Berita Nasional

Ada Nama Adik Mantan Wapres RI dalam Kasus Korupsi PLTU Rp1 Triliun

Proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) 1 Kalimantan Barat senilai Rp1,2 triliun yang mangkrak sejak 2016 kini menyeret empat nama ke meja hukum.

Penulis: Mareza Sutan AJ | Editor: Mareza Sutan AJ
ist
ILUSTRASI KORUPSI - Bareskrim Polri menetapkan empat tersangka kasus korupsi proyek PLTU Kalbar, termasuk adik mantan wapres RI 

TRIBUNJAMBI.COM, JAKARTA - Proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) 1 Kalimantan Barat senilai Rp1,2 triliun yang mangkrak sejak 2016 kini menyeret empat nama besar ke meja hukum.

Korps Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Kortas Tipidkor) Polri menetapkan mantan Direktur Utama PLN Fahmi Mochtar dan pengusaha Halim Kalla, adik dari Wakil Presiden ke-10 dan ke-12 RI Jusuf Kalla, sebagai dua dari empat tersangka dalam kasus dugaan korupsi proyek tersebut.

“Tersangka FM sebagai Direktur PLN saat itu, pihak swasta HK (Direktur PT BRN), RR (Dirut PT BRN), dan HYL (Dirut PT Praba),” ungkap Kakortas Tipidkor Polri Irjen Cahyono Wibowo dalam konferensi pers di Gedung Bareskrim Polri, Jakarta Selatan, Senin (6/10/2025).

Proyek PLTU 1 Kalbar berkapasitas 2x50 megawatt di Kabupaten Mempawah dimulai sejak 2008, menggunakan kredit komersial dari Bank BRI dan BCA melalui skema Export Credit Agency (ECA).

Namun, proyek tersebut gagal dimanfaatkan sejak 2016 meski telah 10 kali diaddendum hingga 2018.

“Proyek PLTU ini diduga menyimpang dari ketentuan dan terjadi penyalahgunaan wewenang hingga akhirnya mangkrak,” kata Cahyono.

Konsorsium KSO BRN ditunjuk sebagai pemenang lelang melalui Surat Persetujuan Direksi PLN Nomor 178 Tahun 2008.

Namun, hasil penyelidikan menunjukkan KSO BRN tidak memenuhi sejumlah persyaratan teknis dan administrasi, seperti tidak memiliki pengalaman membangun PLTU minimal 25 MW, tidak menyerahkan laporan keuangan 2007 yang diaudit, serta laba bersih di bawah syarat minimum Rp7,5 miliar.

Perusahaan OJSC Power Machines, yang memiliki pengalaman membangun PLTU, baru dimasukkan ke dalam konsorsium setelah lelang dimenangkan.

Kontrak senilai USD 80 juta dan Rp507 miliar ditandatangani pada 11 Juni 2009 oleh RR selaku Dirut PT BRN dan FM sebagai Dirut PLN.

Namun, pada akhir tahun itu, seluruh pekerjaan dialihkan ke PT Praba Indopersada dan perusahaan asal Tiongkok, QJPSE.

Audit investigatif BPK RI menemukan indikasi kerugian negara mencapai USD 62,41 juta dan Rp323,2 miliar, atau sekitar Rp1,01 triliun dengan kurs tahun 2009.

Peran Para Tersangka

Direktur Tindak Kortas Tipidkor Polri, Brigjen Totok Suharyanto, menjelaskan bahwa Fahmi Mochtar, Halim Kalla, dan pihak swasta dari PT BRN diduga mengatur lelang agar konsorsium tertentu keluar sebagai pemenang.

“FM selaku Dirut PLN saat itu melakukan pemufakatan dengan HK dan RR dari PT BRN untuk memenangkan salah satu calon peserta,” ujar Totok.

Sumber: Tribunnews
Halaman 1 dari 2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved