OPINI

Pengabaian Asas Contrarius Actus dalam Pemberhentian Rahma Asyifa

Bagaimana status kepegawaian Syifa selaku PTT Non ASN pada Setwan DPRD Provinsi Jambi TA. 2024 secara hukum administrasi?

Editor: Suang Sitanggang
TRIBUNJAMBI/HO/Ilham Kurniawan Dartias
Ilham Kurniawan Dartias, Pakar Hukum IAI Nusantara Batanghari 

KASUS Wakil Ketua II DPRD Provinsi Jambi, Pinto Jayanegara dengan Rahma Asyifa, Pegawai Tidak Tetap (PTT) Non Aparatur Sipil Negara (ASN) pada sekretariat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Jambi, menjadi pembicaraan hangat yang saat ini. Tidak hanya menjadi konsumsi masyarakat Jambi saja, tetapi sudah menjadi perbincangan nasional.

Dialektika yang bertaburan di berbagai media lebih banyak mendukung kepada Gadis Jambi 2022 yang merasa diperlakukan tidak adil. Viralnya kasus ini diharapkan dapat memenuhi rasa keadilan bagi Syifa.

Dalam tulisan ini penulis juga menyebutkan nama, karena selaku pejabat publik, rakyat berhak tahu dan melakukan kritik untuk menyampaikan pendapat sebagai hak konstitusional yang dijamin konstitusi.

No Viral No Justice

Kekuatan media sosial kembali dirasakan oleh Syifa yang mana ketidakadilan yang dirasakannya mulai mendapat perhatian dan atensi dari masyarakat luas, sehingga jargon “No Viral No Justice” adalah salah satu jalan yang ampuh untuk mencari keadilan.

Jamak dikata kasus ini mulai mencuat sejak Syifa memposting keresahannya di media sosial, dilanjutkan dengan podcast di media, perihal hak berupa uang perjalanan dinas dan reses serta uang spanduk kampanye yang tidak diberikan.

Berdasarkan keterangan yang disampaikan Syifa, pada Rabu 8 Mei 2024 telah diadakan pertemuan di rumah dinas Wakil Ketua II DPRD Provinsi Jambi. Turut hadir dalam pertemuan tersebut Plt Setwan DPRD Provinsi Jambi dan Tenaga Ahli. Bahkan berdasarkan informasi yang beredar, dirumah dinas ada Lawyer ternama dari Jakarta yang saat itu.

Lebih lanjut Syifa memberikan keterangan bahwa ternyata tidak ada kata sepakat, sehingga terjadi selisih paham yang berujung pada Syifa diseret oleh dua orang satpam dari teras rumah sampai ke Pos Satpam.

Bahkan Gadis Jambi tahun 2022 ini sampai dibawa ke Polsek Telanaipura untuk di-BAP dari hari Rabu malam hingga keesokan harinya pada hari Kamis sekira pukul 01.30. Dia diperiksa dalam kasus lain yaitu laporan kehilangan Ipad milik Wakil Ketua II DPRD Provinsi Jambi.

Tidak terima atas kejadian ini kemudian Syifa juga melaporkan Oknum Wakil Ketua II DPRD Provinsi Jambi ke Polda Jambi atas dugaan tipu gelap dan perbuatan kurang menyenangkan yang disertai kekerasan atau ancaman kekerasan.

Penulis menilai kekisruhan Wakil Rakyat dengan Rakyat ini sangat paradoks dengan harapan publik yang baru saja selesai melakukan pesta demokrasi untuk mencari wakil rakyat yang “bernas” dan peduli terhadap rakyatnya. Orkestra yang disajikan dalam kasus ini justru menunjukan ada arogansi, dan janji manis saat kampanye ambivalen dengan tindakan yang dilakukan kepada rakyat.

