WAWANCARA EKSKLUSIF
WAWANCARA EKSKLUSIF Walhi Jambi, Ruang Juang Bernama Wilayah Kelola Rakyat
Isu lingkungan yang masih terdengar sampai kini banyak menjadi perhatian Wahana Lingkungan Hidup (WALHI). Bahkan dipecah menjadi fokusnya pada beberap
Penulis: Rara Khushshoh Azzahro | Editor: Rian Aidilfi Afriandi
Karena sekarang kita butuh pengakuan oleh negara kita sendiri tetapi ke depan perkuat ekonomi-ekonomi komunitas, berangkat dari komoditi potensi yang ada di desa.
Sesuatu yang sudah ada di desa yaitu daerah Merangin. Sudah mendapatkan SK hutan desa, dari penolakan izin konsesi yang dilakukan oleh negara.
Itu dahulu dianggap pilihan WALHI adalah pilihan taktis untuk mendapatkan akses masyarakat mendapatkan kawasan hutan.
Sisanya, bagaimana strategi pengelolaan komunitas memanfaatkan sumber daya alam itu sendiri. Wilayah yang dikelola itu muncullah beberapa produk komoditi dihasilkan oleh komunitas.
Ada kayu manis, minyak Nilam, ada lagi ekowisata.
Karena produk ini mendukung ekowisata yang akan dikembangkan. Selanjutnya ada PR lagi mengembangkan produk ini bisa diterima pada pasar yang lebih luas.
Tribun Jambi: Artinya masyarakat yang mengelola WKR tadi mendapatkan manfaat yang lebih besar tanpa menjadikannya gaya seperti korporasi?
Eko: Dalam skema WKR, pendekatan WALHI adalah adat istiadat. Mana kita mengakui kearifan lokal yang pakai itu kita bantu mendokumentasikan supaya lebih formal dan diterima oleh pemerintah.
Kan kita bentuk peraturan desa (Perdes), dan kita undang pemerintah daerah. Perdes itu adalah main supaya masyarakat bisa mengelola wilayah itu.
Siapa yang bisa mengelola, berapa luasnya, apa komoditinya, aturan main seperti apa, termasuk sanksi yang diberikan ketika mereka melanggar.
Tribun Jambi: Artinya, apakah itu tidak akan dikuasai oleh crazy rich lokal?
Eko: Tidak akan, itu tidak akan dikuasai oleh satu orang. Misalnya suatu desa di Merangin mendapatkan SK hutan desa, misal 1000 hektar.
Dalam penataan ruang, dalam skema negara itu dibagi dua zona. Ada zona pelindung, ada zona pemanfaatan. Itu kita terima skemanya, tapi di skala komunitas itu ada lagi model pengelolaan yang mereka atur sendiri dalam adat. Padahal itu seharusnya diakomodir oleh negara.
Misalnya ada hutan larangan, ada mata air, ada tanaman tua yang tidak boleh ditebang.
Dan kearifan lokal itulah yang tidak terakomodir oleh negara. Makanya kita komodir dalam desa yang dibentuk pada Perdes.