Suara Transpuan Ikut Menentukan, Tapi Kehadirannya Diabaikan

Banyak transpuan atau waria di Indonesia menanggung berbagai persoalan sepanjang hidup

|
Penulis: HR Hendro Sandi | Editor: Heri Prihartono
istimewa
transpuan ikut Pemilu 

Masalah-masalah ini adalah masalah yang dihadapi oleh transpuan yang kerap diabaikan dan selalu berulang. Jaminan akan keamanan ataupun mendapatkan jaminan kesehatan yang sama dengan warga negara lainnya, nampaknya tidak terasa bagi mereka.

Senada dengan seorang transpuan lain bernama Abai. Warga Palembang ini memiliki rambut panjang asli berwarna hitam sebahu, yang mengaku sudah cukup lama tinggal di Jambi. Dia sengaja merantau ke Jambi dengan kerja sampingan yakni bagian dekorasi di acara-acara pernikahan.

Tanpa segan, Abai mengaku adalah seorang transpuan bongkar pasang. Hal itu disebutkan untuk dirinya sendiri dengan artian tak selamanya berpakaian wanita. Karena pada siang hari, dia berpakaian dan gaya seorang pria tulen.

"Saya ini waria bongkar pasang bang. Jadi bukan seperti waria lain kan ada yang setiap hari sudah berdandan wanita dan pasang silikon. Kalau saya cuma malam aja yang dandan mirip wanita," kata Abai sambil tersenyum ramah.

Berbeda dengan Mia, Abai mengaku tidak tertarik dengan politik. Apalagi kata dia, tak ada caleg maupun calon pemimpin yang memiliki janji politik ingin memperhatikan kaum-kaum yang kerap menjadi korban diskriminasi seperti dirinya. Dia pun hampir memastikan tidak memberikan hak suaranya pada 2024 mendatang.

"Yang ada kami malah jadi bahan kampanye mau dibersihkan bang. Dan semakin jadi bahan diskriminasi masyarakat," ungkapnya.

Keselamatan, keamanan dan bullying yang tinggi menjadi pertimbangan kelompok transpuan dalam memberikan hak pilihnya pada pesta demokasi, sehingga golput atau tidak memilih menjadi pilihan mereka.

Abai mengaku punya rasa takut dan was-was saat Pemilu nanti, karena status gendernya sebagai transpuan. Akan banyak rundung dan cibiran yang didapat sebagai transpuan. Belum lagi ketika pandangan sinis orang-orang di TPS seakan menghakimi.

"Saya pemilu sebelum-sebelumnya pernah alami kejadian tak mengenakan di TPS. Saya pas di lokasi di soraki sama orang-orang. Padahal saya bukan penjahat. Ada juga yang seperti berkata-kata dengan candaan tapi itu pasti mengarah ke hinaan," ujarnya.

Terlebih lagi, maraknya konten-konten di media sosial yang kerap menyudutkan transpuan, hingga mengarah ke disinformasi membuat dirinya semakin tak percaya diri, untuk ikut berpartisipasi ke TPS. Label HIV dan penyakit lain yang biasa dituduhkan, menjadi bahan gunjingan yang paling sering didapat.

"Tak semua waria sama. Pernah ada saya baca di medsos bahwa waria itu identik dengan HIV, atau penyakit menular lainnya. Padahal tak semua begitu. Kami-kami waria juga ada yang sebenarnya bekerja halal tapi dibalik layar," kata dia.

Pria kelahiran 1990 ini berharap, negara bisa melihat sebagai warga negara, menghormati keberagaman, dan mensetarakan dengan identitas gender lainnya. Apalagi setiap warga negara dilindungi Undang-undang.

Koordinator Daerah Organisasi Perubahan Sosial Indonesia (OPSI) Jambi, Antoni mengatakan, transpuan yang disebutkannya Pekerja Seks Waria (PSW), memang rawan menjadi bahan politik jika sudah masuk ke musim Pemilu. Ada yang sekedar menjanjikan, namun ada juga yang menjurus pada diskriminasi untuk memperolah dukungan dari masyarakat yang benar-benar anti minoritas.

"Tentu rawan sekali. Kalau ditanya ada, pernah ada. Apalagi sampai mengancam hak hidupnya. Semisal janji saat kampanye akan membasmi waria, dengan membawa-bawa agama," kata Antoni, saat ditemui di sekretariat OPSI perwakilan Jambi, Kecamatan Telanaipura, Kota Jambi.

Saat ini, terdapat 30 orang transpuan yang tergabung di OPSI Jambi. Jumlah itu akan terus bertambah, mengingat terdapat ratusan lagi yang sudah diperiksa dan dicek kesehatannya, namun belum ikut bergabung.

Halaman 2/4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved