Kisah Militer RI
Tumpas Komunis di Tanah Air, Kopassus Diturunkan Lawan Dukun PKI Hingga Menyerah tak Berdaya di Cepu
Tumpas Komunis di Tanah Air, Kopassus Diturunkan Lawan Dukun PKI Hingga Menyerah tak Berdaya di Cepu
Upaya pemerintah Indonesia dikala akan menumpas komunis di tanah air, membuat pasukan khusus TNI AD turun tangan, dukun PKIpun ditumpas hingga tak berdaya
TRIBUNJAMBI.COM - Kala itu Indonesia ditimpa kabar sedih saat beberapa Jenderal TNI diculik dan dihabisi di suatu lokasi yang disebut Lubang Buaya.
Tanpa panjang lebar, Komando Pasukan Khusus (Kopassus) kala itu diturunkan mengejar sosok yang sakti mandraguna di daerah Cepu dan Ngawi.
Upaya Tentara Nasional Indonesia (TNI) dalam membasmi paham komunis di Indonesia terus dilakukan hingga kini.
Berkaca pada sejarah kelam Indonesia akan kehadiran paham komunis di tanah air.
7 Nyawa perwira tinggi TNI harus jadi taruhannya.
Aksi perburuan dan membasmi paham komunis pernah sampai ke antek-antek dari Partai Komunis Indonesia (PKI).
Baca Juga:
VIDEO: Seluas 21 Hektare, TPA Talang Gulo Baru di Kota Jambi Gunakan Sistem Sanitary Landfill
Simulasi Pemungutan Suara, Bupati Safrial Ajak Semua Masyarakat Tanjab Barat Sukseskan Pemilu 2019
Kamis Besok, KPU Bungo Akan Mulai Distribusikan Logistik Pemilu ke Tiga Daerah Ini
Baru Sebulan Nikah, Yuanita Christiani Sudah Lakukan Kebiasaan Buruk Depan Suami, Apa Tanggapannya?
Di tengah operasi penumpasan PKI besar-besaran, Kopassus sempat menghadapi simpatisan PKI yang dikenal kebal senjata, namun itu tak menghalangi Kopassus untuk menggunakan cara kekerasan.
Kisah ini dikutip dari buku "Sintong Panjaitan, Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando" karya Hendro Subroto
Berkobarnya tragedi G30S/PKI yang menculik para jenderal pada 30 September 1965, memang berbuntut panjang.
Satu di antaranya adalah perburuan terhadap mereka yang dianggap sebagai anggota maupun simpatisan PKI.
Perburuan, dan penangkapan itu dilakukan di sejumlah daerah di Indonesia yang diduga sebagai basis PKI.
Saat itu pada 1967, perburuan terhadap simpatisan dan anggota PKI dilakukan di kawasan yang terletak antara Cepu dan Ngawi.
Tepatnya, di Desa Ninggil. Nama asli Mbah Suro adalah Mulyono Surodihadjo.
Mbah Suro merupakan seorang mantan lurah yang dibebastugaskan akibat kesalahannya sendiri.
Setelah lengser sebagai lurah, Mbah Suro membuka praktik sebagai dukun yang mengobati orang sakit.
Namun, belakangan beredar kabar kalau Mbah Suro juga dikenal sebagai dukun kebal, hingga ia disebut sebagai Mbah Suro atau Pendito Gunung Kendheng.

Pergantian nama baru menjadi Mbah Suro juga diikuti dengan perubahan penampilannya.
Salah satunya adalah memelihara kumis tebal, dan rambut panjang.
Mbah Suro melakukan berbagai kegiatan yang berbau klenik, dan menyebarkan kepercayaan Djawa Dipa.
Mbah Suro juga sering memberi jampi-jampi atau mantera dan air kekebalan kepada para muridnya.
Banyak pengikutnya yang percaya, diri mereka telah menjadi kebal terhadap senjata tajam, dan senjata api.
Pemerintah, khususnya pihak militer melihat Mbah Suro telah ditunggangi oleh PKI.
Baca Juga:
Detik-detik Video Kriss Hatta Digiring ke Mobil Tahanan, Kasus Dugaan Palsukan Dokumen Pernikahan
14 Tahun Warga Dusun Tigo Batanghari Hidup Tanpa Listrik, Permintaan PLTS Temui Jalan Buntu
SEDANG TANDING! Live Streaming Garuda Select vs Preston N.E U-18, Skor Sementara Masih 0-0
Siklon Tropis Wallace Pengaruhi Cuaca di Jambi, BMKG Peringatkan Hujan Lebat Disertai Petir
Pengacara Bowo Sidik Pangarso Ungkap Andil Nusron Wahid, Ada Perintah Siapkan 400 Ribu Amplop
Oleh karena itu, Panglima Kodam VII/Diponegoro memerintahkan untuk menutup padepokan tersebut.
Menurut Hendro, penutupan itu terpaksa dilakukan melalui jalan kekerasan.
"Pangdam terpaksa memerintahkan agar penutupan dilakukan dengan jalan kekerasan, karena segala upaya jalan damai yang ditempuh telah menemui jalan buntu," tulis Hendro dalam bukunya
Akhirnya, Kodam VII/ Diponegoro beserta satu Kompi RPKAD (Sekarang Kopassus) di bawah pimpinan Feisal Tanjung menyerbu padepokan Mbah Suro. Mbah Suro pun berhasil ditaklukkan dalam penyerbuan itu.
Soeharto Gunakan 4 Tahap Sistematis untuk Menumpas Gerakan G30S/PKI. Peristiwa kekejaman G30S/PKI meninggalkan coretan hitam dalam sejarah bangsa Indonesia
Pada 30 September 1965, terjadi penculikan dan pembunuhan enam jenderal yang merupakan perwira tertinggi TNI serta satu perwira berjabatan kapten.
Bahkan menteri atau Panglima AD Ahmad Yani tidak luput dari sasaran.
Saat itu, satuan TNI AD mengalami guncangan hebat akibat aksi G30S/PKI.
Para perwira TNI AD ingin melakukan tindakan akibat peristiwa kelam yang telah merenggut jenderal TNI tersebut.
Dikutip dari pernyataan Drs. Nugroho Notosusanto, mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pada Kabinet Pembangunan IV yang pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Oktober 1966
Pada tanggal 1 Oktober 1965, Mayor Jenderal Soeharto, Panglima Kostrad menerima informasi bahwa sesuatu yang serius telah terjadi.

Jenderal Yani dan beberapa pejabat tinggi Angkatan Darat telah diculik atau dibunuh oleh suatu gerombolan bersenjata.
Beliau segera berangkat menuju ke Markas Kostrad di Medan Merdeka Timur untuk menganalisa keadaan.
Beliau mengambil kesimpulan bahwa telah terjadi suatu pengkhianatan oleh sesuatu komplotan kontra-revolusioner.
Hilangnya Jenderal Yani selaku Men/Pangad menyebabkan kekosongan di lingkungan Angkatan Darat, itu merupakan sesuatu hal yang amat berbahaya.
Soeharto dengan advis dari beberapa perwira tinggi TNI memutuskan untuk memegang pimpinan Angkatan Darat sementara situasi belum jelas.
Setelah mengadakan kontak dengan Panglima Daerah Militer V/Jakarta, Soeharto berpikir cepat dan bertindak cepat.
Tindakan pertama, diusahakan untuk menetralisir pasukan-pasukan yang masih mengambil stelling di sekitar Medan Merdeka.
Pada jam 16.00, Yon 530 Para (kecuali satu kompi yang dibawa oleh Dul Arief) sudah menarik diri dari stelling dan dibawah pimpinan Wadan Yon Kapten Sukarbi melaporkan diri kepada Soeharto.
Baca Juga:
TPS Dibangun Jauh dari Pasar Sengeti, Pedagang Pilih Buang Sampah di Pinggir Sungai Batanghari
Live Streaming Debat Seru ILC TV One, Bertema El Clasico Jokowi vs Prabowo, Malam Ini Pukul 20.00
Rincian Libur Resmi Hari Raya Idul Fitri Tahun 2019, Capai Seminggu Utuh, Siap Mudik?
Sayang, sisa pasukan Yon 454 Para terus disalahgunakan oleh "G30S" hingga mereka mengundurkan diri ke Pangkalan Angkatan Udara (PAU) Halim dan berhasil dicerai-beraikan disana oleh pasukan RPKAD.
Tahap kedua, Soeharto memerintahkan untuk menduduki kembali gedung Pusat Telekamunikasi dan RRI.
Tugas itu diserahkan kepada RPKAD dengan catatan: sedapat mungkin menghindarkan pertumpahan darah.
RPKAD dengan manuver yang jitu dalam waktu 20 menit saja telah berhasil menduduki kedua gedung itu tanpa melepaskan satu tembakan pun.
Tahap ketiga, pada jam 20.00 WIB Soeharto berbicara di depan radio, menjelaskan kepada seluruh Rakyat Indonesia apa yang telah terjadi dan menerangkan tindakan-tindakan apa yang telah beliau ambil.
Dengan tegas "G30S" disebut gerakan kontra-revolusioner.
Dengan serta-merta seluruh Rakyat merasa lega karena tahu duduk persoalan yang sesungguhnya dan tahu bahwa siaran-siaran "G30S" sebelumnya adalah palsu.
Tahapan keempat, Soeharto mulai memberikan pukulan maut kepada komplotan "G-30-S"
Yakni merebut PAU Halim. Tugas itu dipercayakan kepada RPKAD dengan bantuan Yon 328 Para "Kudjang"/Siliwangi.
Tugas konsolidasi di dalam kota diserahkan kepada Kodam V/Jaya dengan bantuan KKO/AL dan BRIMOB/AKRI.

Tahapan keempat itu baru dilaksanakan keesokan harinya pada tanggal 2 Oktober 1965, dan berhasil dengan baik dengan hanya makan seorang korban.
Dengan demikian selesailah sudah kisah petualangan "G-30-S" di ibukota.
Caranya menyelesaikan dilakukan dengan gaya khas Pak Harto: tenang tapi tegas dan pasti, tahap yang satu disusul dengan tahap yang berikutnya di dalam urut-urutan yang serasi.
IKUTI KAMI DI INSTAGRAM:
NONTON VIDEO TERBARU KAMI DI YOUTUBE:
IKUTI FANSPAGE TRIBUN JAMBI DI FACEBOOK: