OPINI
Quo Vadis PERADI Pasca Keluarnya Putusan Mahkamah Agung 18 April 2022?
HIRUK pikuk organisasi advokat PERADI, kembali menuai pro dan kontra, terutama pasca keluarnya Putusan Mahkamah Agung R.I No: 997K/pdt/2022
HIRUK pikuk organisasi advokat PERADI, kembali menuai pro dan kontra, terutama pasca keluarnya Putusan Mahkamah Agung R.I No: 997K/pdt/2022 tertanggal 18 April 2022.
Putusan MA tersebut menguatkan Putusan Pengadilan Tinggi Medan No.592/Pdt/2020/PT MDN. Jo Putusan PN Lubuk Pakam No.12/Pdt.G/2020/PN Lbp, yang menyebutkan “menimbang antara lain SK DPN PERADI No.KEP104/PERADI No.104 / PERADI /DPN /IX / 2015 dibentuk berdasarkan rapat pleno dan melewati jangka waktu 6 bulan sebagaimana diamanatkan hasil Munas II Peradi di Kampar, Riau adalah perbuatan melawan hukum karena bertentangan dengan kepatutan, ketelitian, dan kehati-hatian”.
Hal ini memantik diskursus mengenai keabsahan kepemimpinan PERADI Otto Hasibuan (PERADI SOHO) yang proses pencalonanya menggunakan AD/RT yang ditetapkan melalui Rapat Pleno tahun 2019 yang dinilai cacat hukum.
Diskursus ini semakin panas dengan adanya perseteruan sesepuh advokat Hotma Sitompul dan Hotman Paris Hutapea yang juga menyeret Ketua Otto Hasibuan yang kemudian bermuara pada mundurnya Hotman Paris Hutapea dari PERADI SOHO. Hotman kemudian memilih bergabung Dewan Pengacara Nasional (DPN) Indonesia yang dipimpin Dr Faizal Hafied SH MH.
Polemik ini semakin meruncing ketika Hotman Paris Hutapea dijatuhi sanksi pencabutan sementara praktik advokat selama 3 bulan karena dianggap melanggar kode etik, yang kemudian dibalas Hotman Paris Hutapea bahwa sanksi tersebut tidak sah karena Kepengurusan PERADI Otto Hasibuan cacat hukum dan Otto Hasibuan menghalalkan segala cara untuk mengubah AD/RT yang hanya melalui rapat Pleno pada tahun 2019 sebagaimana tercantum dalam Putusan Mahkamah Agung R.I No: 997K/pdt/2022 tertanggal 18 April 2022.
Hotman Paris secara terang terangan mengatakan pasca pindah ke DPN Indonesia membuktikan bahwa Organisasi Advokat di Indonesia saat ini bukan bersifat Single Bar tetapi sudah menjadi Multi Bar. Kekisruan ini tentu menjadi anomali ditengah narasi suci PERADI adalah satu-satunya wadah tunggal Organisasi Advokat tetapi ambivalen dengan kondisi saat ini yang mana Organisasi advokat bak jamur dimusim hujan.
Paradoksal “Single Bar”
Pengaturan Organisasi Advokat bersifat Single Bar dapat kita analisis dari dua perspektif yaitu Secara Normatif dan Secara Empiris/Praktis. Penulis akan menjabarkan dari Segi Normatif yaitu Pertama dari segi Legislasi yaitu Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Nomor 18 tahun 2003 tentang Advokat (UU Advokat) mengatakan “Organisasi Advokat merupakan satu-satunya wadah profesi Advokat yang bebas dan mandiri yang dibentuk sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini…”, maka PERADI sebagai satu-satunya wadah profesi Advokat pada dasarnya adalah organ negara dalam arti luas yang bersifat mandiri (independent state organ) yang juga melaksanakan fungsi negara.
Kedua, dari Segi Yudikatif di tubuh Mahkamah Konstitusi R.I terdapat beberapa Putusan Mahkamah Konstitusi yaitu Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 66/PUU-VIII/2010 tanggal 27-06-2011, dalam pertimbangannya mengatakan “Bahwa Pasal 32 ayat (3) dan ayat (4) UU Advokat sesungguhnya merupakan pasal yang sudah selesai dilaksanakan dengan telah berlalunya tenggat dua tahun dan dengan telah terbentuknya PERADI sebagai Organisasi Advokat yang merupakan satu-satunya wadah profesi Advokat, sehingga tidak relevan lagi untuk dipersoalkan konstitusionalitasnya”.
Lebih lanjut Putusan Mahkamah Konstitusi No. 101/PUU-VII/2009, yang mana Mahkamah Konstitusi dalam perkara-perkara judicial Rivew terhadap UU Advokat khususnya mengenai Organisasi Advokat selalu dalam pertimbangan hukum menegaskan PERADI sebagai wadah tunggal Organisasi Advokat sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 014/PUU-IV/2006 dan tidak pernah mengaitkannya dengan organisasi advokat yang lain.
Ketiga, dari segi Yudikatif di Mahkamah Agung R.I tegas dalam Surat Ketua Mahkamah Agung Nomor: 089/KMA/VI/2010 tanggal 25 Juni 2010 yang pada pokoknya Ketua Pengadilan Tinggi mengambil sumpah para advokat yang telah memenuhi syarat, hanya bisa diusulkan oleh PERADI selaku wadah tunggal advokat. Basis Argumentasi ini jelas dan terang PERADI adalah satu-satunya Organisasi Advokat yang diakui secara yuridis baik dari segi legislasi maupun segi yudikatif.
Akan tetapi, secara empiris eksistensi PERADI mulai tergerus ketika terjadi kekisruhan saat MUNAS II PERADI di Makasar pada 26-28 Maret 2015 dan Otto Hasibuan menunda MUNAS II akan dilakukan 6 (enam) bulan kedepan, sehingga suksesi Ketua PERADI tidak dapat dilakukan.
Kisruh ini menyebabkan ketidak percayaan terhadap Kepengurusan Otto Hasibuan yang berujung pada berdirinya dua kubu PERADI yang dimotori oleh Juniver Girsang dan Luhut MP Pangaribuan, meskipun ada dilakukan MUNAS II di Pekanbaru.
Di tengah kemelut yang tidak usai di tubuh PERADI, menyebabkan konstitusionalitas PERADI sebagai wadah tunggal advokat tereduksi dengan lahirnya Surat Ketua Mahkamah Agung R.I. Nomor: 73/KMA/HK.01/IX/2015 tanggal 25 September 2015 perihal Penyumpahan Advokat yang pada pokoknya Mahkamah Agung RI telah turun tangan menyelesaikan kekisruan di tubuh PERADI dengan memberikan mengatakan “dibenarkannya Pengadilan Tinggi menyumpah advokat yang telah memenuhi syarat yang tidak hanya diusulkan dari PERADI atau Pengurus yang mengatasnamakan PERADI saja tetapi termasuk dari organisasi advokat manapun.
Lebih lanjut Surat Ketua Mahkamah Agung R.I. Nomor: 73/KMA/HK.01/IX/2015 membatalkan Surat Ketua Mahkamah Agung Nomor: 089/KMA/VI/2010 tanggal 25 Juni 2010”, yang saat sebagai landasan yuridis bagi semua organisasi advokat, sehingga pudar sudah PERADI selaku satu-satunya wadah tunggal advokat yang disebabkan oleh kekisruhan di tubuh PERADI sendiri.