Kewenangan Pejabat Tata Usaha Negara

Di tengah kekisruhan Wakil Rakyat dengan Rakyat sebagaimana yang dialami oleh Syifa, penulis menilai wakil rakyat tersebut yang tidak bijak menyelesaikan suatu masalah. Akan tetapi tulisan ini bukan hanya membahas persolaan materil yang di tuntut Syifa yaitu mengenai hak uang perjalanan dinas dan reses mendampingi Wakil Ketua II DPRD serta uang spanduk yang belum diperolehnya sampai saat ini.

Penulis ingin mengelaborasi perihal bagaimana status kepegawaian Syifa selaku PTT Non ASN pada Setwan DPRD Provinsi Jambi TA. 2024 secara hukum administrasi? Karena berdasarkan SK pengangkatannya tersebut mulai berlaku dari tanggal 2 Januari 2024 sampai dengan 31 Desember 2024. Apakah masih berlaku atau tidak?

Untuk menjawab pertanyaan diatas, kita terlebih dahulu harus memahami terkait kewenangan suatu pejabat tata usaha negara atau dalam istilah Belanda disebut “bevoegdheid” yang artinya kemampuan atau kekuasaan untuk melakukan tindakan-tindakan hukum tertentu.

Selanjutnya menurut Philipus M Hadjon terdapat tiga sumber kewenangan, yaitu atribusi, delegasi dan mandat, sehingga berdasarkan kewenangan ini pejabat tata usaha negara dapat mengeluarkan keputusan atau melakukan tindakan hukum administrasi.

Jika kewenangan ini dikaitkan dengan status hukum PTT Non ASN Rahma Asy Syifa yang diangkat berdasarkan Surat Keputusan Setwan DPRD Provinsi Jambi Nomor:04/KEP.SETWAN-1.1/2024 tentang Pengangkatan PPT Non ASN pada Setwan DPRD Provinsi Jambi TA 2024 tertanggal 24 Januari 2024 dengan menduduki jabatan sebagai Sekretaris Pribadi/Tenaga Administrasi Wakil Ketua II DPRD, maka secara hukum pengangkatan Syifa sah, karena diangkat oleh pejabat yang berwenang.

Ada hal yang mengelitik nalar hukum penulis ketika Syifa mengatakan “dia sudah diberhentikan sepihak terlebih dahulu oleh Wakil Ketua II DPRD Provinsi Jambi tersebut pada tanggal 22 April 2024.”  Sedangkan Wakil Ketua II DPRD Provinsi Jambi mengatakan “Bahwa yang bersangkutan merupakan tenaga honorer terhitung sejak Januari 2024 kemarin yang diangkat berdasarkan Keputusan Sekwan. Akan tetapi diberhentikan karena tidak disiplin.”

Tentunya masalah pemberhentiannnya menimbulkan pertanyaan hukum, siapa yang berwenang memberhentikan Syifa? Apakah kewenangan dari Setwan DPRD Provinsi Jambi atau Wakil Ketua II DPRD Provinsi Jambi?

Pengabaian Asas Contrarius Actus

Dalam hukum administrasi negara, seorang Pejabat Tata Usaha Negara dalam melaksanakan kewenangannya melekat asas hukum yang dalam bahasa latin disebut sebagai asas Contrarius Actus atau dikenal juga dengan sebutan consensus contrarius (tindakan sebaliknya, hukum yang bertentangan). Secara sederhana Philipus M. Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati mengatakan contrarius actus merupakan kewenangan yang melekat pada badan atau pejabat tata usaha negara yang menerbitkan keputusan tata usaha negara dan dapat juga membatalkan putusan tersebut.

Pada dasarnya asas contrarius actus melekat secara otomatis kepada pejabat tata usaha negara dan tidak dapat diambil secara kesewenang-wenangan oleh pihak lain yang tidak memiliki kewenangan. Asas Contrarius Actus terdapat dalam Pasal 33 ayat (3) huruf a Undang-Undang No. 30 tahun 2014 tentang Aparatur Pemerintahan (UU AP) yang berbunyi “pencabutan Keputusan atau Penghentian Tindakan wajib dilakukan oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintah yang mengeluarkan keputusan dan/atau Tindakan”.

