WAWANCARA EKSKLUSIF
WAWANCARA EKSKLUSIF Walhi Jambi, Ruang Juang Bernama Wilayah Kelola Rakyat
Isu lingkungan yang masih terdengar sampai kini banyak menjadi perhatian Wahana Lingkungan Hidup (WALHI). Bahkan dipecah menjadi fokusnya pada beberap
Penulis: Rara Khushshoh Azzahro | Editor: Rian Aidilfi Afriandi
Dalam Perdes, kearifan lokal tetap menjadi acuan untuk mengelola sumber daya alam dan proteksi wilayah mereka sendiri.
Tribun Jambi: Kenapa harus berbasis kearifan lokal yang diangkat?
Eko: Karena kondisi hari ini ketika kearifan lokal tersebut muncul, masyarakat punya skema aturan main sendiri dalam mengelola sumber daya alam.
Tribun Jambi: Berarti yang dibilang bang Adam tadi ya? Masyarakat sebenarnya sudah tahu caranya, tidak merusak?
Eko: Iya, jadi ketika ada negara muncul bicara soal hutan lindung hutan produksi dan lain sebagainya. Masyarakat sudah tahu jauh lebih dahulu sebelum negara ini ada, mana wilayah yang bisa kelola dan dimanfaatkan.
Mereka ada istilah wilayah rusun tinggal. Misalnya mereka bermukim di situ, ada banjir dan lain sebagainya lalu mereka pindah. Mereka mencari tempat teraman untuk bertahan hidup, membuat sistem pemerintahan dan sebagainya.
Tribun Jambi: WALHI sendiri sudah lama mengawal sistem WKR?
Eko: Sudah lama, sebelumnya sebagai sebuah konsep. Dahulu ada skema hutan kerakyatan (SHK), dan kini WKR.
WKR merupakan konsep baru yang menurut kita harus kita jaga. Karena berat tantangannya ketika kita membicarakan kebijakan.
WKR sampai sekarang mau diakomodir pakai kebijakan yang mana tidak ada cantolannya.
Tribun Jambi: Bagaimana pengalaman empiriknya WALHI melakukan pendampingan wilayah yang dikelola rakyat pada dampak ekologinya?
Eko: WKR itu satu kesatuan wilayah yang terintegrasi dari mulai pemukiman sampai ke kawasan hutan. Bagaimana wilayah itu dikelola tergantung komunitas agar dampaknya maksimal dalam pengelolaan WKR. WALHI sendiri tidak dapat mengintervensi itu.
WALHI mendampingi ada yang wilayah adat, dapat clear. Lalu ada yang konflik. Kelompok, misalnya kelompok tani.
Adam: Bicara soal ekologi. Sebelum pandemi covid-19 ada tsunami di Palu. Masyarakat tidak ada tinggal di bawah atau dataran rendah. Karena mereka memiliki ingatan bahwa di tempat tersebut pernah terjadi tsunami.
Mereka beranggapan suatu tempat yang pernah terjadi bencana alam akan terjadi lagi pada kemudian hari. Saya ingat ada media yang memberitakan tentang pola bencana alam itu. Masyarakat mencatat hal itu, dan tinggal di tempat yang lebih tinggi.
Tapi justru pemerintah tidak memperhatikan cara hidup orang setempat, dan malah merencanakan membuat tata ruang kota yang bertumpu pada daerah yang sebenarnya rentan terhadap bencana alam. Jadi digulunglah oleh tsunami, tenggelam lah itu.
Jadi mengapa kita mendukung kearifan lokal, karena setiap mereka yang tinggal di situ bahkan hingga ratusan tahun lamanya mereka sudah mengenal setiap jengkal wilayah tinggalnya. Baik potensi maupun resikonya.
Tribun Jambi: Berarti masyarakat itu yang punya wilayah, merekalah yang tahu seluk-beluknya merupakan ingatan kolektif masyarakat?
Adam: Betul. Dan WKR itu menerjemahkan masyarakat atas wilayahnya terutama di Jambi itu menerjemahkan pengetahuan masyarakat atas wilayahnya diformalkan.
Entah melalui Perdes, dan mudah-mudahan besok-besok bisa melalui Perda. Atau aturan negara lainnya. Itulah yang kita tolong melalui WKR ini.
Simak berita-berita terbaru Tribunjambi.com melalui Google News
TONTON misteri kematian bocah di Bungo oleh Bujang Tuo pecinta Janda
Baca juga: Sapi di Batanghari yang Terpapar PMK Dibeli Seharga Ini
Baca juga: WAWANCARA EKSKLUSIF Fadli Sudria, Mengupas Tugas Komisi IV DPRD Provinsi Jambi
Baca juga: Diduga Karena Gaji Tak Sesuai Ekspektasi, 2 CPNS Kota Solo Pilih Mundur