggak?
Sejauh ini saya membantu tetapi dari luar. Sejauh ini saya membantu. Dengan ilmu pengetahuan saya, dengan pergaulan saya, dengan wawasan saya, saya memberikan saran-saran dan masukan-masukan.
Sejauh ini, saya selain peneliti tadi, itu juga adalah aktivis. Jiwa aktivisme saya itu yang membuat saya kemudian memberikan saran dan masukan.
Kalau peneliti, toh, baca, diem. Kalau aktivis itu, baca, jalan. Baca, jalan.
Saya nggak berhenti pada ini akan menang sekali putaran. Nggak. Tapi gimana supaya betul-betul terjadi. Nah itulah dimensi dari peneliti.
Tapi saya bilang saya ini bukan siapa-siapa. Dan memang bukan siapa-siapa. Jadi saya tidak pernah melihat diri saya sebagai seorang pejabat publik. Karakteristik saya bukan pejabat publik.
Tetapi manusia dalam perjalanan hidupnya, dia akan berhadapan dengan tantangan-tantangan, kesempatan-kesempatan, kemungkinan-kemungkinan. Dan sebagai manusia kita tidak boleh menutup ruang kemungkinan tersebut. Dulu saya hanya peneliti saja.
Cita-cita saya dulu waktu zaman kuliah bisa ditanya sama teman-teman saya. Cita-cita saya dulu cuma mau jadi kolumnis, nulis di Kompas, nulis di majalah Tempo. Dua itu saja.
Pokoknya saya udah bener, udah senang banget tuh. Nulis. Saya sering ke Kompas itu karena dia sering nulis.
Dan saya dibimbing langsung sama Sekompas itu, mas. Kalau mau masuk itu udah susah. Saya kirimin aja tulisan. Gak, gini. Saya ngantep aja latihan.
Bukan di BOM, saya latihan. Ada isu. Kita kan kalau membaca, kita baca teori, ada fenomena apa, itu otomatis dia nganalisa sendiri.
Saya kirim aja. Datang surat balasan. Maaf-maaf, belum ada ruang.
Entah karena takdir, entah karena pendidikan, entah kasihan. Pokoknya tiba-tiba ada redaktur di Kompas. Mas sering kirim tulisan.
Belum pernah dimuatkan. Iya, betul. Mau gak mas ketemu kita? Supaya bisa masuk. Begitu. Jadi istilah saya itu mengutuk imput takdir itu ada. Kalau kita ketuk-ketuk itu terbuka juga.
Jadi saya sampai peneliti aja, tapi suatu saat dalam kehidupan saya saya kayak punya panggilan dan punya wawasan untuk menjadi dunia usaha atau orang usaha, segala macem. Dan saya terjun ke situ.
Dan waktu itu saya membayangkan, kalau saya misalnya terjun ke dunia itu, kemudian cuma 2. Pertama saya bisa lepas sandas, yang kedua saya bisa masuk ke jurang.
Iya kan kemudian cuma 2 kan? Ini saya membayangkan diri sebagai Icarus. The Flight of Icarus, kalau pernah dengar dongeng Yunani itu. Orang yang mencoba terbang.
Satu-satu cara untuk menunjukkan di sana. Kan dia loncat dari tebing kan? Icarus, sial. Kenapa? Teorinya gak cukup.
Akhirnya dia jatuh. Dia mati. Dia pake sayak, ditempel pake lilin. Teknologi jaman itu, kena panas matahari. Konon katanya terbakarlah lilin itu dan akhirnya sayaknya lepas.
Tetapi kan ada juga Wilbur Wright yang kemudian akhirnya betul-betul terbang. Nah saya ini jadi Icarus atau Wright, ya saya buktikan.
Tapi saya yakin waktu itu, kalau misalnya saya belum berhasil, saya punya teman-teman dalam kehidupan saya yang akan membantu saya. Nah itulah pentingnya.
Ya, pokoknya semua ide dan gagasan yang bagus untuk bangsa dan negara pasti kita teruskan. (tribun network/reynas abdila)
Baca juga: Kisah Jokowi Setelah 41 Tahun Ekspedisi Gunung Kerinci 1983, tak Sempat ke Sekepal Tanah dari Surga
Baca juga: Siapa Sebenarnya Thomas Djiwandono, Ponakan Prabowo yang Potensial Jadi Menteri Keuangan
Juliana Wanita SAD Jambi Pertama yang Kuliah, Menyalakan Harapan dari Dalam Rimba |
![]() |
---|
SAKSI KATA: Pengakuan Rosdewi Ojol Jambi yang Akunnya Di-suspend karena Ribut vs Pelanggan |
![]() |
---|
SAKSI KATA: Pengakuan Ayah Ragil Soal 2 Polisi yang Bunuh Anaknya di Polsek Kumpeh Muaro Jambi |
![]() |
---|
Misteri Kematian Pemuda di Sel Polsek Kumpeh Ilir Jambi, Ayah Korban: Saya Masih Bertanya |
![]() |
---|
Partisun, Jangan Cuma Asal Bapak Senang, Gubernur Al Haris Kelola Potensi Alam Jambi |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.