Sidang Ferdy Sambo

LPSK Bantah Intervensi Tuntutan Pidana Bharada E: Kami Hanya Menyampaikan Sesuai Undang-Undang

Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) bantah telah melakukan intervensi terhadap Jaksa Penuntut Umum (JPU) dalam memberikan tuntutan Richard

Penulis: Darwin Sijabat | Editor: Darwin Sijabat
CAPTURE KOMPASTV
Ekspresi Bharada Richard Eliezer saat mendengar JPU menuntutnya 12 tahun penjara, dalam perkara pembunuhan Brigadir Yosua Hutabarat 

TRIBUNJAMBI.COM - Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) bantah telah melakukan intervensi terhadap Jaksa Penuntut Umum (JPU) dalam memberikan tuntutan Richard Eliezer alias Bharada E.

Bantahan itu disampaikan Wakil Ketua LPSK, Edwin Partogi Pasaribu.

Pihaknya membantah pernyataan dari Kejaksaan Agung (Kejagung) yang menyebut LPSK mengintervensi tuntutan 12 tahun pidana Bharada E.

Dia mengatakan bahwa pihaknya hanya berlandaskan Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban karena mengingat Bharada E memiliki hak sebagai justice collaborator.

"Kami tidak akan intervensi. Kami hanya menyampaikan apa yang sudah diatur dalam UU," kata Edwin, Kamis (19/1/2023).

Dirinya merujuk pada Undang-Undang 31 tahun 2014 yang di dalamnya mengatur soal hak dan kewajiban seseorang yang menyandang status justice collaborator atau saksi pelaku.

Di mana salah satunya yakni mendapati tuntutan pidana yang lebih rendah dibandingkan terdakwa lain dalam suatu perkara.

Baca juga: JPU: Ricky Melucuti Senjata Brigadir Yosua Atas Kehendak Putri Candrawati

"Iya baca saja pasal 10A dan pasal 28 ayat 2 UU 31/2014," tegas Edwin dikutip dari Tribunnews.com.

Kendati saat dinilai melakukan intervensi namun sejatinya pernyataan itu berlandaskan UU, Edwin menilai kalau setiap pihak berhak untuk memberikan keterangan.

Dirinya tidak merespons secara detail soal penilaian intervensi yang dilontarkan Kejaksaan Agung RI dalam perkara ini.

"Kalau soal rasa siapa yang bisa kendalikan," tukas Edwin.

Kejagung: LPSK Tidak Boleh Intervensi

Tidak ada pihak yang bisa intervensi Jaksa Penuntut Umum (JPU) dalam memberikan tuntutan kepada terdakwa, termasuk untuk Bharada Richard Eliezer.

Penegasan itu disampaikan Fadil Zumhana selaku Jaksa Agung Muda Pidana Umum (JAMPIDUM) Kejaksaan Agung (Kejagung).

Intervensi tersebut juga termasuk tidak boleh dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).

Hal itu dikatakannya menanggapi tuntutan yang dibacakan JPU Kejari Jakarta Selatan kepada Richard Eliezer Pudihang Lumiu alias Bharada E.

Tuntutan jaksa dengan menuntut pidana penjara 12 tahun tersebut kata Jampidum sudah tepat dan tidak ada yang salah.

Baca juga: Respon Reza Hutabarat, Adik Brigadir Yosua Atas Tuntutan Putri dan Bharada E: Mendidih Darahku Bang

Selain Richard, jaksa juga telah membacakan tuntutannya untuk empat orang terdakwa lainnmya di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

Empat terdakwa tersebut yakni Ferdy Sambo, Putri Candrawati, Kuat Maruf dan Ricky Rizal.

Fadil Zumhana selaku JAMPIDUM menyebutkan bahwa perkara pembunuhan berencana tersebut tidak ada yang luar biasa.

"Tidak ada yang luar biasa, cuman gara-gara media yang ramai jadi luar biasa," kata Fadil Zumhana dikutip dari tayangan kompas TV, Kamis (19/1/2023).

Untuk itu dia berharap agar masyarakat lebih ditenangkan dan tidak melakukan penggiringan opini.

"Jadi maksud saya tolong masyarakat nih ditenangkan, jangan di kipas-kipas, opini jangan dibentuk, fakta persidangan aja ditulis Jaksa Hakim meyakini atau tidak yakin, tinggi atau ketinggian atau kerendahan,"

"Kalau menurut hakim ini ketinggian, hakim boleh turunkan, hakim bilang bilang ini terlalu rendah ini jaksa terlalu baik hati ini, naikkan silahkan,"

"Hakim memutus dengan alat bukti dan keyakinannya. Itulah beda hakim dengan jaksa. Jaksa nggak boleh ini, dia terikat oleh alat bukti, dia murni terikat alat bukti,"

"Karena Jasa Ini mewakili pemerintah, negara dan masyarakat. Hakim itu ada Tuhan di atasnya. Sehingga hakim pakai yakin,"

"Jadi kalian jangan kalian perang sudah selesai, belum selesai ini, persidangan masih berjalan, belum berakhir,"

"Kami sudah uji sesuai dengan kami sebagai penuntut umum tertinggi, jaksa agung dan saya itu sudah menguji ini. Jadi produk anak-anak kami di lapangan sudah kami uji,"

Baca juga: LPSK Kecewa Jaksa Tuntut Bharada E 12 Tahun Penjara: Penghargaan JC dari Kami Tak diperhatikan

"Emang bener harus gitu,"

Pada kesempatan itu Fadil menjelaskan asal usul dari justice collaborator.

Namun kata dia bahwa seorang pelaku utama tidak dapat dijadikan sebagai JC.

Dia juga mengatakan bahwa tidak ada pihak yang dapat mengintervensi tuntutan JPU kepada terdakwa, termasuk dari LPSK.

"Untuk pelaku tidak bisa JC, pelaku utama, ini supaya saya luruskan ini. Undang-undang nggak bisa. Namun demikian menghormati lembaga pemerintah yang sebetulnya tugasnya hanya melindungi saksi dan korban, tidak boleh intervensi dan menentukan tuntutan pidana,"

"Tuntunan pidana itu wewenang penuh Jaksa Agung, tidak ada lembaga lain yang bisa mempengaruhi, tapi kami hormati LPSK. Maka tuntutannya itu lebih ringan dibanding pak Sambo,"

"Kalau mungkin LPSK nggak ada, nggak mungkin 12 tahun,"

Dia sangat menghormati perbedaan pendapat yang terjadi ditengah masyarakat.

Namun dia mengharapkan agar tidak menggiring opini yang nantinya dikhawatirkan akan mempengaruhi hakim dan jaksa.

"Tapi janganlah menggiring opini, nanti terpengaruh pola pikir Hakim dan Jaksa. Kita serahkan pada majelis yang sudah pengalaman,"

Menurutnya bahwa jaksa yang memegang perkara pembunuhan berencana tersebut sudah bujak dalam menjalankan tugasnya.

Sehingga kata Fadil Zumhana bahwa tidak ada yang salah dengan pengambilan keputusan dalam menjatuhkan tuntutan kepada Bharada E.

"Tidak ada yang salah sama jaksa itu, tapi kalau beda pendapat nggak apa-apa," tandasnya.

Baca juga: Jadi Eksekutor Pembunuhan Brigadir Yosua, Status JC Richard Eliezer Meringankan Tuntutan

Bharada Dituntut 12 Tahun Bui

Jaksa penuntut umum (JPU) menjatuhkan tuntutan pidana kepada terdakwa kasus dugaan pembunuhan berencana Nofriansyah Yosua Hutabarat alias Brigadir Yosua yakni Richard Eliezer Pudihang Lumiu atau Bharada E.

Dalam sidang tuntutan yang dibacakan pada Rabu (18/1/2023), Richard Eliezer alias Bharada E dijatuhi tuntutan pidana 12 tahun penjara.

"Mohon agar majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Menjatuhkan pidana penjara terhadap terdakwa Richard Eliezer Pudihang Lumiu 12 tahun penjara dikurangi masa tahanan," kata jaksa dalam persidangan di PN Jakarta Selatan.

Jaksa menyatakan, perbuatan terdakwa Bharada E terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana turut serta melakukan pembunuhan terhadap seseorang secara bersama-sama sebagaimana yang didakwakan.

Dalam tuntutannya jaksa menyatakan, Richard Eliezer Pudihang Lumiu atau Bharada E bersalah melanggar Pasal 340 KUHP juncto pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP sebagaimana dakwaan primer.

"Menyatakan terdakwa Richard Eliezer Pudihang Lumiu terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum bersalah melakukan tindak pidana turut serta melakukan pembunuhan yang direncanakan terlebih dahulu sebagaimana yang diatur dan diancam dalam dakwaan pasal 340 juncto pasal 55 ayat 1 Ke-1 KUHP," kata jaksa.

Sebelumnya, terdakwa Ricky Rizal Wibowo alias Bripka RR dan Kuat Maruf telah dijatuhkan tuntutan terlebih dahulu.

Dalam tuntutan jaksa yang dibacakan Senin (16/1/2023), kedua terdakwa tersebut dijatuhi tuntutan 8 tahun penjara atas tewasnya Nofriansyah Yoshua Hutabarat alias Brigadir Yosua.

Tak hanya Ricky Rizal dan Kuat Maruf, terdakwa Putri Candrawati juga dijatuhi tuntutan yang sama yakni 8 tahun penjara.

Kendati untuk terdakwa Ferdy Sambo, jaksa menjatuhkan tuntutan pidana penjara seumur hidup dengan tidak ada hal pembenar dan pemaaf yang terdapat dalam diri Ferdy Sambo.

Diketahui, Nofriansyah Yosua Hutabarat alias Brigadir Yosua menjadi korban pembunuhan berencana yang diotaki Ferdy Sambo pada 8 Juli 2022 lalu.

Brigadir Yosua tewas setelah dieksekusi di rumah dinas Ferdy Sambo, Duren Tiga, Jakarta Selatan.

Pembunuhan itu terjadi diyakini setelah Putri Candrawati bercerita kepada Ferdy Sambo karena terjadi pelecehan seksual di Magelang.

Ferdy Sambo saat itu merasa marah dan menyusun strategi untuk menghabisi nyawa dari Yosua.

Dalam perkara ini Ferdy Sambo, Putri Candrawati, Bripka Ricky Rizal alias Bripka RR, Kuwat Maruf dan Bharada Richard Eliezer alias Bharada didakwa melakukan pembunuhan berencana.

Kelima terdakwa didakwa melanggar pasal 340 subsidair Pasal 338 KUHP juncto Pasal 55 ayat 1 ke (1) KUHP dengan ancaman maksimal hukuman mati.

Tak hanya dalam kasus pembunuhan berencana Brigadir Yosua, khusus untuk Ferdy Sambo juga turut dijerat dalam kasus perintangan penyidikan atau obstruction of justice bersama Hendra Kurniawan, Agus Nurpatria, Chuck Putranto, Irfan Widianto, Arif Rahman Arifin, dan Baiquni Wibowo.

Para terdakwa disebut merusak atau menghilangkan barang bukti termasuk rekaman CCTV Komplek Polri, Duren Tiga.

Dalam dugaan kasus obstruction of justice tersebut mereka didakwa melanggar Pasal 49 juncto Pasal 33 subsidair Pasal 48 ayat (1) juncto Pasal 32 ayat (1) UU ITE Nomor 19 Tahun 2016 dan/atau dakwaan kedua pasal 233 KUHP subsidair Pasal 221 ayat (1) ke 2 KUHP juncto pasal 55 ayat 1 ke (1) KUHP.


Baca berita terbaru Tribunjambi.com di Google News

Baca juga: JPU: Ricky Melucuti Senjata Brigadir Yosua Atas Kehendak Putri Candrawati

Baca juga: BRI Proaktif Ungkap Pelaku Pembuat dan Penyebar APK Palsu, Mendukung Polri Sikat Kejahatan Perbankan

Baca juga: Bupati Tanjab Barat Anwar Sadat Hadiri Rakornas Kepala Daerah dan Forkompinda Se-Indonesia

Baca juga: Kejagung Sebut Status JC Bharada E Sudah Terakomodir, LPSK Tak Boleh Intervensi Tuntutan JPU

Artikel ini diolah dari Tribunnews.com

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved