Sekeluarga Terombang-ambing 38 Hari di Samudera Pasifik Usai Kapalnya Hancur Ditabrak Paus

Sekeluarga Terombang-ambing 38 Hari di Samudera Pasifik Usai Kapalnya Hancur Ditabrak Paus

Editor: Andreas Eko Prasetyo
daily mail
Keluarga Robertson akhirnya diselamatkan kapal ikan Jepang 

Keluarga Robertson beruntung karena lokasi tenggelamnya di daerah tropis.

Suhu laut tidak cukup rendah untuk memicu syok karena suhu dingin.

"Semua perjalanan besar untuk bertahan hidup terjadi di daerah tropis," kata Tipton.

Setidaknya dua hal pertama pada hierarki kelangsungan hidup mereka, udara dan suhu, tidak perlu dikhawatirkan.

Tapi lokasi mereka di daerah tropis juga mulai menjadi sebuah komplikasi. Suhu panas membuat mereka berkeringat.

terapung, laut, bertahan hidup, paus, kapal

Ada tujuh orang di atas kapal Lucette ketika kapal itu tenggelam dan mereka harus masuk ke dalam sampan berkapasitas enam orang untuk bertahan hidup/JAVIER HIRSCHFELD.

"Kelangsungan hidup ada dalam keseimbangan; khususnya keseimbangan cairan, termal, dan energi," kata Tipton.

"Anda dapat meminimalkan kebutuhan atas air dengan cara beraktivitas saat suhu tidak terlalu panas. Pada dasarnya harus menghindari berkeringat."

Dikelilingi oleh air, tentu ada godaan mendinginkan tubuh dengan cara melompat ke laut.

Namun, ini harus dihindari, karena kulit akan terkena garam yang dapat menarik kelembaban kulit dan memicu iritasi.

Namun, mencelupkan tangan ke dalam air diperbolehkan.

"Saat kegerahan, aliran darah ke tangan akan sangat tinggi," kata Tipton.

"Jika suhu dalam tubuh naik, tubuh akan terus mengalirkan darah ke tangan. Mencelupkan tangan ke air bisa mendinginkan badan seperti kalau Anda mengenakan rompi es. "

Setelah mengapung di laut terbuka yang aman dari bahaya langsung, keluarga Robertson punya waktu untuk merencanakan penyelamatan mereka.

Mereka memutuskan untuk menuju utara, lebih dekat ke garis khatulistiwa, ke daerah yang tak berangin.

Wilayah laut ini, tempat angin utara dan selatan bertemu, dikenal karena airnya yang tenang dan angin yang kecil.

Kondisi laut inilah yang menarik bagi keluarga Robertson.

Kurangnya angin membuatnya menjadi tempat yang ideal untuk bertahan hidup.

Garis laut di sekitar khatulistiwa mungkin mencapai 35 derajat Celcius hampir sepanjang tahun.

Kelembaban dari permukaan laut naik secara vertikal di daerah itu sebelum mendingin dan kembali ke laut sebagai hujan.

Keluarga Robertson tahu ada hujan di sana, setelah berlayar melewatinya dalam perjalanan ke Galapagos.

Awan petir di sana akan membuatnya menjadi tempat yang menyedihkan untuk pelaut yang terjebak, tetapi bisa membuat Anda tetap hidup.

Mereka membuat rencana untuk mendayung ke tengah Samudra Pasifik, menyimpan air dan kemudian kembali ke Amerika, mengikuti arus.

Mereka telah berlayar di South Equatorial Current yang mengalir ke barat.

Tetapi antara garis khatulistiwa dan lokasi mereka sekarang, ada arus berlawanan ke arat timur.

Mereka memperhitungkan, arus itu akan membawa mereka kembali ke benua Amerika dalam 72 hari.

Rute itu juga akan membawa mereka melalui jalur pelayaran kapal dari Amerika yang menuju Australia dan Selandia Baru, meningkatkan peluang mereka untuk diselamatkan.

Pada jam 10 pagi pada hari keenam, keberuntungan mereka berubah. Kurang dari tiga mil jauhnya, ada sebuah kapal.

Dougal menembakkan dua suar tangan dan tiga suar parasut, dan menyisakan satu suar tangan cadangan. Tetapi kapal tidak pernah berbalik ke arah mereka.

"Itu benar-benar momen yang menyadarkan kami semua," kata Douglas. "Kami menyadari bahwa kami di sini tidak hanya untuk diselamatkan."

Mencari makanan di laut

Perjalanan menyeberangi lautan untuk jangka waktu selama itu tidak akan mudah. Pertama, mereka membutuhkan makanan.

"Semua orang yang pernah diet tahu bahwa awalnya akan terasa lapar, tetapi seiring waktu Anda tidak merasa lapar lagi, dan terutama ketika tidak terlalu banyak gerak," kata Tipton.

Dalam hierarki kelangsungan hidup, makanan ada di peringkat rendah.

Anda bisa bertahan selama beberapa minggu tanpa makan. Tetapi untuk pelayaran 72 hari, keluarga Robertson akhirnya harus makan.

Untungnya, ada banyak makanan di Samudra Pasifik. Protein khususnya, sangat mudah didapat. Keluarga Robertson menangkap ikan terbang dan penyu, mengeringkan daging di bawah sinar matahari untuk mengawetkannya.

"Menjelang [minggu ketiga] pakaian kami benar-benar membusuk," kata Douglas.

"Jadi kami agak telanjang, agak mirip manusia gua. Kami menangkap binatang dengan tangan. "

Penyu
Penyu (tribunnews)

Tetapi protein bukanlah yang dicari tubuh Anda ketika Anda kelaparan dan dehidrasi.

"Ketika protein terdenaturasi menjadi asam amino, tubuh akan menghasilkan produk sampingan seperti amonia dan urea yang harus diencerkan dengan cairan," kata Tipton. "Tidak demikian dengan lemak dan gula."

Tanpa air yang cukup untuk diminum, ikan berprotein itu pada akhirnya bisa meracuni Anda.

Namun, penyu memiliki lapisan lemak di bawah cangkangnya, yang jauh lebih bermanfaat bagi tubuh saat bertahan hidup dan dapat dimakan kapan saja.

Douglas mengatakan keluarganya makan sepotong daging tiga kali dan menyesap air tiga atau empat kali setiap hari.

Air di mana-mana

Keluarga Robertson punya 10,2 liter air bersih dalam kaleng. Tetapi untuk perjalanan 72 hari, itu tidak akan cukup.

Biasanya, tubuh manusia membutuhkan sekitar 1,5 liter cairan setiap hari, tetapi dalam situasi bertahan hidup, kebutuhan itu dapat dikurangi menjadi sekitar 400 ml per hari, menurut Tipton.

Dalam skenario terburuk, kebutuhan air dapat dikurangi lebih lanjut menjadi sekitar 200ml.

Pada situasi ini, tubuh mempertahankan fungsi ginjal esensial tetapi mematikan banyak proses lain dan darah menjadi sangat hipertonik.

Cuaca panas yang awalnya menyelamatkan Douglas dan anggota keluarga lainnya, kemudian menjadi musuh mereka.

"Jika cuaca hangat, Anda akan kehilangan sekitar setengah liter cairan sehari, melalui kulit," kata Tipton.

Keluarga Robertson memiliki dua sumber air langsung lainnya: air hujan dan kondensasi.

Dengan kanopi di atas perahu, keringat dan uap air yang mereka hembuskan akan mengembun di atasnya.

Hal yang jangan pernah dilakukan adalah minum air laut atau air seni. "Urin kira-kira 4% lebih terkonsentrasi daripada cairan tubuh standar," kata Tipton.

"Jadi, air seni harus diencerkan dengan cairan yang banyak. Anda tidak akan pernah bisa melakukannya saat sedang dalam situasi bertahan hidup. "

Mendapatkan air minum yang cukup menjadi masalah bagi keluarga Robertson.

Mereka telah tiba di dekat khatulistiwa, tetapi tidak ada hujan. Mereka menunggu selama tiga hari, sambil sesekali melihat awan hujan di kejauhan dengan frustrasi.

Solusi mereka adalah meminum darah penyu yang mereka tangkap. Douglas mengingat rasanya enak dan sama sekali tidak asin.

Rendahnya kadar air yang diminum keluarga, bagaimanapun, mulai berdampak pada tubuh mereka.

Douglas ingat hanya buang air kecil sekali sepanjang cobaan itu, dengan cairan kencing yang kental dan gelap seperti tar.

Ketika kekurangan air seperti ini, tubuh mulai melakukan hal-hal aneh.

Ketika tangan mereka tanpa sengaja terluka saat memegang penyu misalnya, mereka tidak mengalami pendarahan.

"Tubuh berfungsi cukup baik dalam mengorbankan ekstremitas untuk menjaga fungsi jantung, paru-paru dan otak," kata Tipton.

Prihatin dengan kurangnya ekskresi keluarga, Lyn, yang pernah melakukan pelatihan medis, menyarankan mereka melakukan enema (injeksi cairan ke dalam kolon melalui anus) dengan air kotor di bagian bawah perahu dan beberapa tabung dari rakit karet.

Air kotor itu adalah campuran darah penyu, air hujan, dan air laut, yang sekali tidak bisa diminum.

Di usus besar, sangat sedikit cairan yang diserap, sehingga efek teknik itu untuk rehidrasi akan terbatas.

Konon, SAS Inggris dilatih untuk melakukan enema sebagai teknik bertahan hidup dan aksi tersebut diulangi oleh orang yang bertahan hidup dalam situasi sulit, seperti Bear Grylls.

Ketika saya menanyakan ini pada Tipton, dia tertawa. "Saya yakin mereka sudah mencobanya, mereka akan mencoba apa saja, tetapi itu tidak akan memiliki efek besar."

Keluarga itu juga mulai menyedot cairan tulang belakang kerangka ikan dan memakan mata ikan.

Douglas ingat cukup menyukai pengalaman meletuskan mata ikan.

Mata ikan bahkan mungkin mengandung sejumlah kecil vitamin C yang sangat dibutuhkan, serta sedikit cairan.

Akhirnya, pada hari keempat mereka, hujan mulai turun. "Kami sangat gembira dan minum air putih sebanyak-banyaknya," kata Douglas.

"Semua daging jadi busuk karena air, tetapi kami memakan semampunya dan membuang sisanya."

Penyu muncul dengan cukup teratur sehingga mereka memiliki persediaan daging yang stabil, bersama dengan telur dan darah mereka yang meredakan haus.

Namun, setelah beberapa saat, hujan mulai menjadi masalah. Mereka harus terus-menerus menjaga kapal, bergiliran sepanjang malam, sampai akhirnya pingsan karena kelelahan.

Setelah 21 hari, mereka melihat Bintang Utara. Douglas mengatakan rencana mereka berhasil, mereka pasti telah menempuh jarak 420 mil.

Penyelamatan dan aklimatisasi
Pada 23 Juli 1972, di hari ke 38, mereka melihat kapal kedua.

Dougal menyalakan suar terakhir dan memegangnya sampai membakar tangannya. Kali ini, kapal berbalik.

"Anehnya, mereka bertanya kepada kami apakah kami ingin diselamatkan," kata Robertson. Mereka ditemukan oleh sebuah kapal nelayan Jepang.

"Tali ini jatuh dan mendarat di kapal kecil kami. Dan itulah pertama kali kami menyadari bahwa kami aman. "

Hal pertama yang diminta Douglas adalah kopi: "Dalam bayangan saya, itu sangat fantastis." Tapi dia tidak bisa meminumnya.

"Kondisi kami sangat buruk. Kami tidak mengetahuinya, tetapi jumlah hemoglobin kami turun. Kami seharusnya menjalani transfusi darah, tetapi mereka meminta kami diet hanya minum air kelapa. "

terapung, laut, bertahan hidup, paus, kapal

Douglas Robertson menulis sebuah buku yang mendokumentasikan penderitaan keluarga dan bagaimana mereka bertahan begitu lama di laut/JAVIER HIRSCHFELD.

Ada beberapa contoh penyelamatan baru-baru ini yang menunjukkan sejauh mana ubuh manusia bisa bertahan dalam situasi ekstrem.

Ada kasus 12 anak laki-laki Thailand yang menghabiskan 18 hari terperangkap di gua pada 2018 dan 33 penambang Chili diselamatkan pada 2010. Dalam kedua kasus, semua selamat.

"Ketika diselamatkan, mereka diberi berbagai macam antibiotik," kata Tipton.

"Meskipun mereka sangat ingin makan, mereka tidak diizinkan makan. Semua enzim pencernaan akan berkurang dalam hal jumlah dan aktivitasnya. Memasukkan makanan dalam jumlah besar ke dalam perut, ketika tidak ada apa-apa di dalamnya, adalah suatu tantangan. "

Keluarga Robertson mencapai Panama, tempat kedutaan Inggris menempatkan mereka di hotel.

Di sinilah Douglas bisa sepenuhnya merasakan kegembiraan memesan apa pun yang disukainya. Dia memesan tiga porsi steak dan telur dari restoran hotel, yang membuatnya sakit "seperti babi berdarah".

Tapi bahkan memintanya saja pun sudah cukup memuaskan.

"Dougal menulis di bukunya 'Kita mencapai puncak kepuasan yang tidak akan pernah kita raih lagi dalam hidup,' dan itu benar, Anda tidak akan dapat mencapai puncak kepuasan itu," kata Douglas.

"Kami pergi ke pasar dan melihat penyu yang dibantai. Kami melihat steak penyu dengan mata yang berbeda, berpikir 'Ah, ini tidak seperti steak penyu kami, yang dimakan langsung dari tulang'." (bbc news indonesia)

Artikel ini telah tayang di tribun-medan.com dengan judul Kapalnya Hancur Ditabrak Paus, 7 Orang Sekeluarga Terombang-ambing 38 Hari di Samudera Pasifik

IKUTI KAMI DI INSTAGRAM:

Sumber: Tribun Medan
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved