WAWANCARA EKSKLUSIF
WAWANCARA EKSKLUSIF Walhi Jambi, Ruang Juang Bernama Wilayah Kelola Rakyat
Isu lingkungan yang masih terdengar sampai kini banyak menjadi perhatian Wahana Lingkungan Hidup (WALHI). Bahkan dipecah menjadi fokusnya pada beberap
Penulis: Rara Khushshoh Azzahro | Editor: Rian Aidilfi Afriandi
TRIBUNJAMBI.COM, JAMBI - Isu lingkungan yang masih terdengar sampai kini banyak menjadi perhatian Wahana Lingkungan Hidup (WALHI). Bahkan dipecah menjadi fokusnya pada beberapa hal, dan satu di antaranya Wilayah Kelola Rakyat (WKR).
Diskusi dalam acara Mojok Tribun Jambi ini merupakan kegiatan yang menyambut 'Pekan Rakyat Lingkungan Hidup' tanggal 1-5 Juni 2022.
Tribun Jambi berhasil mewawancarai WALHI Jambi di studio kami untuk mengenal pendalaman isu tersebut. Berikut percakapannya dengan Adam Kurniawan manajer Pengembangan Potensi Wilayah Kelola Rakyat (WKR) WALHI Nasional, dan Eko Mulyo Utomo Eksekutif Daerah WALHI Jambi yang:
Tribun Jambi: Bang Adam, WKR itu apa sih yang sekarang menjadi gagasan itu utama diusung teman-teman WALHI dalam acara 'Pekan Rakyat Lingkungan Hidup'?
Adam: Singkatnya penguasaan ruang itu ada tiga. Pertama yang dikuasai oleh negara, dikuasai oleh korporasi yaitu milik negara yang didiberikan hak yang diberikan kepada pengelola, dan ada wilayah yang dikuasai serta dikelola oleh rakyat.
WALHI merupakan organisasi sejak 1980 yang sudah cukup kuat yang memiliki satu kantor nasional, 28 kantor daerah, dan 500 lembaga anggota.
Kalau ada sesuatu yang menganggam lingkungan hidup, WALHI akan bekerja di situ bersama-sama rakyat. Baik berupa advokasi maupun litigasi yang mana berlalu ada 30 gugatan lingkungan oleh WALHI.
Biasanya, ketika kasus sudah selesai walhi akan berpindah kepada kasus yang lain. Dan pentingnya yang ditangani terus diorganisir, rakyat dapat berdaulat di atasnya atas pengelolaan.
Tribun Jambi: Dahulu sifatnya tentatif sekarang sifatnya berkesinambungan?
Adam: Benar berkesinambungan. Makanya WALHI sekarang mendorong pengakuan dan bendungan wilayah kelola rakyat.
Kita mencita-citakan agar negara berikan perlindungan wilayah yang dikelola oleh rakyat. Biasanya warga yang hidupnya satu bentang alam memiliki ikatan kultural dengan wilayahnya. Bahkan mereka memiliki tradisi-tradisi memuliakan sumber daya alam yang ada di situ.
Ada yang perlu dihidupkan untuk menjaga relasinya berkenaan dengan wilayah kelolanya
Itulah bedanya dengan korporasi yang hanya satu mengeksploitasi gimana untuk menghasilkan keuntungan sebesar-besarnya.
Seperti Wadas kepemilikannya petani, maka interaksi sumber daya alamnya adalah bertani. Negara tidak tidak mengakui pengelolaannya, tidak melindunginya, malah keluarkan izin tambang.
Negara mengakui keberadaannya, tetapi model (atau) cara rakyat mengelolanya tidak diakui.
Melihat sebagai suatu celah yang harus dibenahi apabila ada masyarakat di suatu tempat yang melakukan interaksi dengan wilayahnya harus diakui dan bahkan dilindungi.
Ada 164 juta hektar daerah daratan Indonesia, dan diangkat tersebut yang dikelola oleh korporasi justru banyak menimbulkan kerusakan.
Merupakan salah satu paling terdampak yaitu karhutla yang menjadi langganan setiap tahunnya. Berkaitan dengan itu, pada 2021 BNPB mencatat ada 3.034 bencana dari karhutla, banjir, dan lain sebagainya. Catatannya ada 8,3 juta masyarakat yang terdampak.
Maka itu WALHI semakin memperkuat bersama para lembaga anggotanya menjaga wilayah kelola rakyat.
Tribun Jambi: Bagaimana dengan 'perhutanan sosial', ini juga kan dikelola dengan rakyat?
Adam: Salah satunya perhutanan sosial, salah satu bagian dari proses wilayah kelola rakyat. Kalau pengakuan ini, maka didorong lah ada pengakuan secara legal formal oleh pemerintah.
Itu merupakan salah satu skema yang kita gunakan untuk mendapatkan pengakuan.
Misalnya seperti di Jambi, ada 96.000 kawasan hutan yang pemerintah mengakui pengelolaan rakyat di atasnya, dan mendapatkan SK. Itu yang dikawal oleh WALHI eksekutif daerah Jambi.
WALHI bercita-cita supaya wilayah kelola ini dapat terkelola menjadi jalan keluar solusi bagi krisis yang dialami oleh rakyat. Baik krisis ekonomi maupun krisis iklim.
Tribun Jambi: WKR selalu jadi isu utama yang dibawa WALHI. Apa tantangan besar dari WKR?
Adam: Pemerintah banyak mengeluarkan paket kebijakan-kebijakan yang melemahkan warga negara sebagai subjek pengelolaan sumber daya alam.
Misalnya UU Cipta kerja yang memberikan kemudahan sangat besar bagi korporasi, itu menjadi jalan merampas wilayah yang dikelola rakyat. Sehingga perlawanan utamanya adalah soal kebijakan.
Tribun Jambi: Ada teh gaharu, madu murni, piring lidi sawit, gelang resam, dan ada banyak lagi. Ini semuanya produk dari WKR bang Eko?
Eko: Iya, ini kecil produk yang kita bawa dari komunitas desa seperti disampaikan bang Adam konsep WKR sendiri. WALHI tidak hanya mendampingi desa konfliknya, tetapi juga bicara tentang penguatan ekonomi di komunitas.
Artinya ke depan ada PR besar kita bersama agar masyarakat bagaimana caranya bisa berdaulat atas wilayah mereka sendiri.
Karena sekarang kita butuh pengakuan oleh negara kita sendiri tetapi ke depan perkuat ekonomi-ekonomi komunitas, berangkat dari komoditi potensi yang ada di desa.
Sesuatu yang sudah ada di desa yaitu daerah Merangin. Sudah mendapatkan SK hutan desa, dari penolakan izin konsesi yang dilakukan oleh negara.
Itu dahulu dianggap pilihan WALHI adalah pilihan taktis untuk mendapatkan akses masyarakat mendapatkan kawasan hutan.
Sisanya, bagaimana strategi pengelolaan komunitas memanfaatkan sumber daya alam itu sendiri. Wilayah yang dikelola itu muncullah beberapa produk komoditi dihasilkan oleh komunitas.
Ada kayu manis, minyak Nilam, ada lagi ekowisata.
Karena produk ini mendukung ekowisata yang akan dikembangkan. Selanjutnya ada PR lagi mengembangkan produk ini bisa diterima pada pasar yang lebih luas.
Tribun Jambi: Artinya masyarakat yang mengelola WKR tadi mendapatkan manfaat yang lebih besar tanpa menjadikannya gaya seperti korporasi?
Eko: Dalam skema WKR, pendekatan WALHI adalah adat istiadat. Mana kita mengakui kearifan lokal yang pakai itu kita bantu mendokumentasikan supaya lebih formal dan diterima oleh pemerintah.
Kan kita bentuk peraturan desa (Perdes), dan kita undang pemerintah daerah. Perdes itu adalah main supaya masyarakat bisa mengelola wilayah itu.
Siapa yang bisa mengelola, berapa luasnya, apa komoditinya, aturan main seperti apa, termasuk sanksi yang diberikan ketika mereka melanggar.
Tribun Jambi: Artinya, apakah itu tidak akan dikuasai oleh crazy rich lokal?
Eko: Tidak akan, itu tidak akan dikuasai oleh satu orang. Misalnya suatu desa di Merangin mendapatkan SK hutan desa, misal 1000 hektar.
Dalam penataan ruang, dalam skema negara itu dibagi dua zona. Ada zona pelindung, ada zona pemanfaatan. Itu kita terima skemanya, tapi di skala komunitas itu ada lagi model pengelolaan yang mereka atur sendiri dalam adat. Padahal itu seharusnya diakomodir oleh negara.
Misalnya ada hutan larangan, ada mata air, ada tanaman tua yang tidak boleh ditebang.
Dan kearifan lokal itulah yang tidak terakomodir oleh negara. Makanya kita komodir dalam desa yang dibentuk pada Perdes.
Dalam Perdes, kearifan lokal tetap menjadi acuan untuk mengelola sumber daya alam dan proteksi wilayah mereka sendiri.
Tribun Jambi: Kenapa harus berbasis kearifan lokal yang diangkat?
Eko: Karena kondisi hari ini ketika kearifan lokal tersebut muncul, masyarakat punya skema aturan main sendiri dalam mengelola sumber daya alam.
Tribun Jambi: Berarti yang dibilang bang Adam tadi ya? Masyarakat sebenarnya sudah tahu caranya, tidak merusak?
Eko: Iya, jadi ketika ada negara muncul bicara soal hutan lindung hutan produksi dan lain sebagainya. Masyarakat sudah tahu jauh lebih dahulu sebelum negara ini ada, mana wilayah yang bisa kelola dan dimanfaatkan.
Mereka ada istilah wilayah rusun tinggal. Misalnya mereka bermukim di situ, ada banjir dan lain sebagainya lalu mereka pindah. Mereka mencari tempat teraman untuk bertahan hidup, membuat sistem pemerintahan dan sebagainya.
Tribun Jambi: WALHI sendiri sudah lama mengawal sistem WKR?
Eko: Sudah lama, sebelumnya sebagai sebuah konsep. Dahulu ada skema hutan kerakyatan (SHK), dan kini WKR.
WKR merupakan konsep baru yang menurut kita harus kita jaga. Karena berat tantangannya ketika kita membicarakan kebijakan.
WKR sampai sekarang mau diakomodir pakai kebijakan yang mana tidak ada cantolannya.
Tribun Jambi: Bagaimana pengalaman empiriknya WALHI melakukan pendampingan wilayah yang dikelola rakyat pada dampak ekologinya?
Eko: WKR itu satu kesatuan wilayah yang terintegrasi dari mulai pemukiman sampai ke kawasan hutan. Bagaimana wilayah itu dikelola tergantung komunitas agar dampaknya maksimal dalam pengelolaan WKR. WALHI sendiri tidak dapat mengintervensi itu.
WALHI mendampingi ada yang wilayah adat, dapat clear. Lalu ada yang konflik. Kelompok, misalnya kelompok tani.
Adam: Bicara soal ekologi. Sebelum pandemi covid-19 ada tsunami di Palu. Masyarakat tidak ada tinggal di bawah atau dataran rendah. Karena mereka memiliki ingatan bahwa di tempat tersebut pernah terjadi tsunami.
Mereka beranggapan suatu tempat yang pernah terjadi bencana alam akan terjadi lagi pada kemudian hari. Saya ingat ada media yang memberitakan tentang pola bencana alam itu. Masyarakat mencatat hal itu, dan tinggal di tempat yang lebih tinggi.
Tapi justru pemerintah tidak memperhatikan cara hidup orang setempat, dan malah merencanakan membuat tata ruang kota yang bertumpu pada daerah yang sebenarnya rentan terhadap bencana alam. Jadi digulunglah oleh tsunami, tenggelam lah itu.
Jadi mengapa kita mendukung kearifan lokal, karena setiap mereka yang tinggal di situ bahkan hingga ratusan tahun lamanya mereka sudah mengenal setiap jengkal wilayah tinggalnya. Baik potensi maupun resikonya.
Tribun Jambi: Berarti masyarakat itu yang punya wilayah, merekalah yang tahu seluk-beluknya merupakan ingatan kolektif masyarakat?
Adam: Betul. Dan WKR itu menerjemahkan masyarakat atas wilayahnya terutama di Jambi itu menerjemahkan pengetahuan masyarakat atas wilayahnya diformalkan.
Entah melalui Perdes, dan mudah-mudahan besok-besok bisa melalui Perda. Atau aturan negara lainnya. Itulah yang kita tolong melalui WKR ini.
Simak berita-berita terbaru Tribunjambi.com melalui Google News
TONTON misteri kematian bocah di Bungo oleh Bujang Tuo pecinta Janda
Baca juga: Sapi di Batanghari yang Terpapar PMK Dibeli Seharga Ini
Baca juga: WAWANCARA EKSKLUSIF Fadli Sudria, Mengupas Tugas Komisi IV DPRD Provinsi Jambi
Baca juga: Diduga Karena Gaji Tak Sesuai Ekspektasi, 2 CPNS Kota Solo Pilih Mundur