Analisis Putusan Mahkamah Kehormatan Mahkamah Konstitusi
Alasan dari pengajuan uji materil yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi ini mengundang banyak pertentangan
Khairiah Aziz, Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Universitas Gadjah Mada
Dosen Pengampu : Dr. Zainal Arifin Mochtar SH., LLM (Ahli hukum tata Negara)
TRIBUNJAMBI.COM - Masyarakat berkembang cukup dinamis yang mengakibatkan meningkatnya tingkat kepedulian masyarakat terhadap kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah, termasuk pada peraturan perundang-undangan yang baru saja ditetapkan dan dilakukan pembaharuan yang dikategorikan bertentangan dengan norma yang ada dalam masyarakat.
Sehingga, masyarakat akan merespon pertentangan yang ada tersebut. Alasan dari pengajuan uji materil yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi ini mengundang banyak pertentangan maupun persetujuan dari masyarakat luas.
Hal tersebutpun kemudian banyak diperbincangkan oleh para ahli hukum tata negara, praktisi-praktisi hukum, hingga berita-berita nasional yang ada di Indonesia hampir seluruhnya membahas tentang putusan uji materil yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi.
Adapun masalah utama yang terjadi adalah Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (selanjutnya ditulis MKMK) memberhentikan Anwar Usman secara tidak hormat selaku hakim terlapor dalam hakim konstitusi kerena terbukti melakukan pelanggaran kode etik berat.
Baca juga: 5 Poin Putusan MKMK yang Mencopot Anwar Usman Sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi
Di mana, hal pelanggaran yang dilakukan belum ada sanksi yang harus diberikan sesuai dengan yang diatur dalam Pasal 41 huruf c dan Pasal 47 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 1 Tahun 2023 tentang Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi.
Sehingga, anggota Majelis Kehormatan Mahkaah Konstitusi, Bintan R. Saragih harus memberikan dissenting opinion terhadap kasus ketua hakim konstitusi, Anwar Usman.
Awal mula pelanggaran kode etik itu terjadi adalah dikarenakan adanya putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023, terkait dengan perubahan tentang peraturan syarat batas umur capres-cawapres yang tidak diperbolehkan untuk dilakukan, karena hakim konstitusi Anwar Usman memutuskan perkara dari keluarganya sendiri, yaitu Joko Widodo dan anaknya Gibran Rakabuming Raka, yang pada akhirnya dapat memanfaatkan putusan baru Mahkamah Konstitusi tersebut untuk mendaftarkan dan mencalonkan diri sebagai calon presiden pada komisi pemilihan umum.
Pihak yang melakukan pelaporan atas keputusan ketua mahkamah konstitusi ini pun berharap MKMK dapat menunda terlaksananya putusan nomor 90 yang ditetapkan Mahkamah Konstitusi untuk menyelamatkan keadilan dalam konstitusi di Indonesia (constitutional restorative justice).
Sebagaimana diketahui akibat adanya putusan dari Mahkamah Konstitusi yang melanggar kode etik berat tersebut, tentunya diperlukan Tindakan hukum yang luar biasa dala menyelesaikan permasalahan ini. (for extraordinary crime, we need extraordinary law enforcement).
Hal tersebut diatas apabila dihubungkan pada istilah ketatanegaraan maka istilah negative legislator sudah tidak asing lagi.
Baca juga: MK Putuskan Gugatan Uji Materiil Batas Usia Capres-Cawapres yang Diajukan Mahasiswa Hari Ini
Negatif legislator pertamakali diperkenalkan oleh Hans Kelsen pada bukunya yang berjudul general theory of law and state (tahun 1945:268-9), kemudian dikenal sebagai sosok pertama yang berhasil menggagas Mahkamah Konstitusi modern di dunia.
Ia juga menjelaskan, pembentukan MK bertujuan untuk mendapatkan kewenangan sebagai negative legislator yang memiliki hak dalam menguji undang-undang.
Lalu kemudian memberikan putusan terkait dengan suatu undang-undang yang dikategorikan bertentangan dengan undang-undang lain, kemudian juga memiliki hak dalam menilai suatu undang-undang tidak dapat diberlakukan dan harus dibatalkannya suatu undang-undang.
MK sejatinya tidak diperbolehkan dalam memutuskan sesuatu yang bukan menjadi kebijakan dan kewenangannya terutama dalam menciptakan sebuah peraturan undang-undang pada suatu negara.
Paham yang disampaikan oleh hans kelsen dalam hal ini sejalan dengan waktu yang berlaku pada saat ini, dan kerap dipakai sebagai salah satu bentuk teori pendukung dalam memisahkan kekuasaan lembaga negara yang satu dengan lainnya, yaitu Indonesia sebagai salah satu negara yang memakai paham dan doktrin yang disampaikan oleh Hans Kelsen tersebut.
Indonesia menggunakan teori doktrin hans klesen sebagai pemisah MK dan DPR dalam memberikan kewenangan.
Baca juga: BREAKING NEWS: MK Tolak Uji Materiil Batas Usia Capres-Cawapres
Berdasarkan kasus yang telah terjadi di atas, apabila mengacu pada pendapat ahli hukum William P. Marshall yang menyatakan bahwa ketidaksesuaian dalam mengaplikasikan pembatasan yudisial (judicial activism) akan berakibat pada rusaknya sistem demokrasi yang ada di Indonesia, dan lemahnya sistem dalam tatanan negara.
Namun, di waktu tertentu judicial activism dapat dilakukan dengan tujuan memberikan perlindungan terhadap hak asasi manusia dan menegakkan prinsip demokrasi dengan baik.
Berdasarkan putusan yang dikeluarkan oleh MK yang tidak hanya membatalkan suatu undang-undang, namun juga kerap membuat suatu norma dan aturan baru yang di didapat dari konsep konstitusional bersyarat maupun inskonstitutional bersyarat untuk melihat apakah undang-undang yang diuji Mahkamah Konstitusi tersebut bertentangan dengan UUD 1945 atau justru sejalan dengan UUD 1945.
Beberapa putusan yang dihasilkan oleh mahkamah konstitusi telah menunjukkan bahwa Mahkamah Konstitusi bertentangan dengan negative legislator seperti putusan MK nomor 90 diatas.
Akibat putusan hakim MK terkait putusan nomor 90, hakim mahkamah konstitusi diberhentikan dari jabatannya sebagai ketua Mahkamah Konstitusi sebagai bentuk dari pelanggaran berat yang telah dia lakukan.
Namun, nyatanya putusan Majelis Kehormatan Mahkamah KonsTitusi, Nomor: 2/Mkmk/L/11/2023 ini belum dapat menyelsaikan masalah yang ada dalam ruang lingkup peradilan mahkamah konstitusi (MK) maupun mahkamah kehormatan mahkamah konstitusi (MKMK).
Baca juga: Eks Ketua MK Anwar Usman Sebut MKMK Menyalahi Aturan: Sidang Pelangaran Etik Digelar Tebuka
Sebagaimana diketahui, bahwasanya putusan hakim Mahkamah Konstitusi mestinya dapat digunakan sebagai solusi dalam menyelesaikan sebuah permasalahan, seperti asas “to seatlle of dispute” yang memiliki arti bahwa tidak akan ada artinya suatu putusan hakim apabila dengan diputuskannya hal tersebut tidak menyelesaikan masalah yang ada.
Bahkan dalam asas ini dijelaskan juga bahwa harus menghindari putusan untuk suatu masalah yang berakibat mendatangkan masalah baru dalam kebijakan publik dan masyarakat.
Maka dari itu, ada penemuan hakim yang dinamakan rechtsvinding, memberikan petunjuk bagi hakim dengan berpedoman pada tiga asas dalam memutuskan sebuah perkara yaitu kepastian hukum, keadilan, dan manfaat.
Pada praktiknya, tiga asas yang telah disebutkan diatas akan selalu mengalami pertentangan terhadap adanya kepastian hukum yang mesti memiliki ketentuan hukum atau disebut dengan positivisme.
Baca juga: MK Tolak Gugatan Batas Usia Capres Cawapres Minimal 40 Maksimal 70 Tahun, Ada Beda Pendapat
Dengan adanya asas keadilan, kemudian disatukan dengan asas manfaat, dalam kehidupan bermasyarakat. Ketika terjadi suatu pertentangan antar asas yang ada ini, maka asas kemanfaatan untuk masyarakatlah yang harus diutamakan dan diterapkan, hal ini juga sejalan dengan teori progresif.
Apabila dikaitkan dengan putusan Mahkamah Kehormatan Mahkamah Konstitusi, maka sesuai dengan asas “ to seatlle of dispute” dapat disimpulkan bahwasanya putusan yang dibuat oleh Mahkamah Kehormatan Mahkamah Konstitusi ini tidak menyelesaikan permasalahan yang telah ada, namun justru menambah masalah yang sudah ada sebelumnya menjadi masalah baru.
Seperti yang diperdebatkan oleh para ahli konstitusi, apabila akan diberlakukan pembatalan terhadap putusan nomor 90 diatas, maka itu tidak dapat diberlakukan saat ini, komisi pemilihan umum sudah menutup batas waktu pembatalan.
Apabila ingin menerapkan pembatalan putusan, maka solusi satu-satunya adalah hanya dapat diterapkan pada pilpres yang akan datAng, yaitu di tahun 2029.
Putusan mahkaah kehormatan mahkaah konstitusi terkait dengan pemilu serentak yang hanya dapat dilakukan tahun 2029 ini nantinya perlu ditelaah lebih dalam lagi oleh para ahli maupun mahkamah kehormatan mahakamah konstitusi agar tidak ada pertentangan asas seperti mahkaah konstitusi yang tidak boleh memberikan putusan melampaui batas kewenangan yang dimilikinya, kemudian dilarang untuk menetapkan batas waktu berlaku suatu hukum, namun pada praktiknya lebih mengedepankan asas manfaat itu sendiri.
Baca berita terbaru Tribunjambi.com di Google News
Baca juga: BREAKING NEWS: MK Tolak Batas Usia Capres Maksimal 70 Tahun, Prabowo Subianto Melenggang
Baca juga: Disenting Opinion dari Putusan MK Soal Batas Usia Capres dan Cawapres
Baca juga: Dirjen AHU Lantik Kakanwil Kemenkumham Jambi dan Buka Rakernis Pelayanan Hukum AHU
Honorer Butuh 28 Tahun Agar Bergaji Setara Tunjangan DPR: Itu Pun Kalau Gajinya Rutin |
![]() |
---|
Prilly Latuconsina dan Omara Esteghlal Soroti Kenaikan Tunjangan DPR, Ini Menyakitkan untuk Rakyat |
![]() |
---|
Rayap Besi Berkaki Dua Beraksi saat Demo di Provinsi Jambi Viral: Cair |
![]() |
---|
Nyawa Syaiful Tak Tertolong Usai Lompat dari Lantai 4 Gedung DPRD Makassar Dibakar Massa: Panik |
![]() |
---|
Deretan Kerusakan di Telanaipura Selain Gedung DPRD Jambi, Taman Anggrek hingga Kejaksaan |
![]() |
---|