Update Virus Corona di Jambi Kamis (26/3) Pagi, ODP 178 dan PDP 14 Orang, Positif 1 Orang

Juru BIcara Satgas Covid-19 Jambi, Johansyah, mengatakan penambahan lima ODP itu semuanya dari RSUD Raden Mattaher.

Penulis: Mareza Sutan AJ | Editor: Duanto AS
Tribun Jambi/Zulkifli
Kepala Biro Humas dan Protokol Sekretariat Daerah Provinsi Jambi yang juga Juru Bicara Penanganan Corona Virus Disease (Covid-19) Provinsi Jambi, Johansyah 

Update Virus Corona di Jambi Kamis (26/3) Pagi, ODP 178 dan PDP 14 Orang, Positif 1 Orang

TRIBUNJAMBI.COM, JAMBI - Berikut ini update virus corona di Jambi pada Kamis (26/3) pagi.

Tim Gugus Depan Penanganan Coronavirus Disease ( Covid-19 ) kembali mengumumkan kabar terakhir terkait kasus penyebaran virus corona di Jambi pada Rabu (25/3/2020) malam. ( virus corona Jambi )

Berdasarkan hasil catatan dari seluruh rumah sakit rujukan se-Provinsi Jambi, jumlah Orang Dalam Pemantauan (ODP) bertambah lima dan Pasien Dalam Pengawasan (PDP) bertambah tiga orang.

Juru BIcara Satgas Covid-19 Jambi, Johansyah, mengatakan penambahan lima ODP itu semuanya dari RSUD Raden Mattaher.

4 Provinsi Ini Sebut Jokowi Bakal Berdampak Terburuk Karena Virus Corona: Skenario Paling Terburuk

Kritik Pedas Penanganan Virus Corona hingga Sindir Prabowo dan Terawan, Haris Azhar: Agak Sakit Hati

10 Foto Marilyn Monroe, Artis Legendaris yang Bikin Presiden Kesengsem, selalu Pakai Celana Ketat

Sementara itu untuk PDP bertambah 3 orang.

"Dengan rincian, satu dari RS Raden Mattaher, dan dua dari RS H Abdul Manap Kota Jambi. Rencananya besok (hari ini) uji SWAB," terangnya.

Jika diakumulasikan, hingga hari ini ada 178 ODP, 14 PDP dan 3 sampel dahak dalam proses uji laboratorium Kemenkes RI. Selain itu, masih 1 ada satu pasien dirawat yang dinyatakan positif corona.

Johansyah mengatakan data yang direkap memang untuk hari ini baru bisa disajikan pada malam hari, karena harus menunggu rekapitulasi dari kota dan kabupaten lainnya.

Tapi untuk hari ini, pihaknya menjanjikan akan mengumumkan pukul 17.00 WIB, dan daerah paling lambat menyampaikan data pukul 15.00 WIB.

"Besok juga kita akan memulai penyampaian rilis baru, berupa rekaman kepada awak media Pemprov Jambi. Nanti kami akan jawab pertanyaan awak media dalam video, yang akan kami kirimkan pukul 17.00 WIB," terangnya.

Hal itu bertujuan sebagai upaya memutus mata rantai Covid-19, dengan tidak mengumpulkan orang dalam jumlah banyak. ( virus corona Jambi )

Kini Gugat Cerai Kiwil, Meggy Wulandari Terancam Jatuh Miskin, Pekerjaanya Dicancel: Saldo Menipis!

Ramalan Zodiak Kamis 26 Maret 2020, Capricorn Sulit Fokus, Libra Jemput Kesuksesan

Update Data Terbaru Korban Virus Corona di Indonesia

Hingga hari ini Rabu 25 Maret 2010, ada penambahan kasus virus corona di Indonesia.

Jumlah kasus baru ada 105 sehingga total menjadi 790 kasus positif virus corona.

"Ada tambahan konfirmasi 105 kasus positif berdasarkan tes PCR bukan rapid test," ujar Juru Bicara Pemerintah untuk Penanganan Virus Corona Achmad Yurianto, Rabu, (25/3/2020).

Sementara itu terdapat satu pasien yang dinyatakan sembuh. Sehingga Total pasien sembuh , di Indonesia menjadi 31 orang yang sembuh.

Selain terdapat pasien yang sembuh, juga terdapat tiga orang positif Corona yang meninggal. Total mereka yang meninggal menjadi 58 orang.

Yurianto mengatakan pemerintah berharap peran serta masyarakat bukan hanya menjaga jarak tapi mengingatkan orang lain untuk menjaga jarak. Ini merupakan bentuk upaya untuk mengendalikan penyebaran virus Covid-19.

" Apabila tidak maka akan sulit untuk mengendalikan penyebaran penyakit ini," pungkasnya. (*)

Hidup di Tengah Pandemi

Hidup di tengah pandemi tentu terasa aneh dan tidak pernah kita bayangkan sebelumnya.

Sebagian besar dari kita tidak pernah diminta untuk berkorban sebelumnya, seperti tinggal di rumah saja dan membatasi kontak dengan orang lain.

Gangguan mendadak dalam hidup kita itu bisa menimbulkan kecemasan.

Dan bagi sebagian orang, mereka mengabaikan bahaya virus corona dan memilih melanjutkan aktivitas seperti biasa.

Kendati berulang kali pejabat kesehatan dan pejabat pemerintah meminta masyarakat tinggal di rumah untuk memperlambat penyebaran COVID-19, banyak orang tidak menaatinya.

Mereka tetap keluar rumah, menghadiri acara, atau menghabiskan waktu di pusat berbelanjaan.

Pertanyaannya, mengapa orang-orang tidak menganggap serius ancaman virus corona? Psikolog mengatakan ada beberapa alasan --dan kebanyakan berasal dari sifat dasar manusia.

Orang-orang kurang menanggapi serius

Gordon Asmundson, profesor psikologi di University of Regina di Saskatchewan, sedang meneliti faktor-faktor psikologis yang terkait penyebaran dan tanggapan terhadap COVID-19.

Ia memecah masyarakat menjadi tiga kelompok berdasarkan tanggapan kita terhadap pandemi. Yaitu mereka yang menanggapi berlebihan, kurang menanggapi, dan mereka yang berada di antara keduanya.

"Penanggap berlebihan" adalah pembeli panik yang telah menimbun persediaan makanan untuk berbulan-bulan.

Mereka takut, dan berharap dengan membeli tumpukan tisu toilet dapat mengurangi ketakutan itu.

Orang-orang yang berada di "tengah-tengah" melakukan apa yang diminta tanpa panik atau bertindak gegabah.

Kemudian, mereka yang kurang menanggapi serius tidak mematuhi pedoman kesehatan masyarakat dan menganggap diri kebal.

Mereka tidak menerapkan social distancing karena percaya mereka tidak akan sakit, meski anjuran itu bisa mencegah lebih banyak orang terinfeksi.

Orang-orang yang tidak menanggapi virus corona secara serius bisa jadi disalahkan apabila virus terus menyebar di suatu negara.

Mereka melihatnya sebagai cara mendapatkan kendali hidup

Orang yang anti pembatasan jarak sosial terus berkumpul dalam kelompok dan mengabaikan saran karena mereka merasa tidak berdaya.

Tindakan pembangkangan yang mereka lakukan membuat virus tampak lebih kecil, kata Vaile Wright, psikolog dan direktur riset di American Psychological Association.

"Salah satu tantangan dengan ketidakpastian adalah itu mengingatkan kita pada hal-hal di luar kendali kita," kata Wright.

"Saya pikir pembangkangan semacam ini, sampai batas tertentu, adalah cara untuk mendapatkan kembali kendali."

Sama seperti menimbun persediaan untuk menghindari virus, menentang saran pejabat kesehatan mengenai social distancing juga merugikan. Berkumpul di tengah orang banyak hanya meningkatkan risiko seseorang terpapar.

Membatasi kontak dengan orang lain adalah satu-satunya cara untuk memperlambat penyebaran virus corona.

Mereka tidak melihat pandemi sebagai masalah mereka

Bagi sebagian orang, Covid-19 tampak seperti masalah yang ditanggung oleh penduduk di kota-kota yang padat atau negara-negara asing. Mereka merasa sedih, tapi itu bukan beban mereka.

Orang-orang yang tinggal di sebuah kelompok di mana infeksi tidak menyebar atau petugas tidak memberlakukan lockdown cenderung tidak menjauhkan diri dari orang lain, kata Steven Taylor, psikolog klinis dan penulis "The Psychology of Pandemics."

"Orang-orang meremehkan pentingnya --mungkin karena mereka tidak melihat orang-orang di komunitas mereka terkena virus," kata Taylor.

Mereka mengalami mati rasa

Virus corona menciptakan apa yang disebut Taylor sebagai "infodemik." Ketika orang melihat media, linimasa di media sosial dan percakapan dengan orang yang dicintai membahas COVID-19, mereka mungkin menjadi peka terhadap keparahan pandemi.

"Orang-orang menjadi mati rasa," kata Taylor.

Informasi yang berlebihan ini juga berkontribusi pada pesan yang simpang siur. Orang yang lebih muda telah berulang kali diberi tahu mereka berisiko lebih rendah terkena infeksi.

Ketika hal itu dipadukan dengan kecenderungan orang dewasa muda untuk mengambil risiko, bisa berarti mereka tidak takut virus.

Mereka berpikir secara individu

Negara-negara barat, khususnya AS, telah lama menghargai kebebasan individu. Dan selama pandemi, pola pikir itu bisa berakibat fatal bagi mereka yang paling rentan terkena virus.

Itu sebabnya, petugas kesehatan, selebritas dan orang-orang meminta masyarakat tidak tinggal di rumah bukan cuma untuk kepentingan diri mereka, melainkan juga demi kepentingan orang lain.

Orang dewasa berusia di atas 60 tahun, orang dengan sistem kekebalan tubuh yang terganggu, dokter, serta perawat berisiko tinggi terpapar virus corona.

Mereka kesepian

Para psikolog setuju, manusia mendambakan koneksi, dan kehilangan interaksi sosial untuk waktu yang lama bisa terasa menyakitkan.

Hal ini bisa sangat sulit bagi orang tua, di mana mereka memiliki risiko kematian lebih tinggi akibat depresi dan kesepian. Mereka cenderung kurang tertarik menggunakan perangkat teknologi, seperti FaceTime atau Zoom, untuk berkomunikasi.

Kita makhluk sosial. Kita juga memiliki banyak kebebasan. Sulit membuat perubahan yang diminta.

Lantas, bisakah mereka dibujuk untuk tetap tinggal di rumah? Hal ini sedang dipelajari oleh Asmundson.

Dengan mengidentifikasi faktor-faktor psikologis yang berkontribusi terhadap respon yang terlalu esktrem atau penolakan, pejabat publik dapat kembali meyakinkan masyarakat untuk menerapkan social distancing.

Beberapa orang percaya, mereka perlu merasa takut dan tinggal di rumah. Namun sebagian lain berpendapat, ketakutan dapat menjadi bumerang karena orang-orang yang takut tidak membuat keputusan berdasarkan logika dan berujung pada panic buying.

Sulit menyatukan persepsi antara responden ekstrem dan responden yang tidak menanggapi pandemi secara serius, kata Asmundson.

Tapi para ahli setuju akan satu hal. Meyakinkan orang agar tetap berada di rumah adalah taruhan terbaik kita dalam melawan pandemi. (Mareza SutanAJ, Kompas.com)

Pangeran Charles Dikabarkan Terjangkit Virus Corona, Begini Kabar Kondisi Terbarunya Kini!

Artis Olga Kurylenko Dinyatakan Sembuh Dari Virus Corona Ternyata Rutin Konsumsi Minuman Ini!

Begini Kondisi Papua yang Terapkan Lockdown, Bandara, Pelabuhan, Jalan Darat Lintas Negara Tutup

Sumber: Tribun Jambi
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved