Citizen Journalism
Pemilu 2009 Memilih Dengan Checklist
Putusan ini diambil secara bulat oleh seluruh hakim konstitusi, tanpa dissenting opinion.
Oleh: Zulpikar
Undang-Undang Pemilu Penuh Kontroversi
Andrinof A Chaniago Direktur CIRUS Surveyors Group dalam pengantarnya di buku “ sisi gelap pemilu 2009” karya Ramdansyah, mengatakan : mereka yang menyimak penyelenggraan Pemilu Legislatif 2009 sudah mengetahui bahwa Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu anggota DPR, DPD dan DPRD merupakan undang-undang yang paling banyak menimbulkan kontroversi. Selain pengesahannya yang cukup alot, UU ini juga termasuk UU yang paling banyak dimimta pengujian oleh Mahkammah Konstitusi. Hal ini jelas menunjukkan bahwa pembahasan yang alot suatu rancangan undang-undang di DPR tidak berarti mencerminkan keseriusan dari anggota-anggota DPR memasukkan substansi yang berkualitas ke dalam suatu undang-undang, tetapi bisa karena kuatnya kepentingan-kepentingan sempit di dalam pembahasan rancangan undang-undang tersebut.
Pemilu ini merupakan pemilu legislatif ke tiga dan pemilu presiden ke dua yang dilaksanakan secara langsung di Indonesia pasca Reformasi, dibawah kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Dasar Hukum Pemilu 2009
Dasar hukum pelaksanaan Pemilihan Umum Tahun 2009 yaitu :
Undang-Undang Dasar 1945 [Pasal 22E ayat (1) s.d. ayat (6)], Undang-Undang No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum, Undang-Undang No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik, Undang-Undang No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Undang-Undang No. 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Keputusan Presiden No. 7 Tahun 2009 tentang Penetapan Hari Pemungutan Suara Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sebagai Hari Libur Nasional serta Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 4 Tahun 2009 tentang Dukungan Kelancaran Penyelenggaraan Pemilihan Umum Tahun 2009.
Penetapan DPT Dengan Perpu
Dalam detiknews, Kamis 12 Maret 2009 “DPT Revisi Ditetapkan, Jumlah Pemilih Bertambah 197 Ribu” : Komisi Pemilihan Umum akhirnya mengumumkan Daftar Pemilih Tetap Pemilu 2009 pasca keluarnya peraturan pemerintah pengganti undang undang Nomor 1 Tahun 2009. Jumlah pemilih bertambah 197.775. Sehingga, total DPT adalah 171.265.442. ”Jadi DPT bertambah, jika sebelumnya DPT adalah 171.068.667, sekarang adalah 171.265.442,” kata Ketua KPU Abdul Hafiz Anshary di Gedung KPU, Jl Imam Bonjol, Kamis (12/3/2009). Hafiz mengatakan jumlah pemilih dalam negeri adalah 169.789.595. Jumlah ini bertambah dari DPT yang diumumkan pada 24 November 2008 sebesar 169.558.775. Saat ini pemilih luar negeri adalah 1.475.847, adapun sebelumnya pemilih luar negeri adalah 1.509.892. ”Jadi banyak yang pulang ke Indonesia jadi pemilihnya juga berkurang,” ujarnya.
Dari perubahan tersebut, data DPT yang berkurang misalnya adalah Provinsi Lampung berkurang 26.375. Kemudian, Jawa Barat berkurang 27.533, Jambi berkurang 4.893, dan Papua berkurang paling besar yakni sebanyak 125.984.
Kemudian, jumlah pemilih yang bertambah misalnya di Sumatera Utara yang bertambah 48.789, Sumatera Barat bertambah 10.765, dan Jawa Timur bertambah paling besar yakni 220.163. Hafiz mengatakan, dengan perubahan tersebut, DPT yang diumumkan adalah DPT
untuk Pemilu 2009. DPT tersebut juga akan dijadikan Daftar Pemilih SementaraPilpres 2009.
Karena sebelumnya KPU telah menetapkan DPT pada tanggal 24 November 2008. Namun karena DPT ini masih bermasalah, akhirnya KPU berinisiatif memperbaikinya. Hanya saja KPU terkendala peraturan di UU Pemilu yang mengatakan DPT tidak bisa diubah lagi setelah ditetapkan. Akhirnya KPU mengusulkan Perpu yang menjadi payung hukum untuk memperbaiki DPT. Dengan Perpu ini, KPU bisa memperbaiki DPT tanpa khawatir terganjal masalah hukum. Perpu itu mengatur bahwa KPU hanya bisa mengubah DPT sebanyak 1 kali.
Perubahan Jadwal Pemilu
Komisi Pemilihan Umum menetapkan perubahan jadwal Pemilu 2009. Pencoblosan yang semula tanggal 5 April 2009 diundur menjadi tanggal 9 di bulan yang sama. diubahnya jadwal pemilu juga karena adanya keputusan MK soal anggota DPD yang harus berdomisili di provinsi yang bersangkutan. Sehingga pihaknya membutuhkan waktu untuk merevisi peraturan KPU No 13/2008 tentang pencalonan anggota DPD. Alasan lainnya ada desakan parpol yang meminta tambahan waktu untuk mematangkan persiapan menghadapi pemilu, keputusan perubahan jadwal pemilu diambil KPU setelah KPU mengkonsultasikannya baik kepada presiden, MK, maupun Komisi II DPR.
Berikut jadwal pemilu legislatif Tahun 2009 Pasca perubahan oleh KPU :
1. Penetapan verifikasi partai politik, 5 - 7 Juli 2008
2. Pengumuman parpol peserta pemilu dan nomor urut parpol, 9 Juli 2008
3. Penetapan daerah pemilu, 8 - 10 Juli 2008
4. Sosialisasi pencalonan daerah pemilu, 14 Juli 2008
5. Pendaftaran calon anggota DPD diperpanjang sampai dengan 14 Juli 2008
6. Masa kampanye selain rapat umum, 12 Juli 2008 - 5 April 2009
7. Kampanye rapat umum, 17 Maret 2009 - 5 April 2009
8. Masa tenang, 6 - 8 April 2009
9. Pencoblosan, 9 April 2009.
Metode Contreng Dalam Pemberian Suara.
Dalam Parlementaria tahun XXXIX No. 68 : Cara memberikan suara dalam Pemilu 2009 dengan memberikan tanda “contreng” memang masih banyak diperdebatkan banyak kalangan. Terhadap masalah tersebut, Hafiz mengatakan, UU Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Pemilu dalam salah satu pasalnya berbunyi : pemberian suara itu dilakukan dengan memberi tanda satu kali. pada kolom nama partai, kolom nomor calon atau kolom nama calon. Jadi berarti salah satu diantara tiga. Tetapi, bahasa yang dipakai memberi tanda satu kali inilah yang diperdebatkan, caranya seperti apa. KPU yang mengatur dengan peraturan. KPU berdiskusi kemanamana meminta masukan. Akhirnya kesimpulan yang terakhir yang diputuskan adalah pemberian tanda dilakukan dengan contreng atau cecklist.
Partai Peserta Pemilu 2009
Kurniawan Zein, dkk dalam buku asesmen partisipatif pemilu 2014, terbitan LP3ES (2015) : jumlah peserta pemilu 2009 berjumlah 38 partai politik yang diklasifikasikan terdiri dari, pertama, partai-partai yang lolos electoral threshold sebesar 2% kursi DPR dalam pemilu sebelunya (pemilu 2004) yang terdiri dari 7 partai yaitu Golkar, PDIP, PPP, PKB, PAN, PD dan PKS. Kemudian partai yang baru berdiri dan lolos berdasarkan syarat-syarat keikutsertaan dalam pemilu 2009 yang berjumlah 27 partai. Selain itu, juga terdapat partai dari peserta pemilu 2004 yang tidak lolos electoral threshold tidak mendapatkan kursi di DPR, yaitu partai Merdeka, Partai Persatuan Nahdlatul Ummah Indonesia, Partai Serikat Indonesia, dan Partai Buruh. Kelompok ini memperoleh kepesertaannya pada pemilu 2009 berkat keberhasilan gugatan mereka atas ketidakadilan dari pasal 316 huruf d yang dikabulkan oleh mahkamah Konstitusi.
Selain partai berskala nasional, ditetapkan pula 6 partai lokal khusus di NAD yang turut bertarung dalam Pemilu 2009, yaitu : (1) Partai Aceh, (2) Partai Aceh Aman Sejahtera, (3) Partai Bersatu Aceh, (4) Partai Daulat Aceh, (5) Partai Rakyat Aceh, dan (6) Partai Suara Independen Rakyat Aceh
Hal fenomenal yang berkembang dalam pemilu 2009 adalah menjamurnya calon anggota legislatif dari kalangan artis dan kerabat elit politik (oligarchy). Dengan modal popularitas yang dimiliki artis, dianggap oleh paratai politik mampu menarik suara pemilih.
Pengawas Pemilu dan Kewenangannya di Pemilu 2009
Nuansa agak berbeda pada pemilu 2009. Baik sisi keanggotaan, kedudukan lembaga pengawasan Pemilu dan penangan kasus pemilu. Sejak diundangkannya UU No. 22/2007 tentang Penyelenggara Pemilu, institusi pengawasan berubah menjadi permanen, meskipun baru pada tingkat pusat saja. Ini tercermin dari perubahan nama Panwaslu menjadi Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Masa periodiknya sama dengan KPU, yakni 5 (lima) tahun. Sementara untuk tingkat provinsi dan Kabupaten Kota masih tetap ad hoc.
Undang-Undang Nomor. 22 Tahun 2007 menjelaskan bahwa penyelenggara pemilu terdiri dari KPU dan Bawaslu yang bersifat permanen dan bahkan atas rekomendasi Bawaslu dapat dibentuk Dewan Kehormatan yang dapat menangani persoalan etik terkait dengan kinerja Komisi Pemilihan Umum.
Dalam pelaksanan tugasnya jajaran pengawas pemilu pada pemilu 2009 masih belum memiliki kewenangan yang tegas dalam undang-undang untuk memberi sanksi kepada para pelanggar pemilu. Ramdansyah dalam Sisi Gelap Pemilu 2009 (2010) : akumulasi penyelenggaraan pemilu 2009, Mahkamah konstitusi 12 Agustus 2009, memvonis KPU tidak profesional. Ini merupakan vonis yang berat bagi KPU, konsekwensinya pun sangat besar. Memang vonis ini tidak membatalkan semua produk yang dihasilkan dalam pemilu 2009, namun bagi KPU ini adalah “coreng muka” yang sangat hitam.
Ketika membacakan putusan, anggota Majelis Hakim Konstitusi, Maruarar Siahaan, mengatakan : KPU mudah dipengaruhi berbagai tekanan publik, termasuk peserta pemilu. Sehingga terkesan kurang kompeten dan kurang profesioal, serta kurang menjaga citra independensi dan netralitasnya. Vonis MK ini merupakan pukulan telak bagi KPU baik sebagai institusi maupun bagi pribadi semua anggota KPU.
Vonis MK ini tidak hanya menilai salah satu kinerja KPU dalam salah satu tahapan Pemilu, namun semua tahapan pemilu. Vonis MK ini bermula ketika dua kubu pasangan Capres-Cawapres Jusuf Kalla-Wiranto dan pasangan Megawati-Prabowo mengajukan gugatan perselisihan hasil Pilpres, yang dimenangkan pasangan Susilo Bambang Yudhoyoyno-Boediono, meskipun sengketa yang diajukan dua pasangan itu tidak dipenuhi MK.
Ketua MK, Mahfud MD, sebagaimana dilansir kompas (13/08/2004), tidak bisa memberi sanksi hukum pidana atas ketidakprofesionalan KPU. MK menurutnya hanya memberi rekomendasi supaya ke depan berhati-hati untuk memilih orang. Walaupun KPU tidak profesional, MK memutuskan, pemilu secara formal sah dan tidak ada yang cacat hukum. Hanya saja ada ketidak profesionalan dari penyelenggara pemilu, begitu juga dengan pembuat undang-undang nya. DPR 2004-2009 juga terkena semprit.
Bawaslu juga denikian, terkena label tidak becus mengawas Pemilu. Bawaslu membela diri, bahwa yang perlu dipahami adalah Bawaslu tidak diberi wewenang untuk memberi sanksi kepada pelanggar. Institusi pengawas Pemilu tak ubah singa bergigi ompong. Ilustrasi yang diberikan oleh TEMPO (12 April 2009), dari luar Pengawas Pemilu terlihat sangar. Tetapi waktu menggigit tidak terasa sakitnya, kecuali rasa geli.
Sengkarut Daftar Pemilih Pada Pemilu 2009
Hukumonline.com Edisi Akhir Tahun 2009 Kamis 31 December 2009 “Kisruh DPT, Noda Tercecer di Pemilu 2009” : pelantikan Susilo Bambang Yudhoyono dan Boediono sebagai pasangan Presiden dan Wakil Presiden Oktober 2009 menjadi pertanda berakhirnya keseluruhan agenda Pemilu 2009. Sebagian kalangan mungkin berpendapat Pemilu 2009 berjalan dengan sukses, tetapi sebagian lagi berpendapat sebaliknya. Kubu yang kedua menilai Pemilu 2009 memiliki cacat di sana-sini. Salah satu cacat itu adalah kisruh daftar pemilih tetap (DPT) yang dimensinya merambat kemana-mana, mulai dari Mahkamah Konstitusi hingga parlemen.
Karena persoalan DPT, DPR periode 2004-2009 bahkan di penghujung masa jabatannya menelurkan rekomendasi yang terbilang ekstrem yakni pemberhentian para Komisioner KPU. Mereka dinilai tidak becus menyelenggarakan Pemilu 2009. Rekomendasi itu memang tidak jelas juntrungannya seiring adanya pergantian periode anggota DPR. Namun, sikap ‘galak’ DPR setidaknya menggambarkan betapa seriusnya permasalahan DPT ini.
Selain DPR, kalangan lain yang gencar menyoroti masalah DPT adalah LSM pengamat pemilu. Mereka menilai KPU telah melanggar pemenuhan hak asasi warga negara sebagaimana dijamin oleh Konstitusi dan peraturan perundang-undangan. Atas dasar ini, kalangan LSM lalu mendatangi Komnas HAM untuk mengadukan dugaan pelanggaran HAM berupa raibnya hak pilih warga negara.
Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) mengidentifikasi kekisruhan DPT sebenarnya sudah terjadi sejak penyusunan Daftar Pemilih Sementara (DPS). Secara khusus, JPPR menyoroti kiprah Petugas Pemutakhiran Data Pemilih (PPDP) yang seharusnya bertanggung jawab dalam proses penyusunan data pemilih. Temuan JPPR di lapangan, banyak PPDP yang tidak serius bekerja dengan alasan anggaran atau honor yang belum turun. Makanya, tidak mengherankan jika hasilnya pun jauh dari sempurna. Ketika itu, JPPR lantang meminta agar KPU menanggalkan jabatan dan perhelatan Pemilu 2009 juga diundur.
KPU yang menjadi sasaran tembak mencoba membela diri. Ketua KPU Abdul Hafiz Anshary mengatakan pihaknya telah berupaya maksimal dalam menyusun DPT. Masalahnya, dalih Hafiz, rujukan KPU dalam menyusun DPT yakni Data Penduduk Potensial Pemilih Pemilu (DP4) yang diberikan Departemen Dalam Negeri juga bermasalah. Banyak nama ganda dan data penduduk yang tidak akurat dalam DP4. Gencar dipersoalkan, kisruh DPT ternyata tidak cukup kuat untuk menghentikan roda pemilu. Pemilu legislatif untuk memilih wakil rakyat di parlemen tetap digelar.
Prediksi kalangan LSM terbukti benar. Pada hari pelaksanaannya, pemilu legislatif banyak diwarnai persoalan seputar data pemilih. Kasus yang marak terjadi adalah hilangnya hak pilih warga negara karena tidak terdaftar dalam DPT. UU No 10 Tahun 2008 memang menyatakan bahwa warga negara yang bisa menggunakan hak pilihnya adalah warga negara yang namanya tercantum di DPT.
Berangkat dari pengalaman buruk pemilu legislatif, dua warga negara yakni Refly Harun dan Mahesa Prabandono mengajukan permohonan uji materil UU No 42 Tahun 2008. Yang dibidik adalah Pasal 28 dan Pasal 111 ayat (1) yang dinilai menghalangi warga negara menggunakan hak pilihnya. Pemohon berharap dua pasal itu dibatalkan sehingga warga negara yang tidak terdaftar di DPT bisa tetap memilih.
Perjuangan Refly dan Mahesa membuahkan hasil. Putusan MK saat-saat injury time menjelang pelaksanaan pemilu presiden mengabulkan sebagian permohonan. MK menyatakan warga negara yang tidak terdaftar di DPT bisa tetap memilih, dengan menunjukkan kartu identitas pribadi. Putusan MK ini lalu ditindaklanjuti dengan peraturan teknis KPU.
Rampung pemilu presiden, masalah DPT ternyata diangkat lagi. Kali ini, dua pasangan calon presiden dan wakil presiden kompetitor SBY-Boediono yang ‘menggugat’ ke MK. JK-Wiranto dan Megawati-Prabowo mempersoalkan hasil pemilu presiden putaran pertama karena ditenggarai banyak konstituen mereka yang belum terdaftar sehingga tidak bisa memilih. Dalam putusannya, MK menyatakan hasil perhitungan suara sah.
Catatan penting yang diberikan MK dalam putusannya adalah bahwa regulasi DPT yang berlaku sekarang belum sempurna. MK berpendapat DPT seharusnya dibarengi dengan penerapan sistem single identity number sehingga dapat menutup peluang kesalahan data, baik disengaja atau tidak. Selain itu, MK merekomendasikan agar regulasi pemilu diperbaiki oleh DPR dan pemerintah.
Pemilu Terburuk di Era Reformasi
Kompas.com, 15/04/2009 "Pemilu 2009 Terancam" : Sejumlah partai politik dan tokoh politik menilai, pemilu kali ini adalah pemilu terburuk sejak reformasi dan pelaksanaannya jauh dari sikap yang jujur, bermartabat, adil, dan demokratis.
Pelaksanaan pemilu juga diwarnai kecurangan dan kesalahan administrasi serta substansi yang sistemik sehingga mengakibatkan kualitasnya buruk. Pernyataan sikap partai politik dan tokoh masyarakat terhadap pelaksanaan Pemilu 2009 dibacakan Ketua Umum Partai Hati Nurani Rakyat Jenderal (Purn) Wiranto di kediaman Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Megawati Soekarnoputri di Jalan Teuku Umar, Jakarta, Selasa (14/4). ”Pemerintah, Komisi Pemilihan Umum, maupun Komisi Pemilihan Umum Daerah bersikap tidak netral dalam pelaksanaan pemilu legislatif,” kata Wiranto.
Pernyataan itu ditandatangani 14 dari 38 pemimpin partai peserta pemilu dan sejumlah tokoh, antara lain : Megawati, Wiranto, Abdurrahman Wahid (Ketua Umum Dewan Syuro Partai Kebangkitan Bangsa), Rizal Ramli, Sutiyoso, Ferry B Regar (Partai Damai Sejahtera), Bursah Zarnubi (Partai Bintang Reformasi), Idham Cholied (Partai Kebangkitan Nasional Ulama), Yusril Ihza Mahendra (Partai Bulan Bintang), Totok Daryanto (Partai Amanat Nasional), Syahrir MS (Partai Republika Nusantara), Zulfan Lindan (Partai Nasional Benteng Kerakyatan Indonesia), Amelia A Yani (Partai Peduli Rakyat Nasional), Rusdi Hanafi (Partai Persatuan Pembangunan), Prabowo Subianto (Partai Gerakan Indonesia Raya), dan Ryaas Rasyid (Partai Demokrasi Kebangsaan).
Ketua Umum PBB MS Kaban dan Wakil Ketua Umum PBB Hamdan Zoelva serta mantan Kepala Badan Intelijen Negara Hendropriyono juga datang. Penanda tangan deklarasi menilai, dalam Pemilu 2009 terjadi kecurangan yang sistemik. Menurut Rizal Ramli, bila semua desa dipetakan, akan terlihat ada korelasi positif antara desa yang banyak menerima bantuan langsung tunai dan peta kemenangan Partai Demokrat. Sebaliknya, di daerah di mana Partai Demokrat berpotensi kalah, terutama di kota besar, banyak warga yang tak masuk DPT.
Menurut Hamdan Zoelva, banyak daerah yang merupakan basis PBB mengalami penggembosan luar biasa. Ia mencontohkan, 500 orang di Desa Jia, Kecamatan Sape, Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat, tidak ada dalam DPT. Ketua Umum Partai Keadilan Sejahtera Tifatul Sembiring juga menyesalkan amburadulnya pelaksanaan Pemilu 2009.
Kompas.com 04/07/2019 dengan judul "Amien Rais, Pemilu 2009 Lebih Buruk dari 2004 dan 1999" : Amien berpendapat, penetapan calon anggota legislatif terpilih berdasarkan sistem suara terbanyak, seperti putusan Mahkamah Konstitusi, tetap lebih baik dibandingkan sistem nomor urut. Menurut Amien, sistem suara terbanyak ini lebih demokratis dan menghormati prinsip-prinsip hak asasi manusia. Akan tetapi, menurut Amien, secara umum, Pemilu 2009 berjalan tanpa arah. Penggantian sistem coblos menjadi contreng adalah langkah berisiko tinggi karena memiliki potensi tinggi terjadinya kesalahan teknis saat memberikan suara. Selain itu, persoalan dugaan penggelembungan daftar pemilih tetap (DPT) yang belum beres menambah keruwetan pelaksanaan Pemilu 2009. Ketua Forum Rektor Indonesia Edy Suandi Hamid menilai, Pemilu 2009 mengalami degradasi dibandingkan dua pemilu sebelumnya. Ini terlihat dari munculnya persoalan DPT sampai hari-hari terakhir menjelang pencentangan, logistik yang lambat terkirim, dan banyaknya kartu suara yang cacat. "Jadwal pemilu yang sempat dimundurkan maupun jadwal kampanye yang juga berubah menimbulkan kecurigaan adanya intervensi kekuasaan terhadap KPU," katanya.
Hasil Perolehan Suara Pileg 2009
Wikipedia.org “Pemilihan umum legislatif Indonesia 2009” : Pada 9 Mei 2009, KPU menetapkan hasil Pemilihan Umum Anggota DPR 2009 setelah 14 hari (26 April 2009 - 9 Mei 2009) melaksanakan rekapitulasi penghitungan suara secara nasional. Hasil yang diumumkan meliputi perolehan suara berikut jumlah kursi masing-masing partai politik di DPR. Penetapan jumlah kursi kemudian direvisi oleh KPU pada 13 Mei 2009 setelah terjadi perbedaan pendapat mengenai metode penghitungannya.Revisi kemudian kembali dilakukan berdasarkan keputusan MK.
DPT dan parpol pengusung serta parpol pendukung Pilpres 2009.
Tanggal 31 Mei 2009, Komisi Pemilihan Umum (KPU) menetapkan jumlah daftar pemilih tetap (DPT) Pemilu Presiden/Wakil Presiden (Pilpres) 2009 yaitu sebanyak 176.367.056 orang. Penetapan ini dilakukan setelah KPU bersama KPU Provinsi melakukan rekapitulasi DPT di 33 provinsi menjadi DPT Nasional.
Menurut anggota KPU Andi Nurpati, jumlah 176.367.056 pemilih terdiri atas 175.233.318 orang pemilih di dalam negeri dan pemilih di luar negeri 1.133.738 orang. “Alhamdulillah hari ini bisa kita tetapkan (DPT),” ujar Andi pada konferensi pers penetapan DPT di Kantor KPU Jakarta (31/05). Menurut Andi, terjadi peningkatan pemilih Pilpres 2009 dibanding dengan Pemilu Legislatif lalu. Pada pemilihan legislatif jumlah pemilih sebanyak 171.265.442 orang (indonesiacenter.wordpress.com 01/06/2009).
Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia Tahun 2009 diselenggarakan untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden Indonesia periode 2009-2014. Pemungutan suara diselenggarakan 8 Juli 2009. Pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono berhasil menjadi pemenang dalam satu putaran langsung dengan memperoleh suara 60,80%, mengalahkan pasangan Megawati Soekarnoputri-Prabowo Subianto dan Muhammad Jusuf Kalla-Wiranto
Pasangan calon terpilih adalah pasangan calon yang memperoleh suara lebih dari 50% dari jumlah suara dengan sedikitnya 20% suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari 50% jumlah provinsi di Indonesia. Dalam hal tidak ada pasangan calon yang perolehan suaranya memenuhi persyaratan tersebut, 2 pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua dipilih kembali dalam pemilihan umum (putaran kedua). Dalam hal perolehan suara terbanyak dengan jumlah yang sama diperoleh oleh 2 pasangan calon, kedua pasangan calon tersebut dipilih kembali oleh rakyat dalam pemilihan umum. Dalam hal perolehan suara terbanyak dengan jumlah yang sama diperoleh oleh 3 pasangan calon atau lebih, penentuan dari peringkat pertama dan kedua dilakukan berdasarkan persebaran wilayah perolehan suara yang lebih luas secara berjenjang. Dalam hal perolehan suara terbanyak kedua dengan jumlah yang sama diperoleh oleh lebih dari 1 pasangan calon, penentuannya dilakukan berdasarkan persebaran wilayah perolehan suara yang lebih luas secara berjenjang.
Kampanye Pilpres
Kampanye Pilpres 2009 diselenggarakan pada 2 Juni hingga 4 Juli 2009 dalam bentuk rapat umum dan debat calon (sebelumnya dijadwalkan pada 12 Juni hingga 4 Juli 2009). Materi kampanye meliputi visi, misi, dan program pasangan calon. Kampanye dalam bentuk rapat umum berlangsung selama 24 hari dalam 3 putaran, mulai dari 11 Juni hingga 4 Juli 2009. Pada setiap putaran, setiap pasangan calon mendapatkan jatah 8 kali rapat umum di setiap provinsi. Debat calon presiden diselenggarakan sebanyak 3 kali, sedangkan debat calon wakil presiden diselenggarakan sebanyak 2 kali. Setiap debat diselenggarakan oleh stasiun televisi nasional yang telah ditentukan oleh KPU.
Sengketa Pilpres
Pasangan M.Jusuf Kalla-Wiranto dan Megawati Soekarnoputri-Prabowo Subianto mengajukan keberatan terhadap hasil rekapitulasi perolehan suara Pilpres 2009 yang telah ditetapkan KPU ke Mahkamah Konstitusi, masing-masing dengan perkara nomor 108/PHPU.B-VII/2009 dan 109/PHPU.B-VII/2009. Isi keberatan yang diajukan kedua pasangan yaitu sebagai berikut : Kekacauan masalah penyusunan dan penetapan Daftar Pemilih Tetap (DPT), regrouping dan/atau pengurangan jumlah TPS, adanya kerjasama atau bantuan IFES, adanya spanduk buatan KPU mengenai tata cara pencontrengan, beredarnya formulir ilegal model “C-1 PPWP”, adanya berbagai pelanggaran administratif maupun pidana, adanya penambahan perolehan suara Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono serta pengurangan suara Megawati Soekarnoputri-Prabowo Subianto dan M.Jusuf Kalla-Wiranto.
KPU berikut KPUD seluruh Indonesia menjadi termohon dan Bawaslu serta pasangan SBY-Boediono menjadi pihak terkait. Sidang kedua perkara ini digabungkan oleh MK karena melihat adanya kesamaan pokok perkara. Persidangan terbuka dilaksanakan sebanyak empat kali yaitu pada tanggal 4 Agustus 2009 (pemeriksaan perkara), 5 Agustus 2009 (mendengar keterangan termohon, pihak terkait, keterangan saksi, dan pembuktian), dan 6-7 Agustus 2009 (pembuktian). Pada tanggal 12 Agustus 2009, majelis hakim konstitusi membacakan putusannya, dimana dalam amar putusan menyatakan bahwa permohonan ditolak seluruhnya. Putusan ini diambil secara bulat oleh seluruh hakim konstitusi, tanpa dissenting opinion.
*Zulpikar, Komisioner Bawaslu Kabupaten Tangerang