Berkaca dalam kasus Syifa, apabila benar diberhentikan oleh Wakil Ketua II DPRD Provinsi Jambi Pinto Jayanegara, maka penulis menilai pemberhentian ini mengandung cacat hukum dan mengabaikan “asas Contrarius Actus”, karena pemberhentian tidak dilakukan oleh pejabat yang berwenang. Kewenangan pemberhentian Syifa ada pada Setwan DPRD Provinsi Jambi selaku pejabat yang menerbitkan SK pengangkatannya bukan berada pada Wakil Ketua II DPRD Provinsi Jambi.

Polemik Pemberhentian ini semakin diperparah apabila benar sampai saat ini Syifa belum ada menerima secara resmi Surat Keputusan Pemberhentiannya dari Setwan DPRD Provinsi Jambi maupun dari Wakil Ketua II DPRD Provinsi Jambi. Pimpinan DPRD tidak bisa seenaknya memberhentikan PTT Non ASN, itu bukan kewenangannya. Maka ini akan menjadi catatan hitam dan preseden buruk dalam tata kelola kepegawaian di Provinsi Jambi.
Solusi

Penulis berpandangan kedepannya dalam pengangkatan kepegawaian dilingkungan Setwan DPRD Provinsi Jambi harus sesuai dengan kewenangan yang diberikan hukum dan taat pada asas hukum. Permasalahan status PTT Non ASN Syifa di Setwan DPRD Provinsi Jambi harus dijadikan evaluasi dan refleksi serta momentum kearah perbaikan, sehingga keputusan yang dikeluarkan tidak mengandung cacat hukum.

Menurut Penulis apabila benar terjadi pengabaian penerapan asas Contrarius Actus terhadap status PTT Non ASN Syifa di Setwan DPRD Provinsi Jambi yang mana sampai saat ini SK Pengangkatan Syifa belum dicabut, maka berlaku asas hukum yaitu “Presumptio iustae causa” yang dalam bahasa Belanda sering disebut asas vermoeden van rechtmatigheid yang artinya suatu keputusan tata usaha negara selalu dianggap sah dan keabsahan itu baru hilang jika ada keputusan baru yang membatalkan atau mencabut yang lama.

Maka demi hukum, Syifa saat ini masih berstatus sebagai PTT Non ASN di Setwan DPRD Provinsi Jambi sebagaimana tercantum dalam Surat Keputusan Setwan DPRD Provinsi Jambi Nomor: 04/KEP.SETWAN-1.1/2024 tentang Pengangkatan PPT Non ASN pada Setwan DPRD Provinsi Jambi Tahun Anggaran 2024 tertanggal 24 Januari 2024 dan berhak atas hak-hak yang ada selaku pegawai.

Maka dari itu terhadap polemik ini harus ada ketegasan dari Ketua DPRD Provinsi Jambi dan Badan Kehormatan DPRD untuk memberikan punishment apabila ada tindakan arogansi atau kesewenang-wenangan yang dipertontonkan oleh oknum Pimpinan DPRD Provinsi Jambi. Agar tidak terjadi Abuse of Power terhadap pegawai di DPRD Provinsi Jambi, sehingga tidak ada lagi orang yang mengalami nasib yang sama seperti dialami Syifa. Hukum benar-benar ditegakan dan menjadi payung yang melindungi pegawai dari tetesan kekuasaan yang sewenang-wenang. (*)

Penulis: Ilham Kurniawan Dartias (Advokat DPC PERADI Jambi, Pakar Hukum IAI Nusantara Batanghari)

Baca juga: Quo Vadis PERADI Pasca Keluarnya Putusan Mahkamah Agung 18 April 2022?

Sumber: Tribun Jambi
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved