Hari Ini DPR RI Agendakan Rapat Paripurna Bahas Revisi UU KPK, Semua Sudah Sepakat
Lama mengendap di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), wacana revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002
Ketiga, penegasan KPK sebagai bagian tidak terpisahkan dari sistem peradilan pidana terpadu, sehingga diwajibkan bersinergi dengan lembaga penegak hukum lainnya.
Keempat, tugas KPK di bidang pencegahan akan ditingkatkan, sehingga setiap instansi, kementerian dan lembaga wajib menyelenggarakan pengelolaan laporan harta kekayaan terhadap penyelenggaraan negara sebelum dan sesudah berakhir masa jabatan.
Kelima, pembentukan dewan pengawas KPK berjumlah lima orang yang bertugas mengawasi KPK.
Keenam, kewenangan KPK untuk menghentikan penyidikan dan penuntutan perkara korupsi yang tidak selesai dalam jangka waktu satu tahun atau SP3.
Penghentian itu harus dilaporkan kepada dewan pengawas dan diumumkan ke publik.
Bisa lemahkan KPK
Saat, wacana revisi UU KPK mengemuka pada 2017, keenam poin ini mendapat kritik dari kalangan pegiat antikorupsi. Mereka mengkhawatirkan rencana tersebut akan melemahkan kewenangan KPK.
Sebab, beberapa ketentuan revisi dianggap akan berimplikasi pada kewenangan KPK.
Pengajar Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera Miko Ginting menilai, revisi UU KPK belum diperlukan.
Pertama, ia berpendapat konsep pembentukan dewan pengawas tidak jelas dan dapat bertentangan dengan UU KPK.
Begitu juga kewenangan dewan pegawas dalam menyusun kode etik untuk pimpinan KPK.
Sistem kontrol di internal KPK, menurut Miko, telah tercipta melalui pengambilan keputusan yang tidak didasari pada satu orang. Kedua, terkait penyadapan melalui izin dewan pengawas.
Miko menuturkan, hal ini mencampuradukkan kewenangan pengawasan lembaga dengan pengawasan terhadap kewenangan pro justitia.
Sementara itu, dalam UU KPK saat ini, penyadapan dilakukan atas izin pimpinan KPK.
Miko juga mengkritik soal kewenangan SP3. Ia memandang KPK tidak perlu memiliki kewenangan menerbitkan SP3.