Lain lagi, dua tahun lalu, seorang warga meninggal karena tuberbulosis (TB) paru. Lainnya harus dirawat beberapa hari, tapi tak kunjung pulih.
Gino dan warga lainnya tetap berharap ada perhatian lebih. Tidak hanya datang sesekali, tapi benar-benar hadir dalam kehidupan mereka yang rawan dan serba terbatas.
SAD Orang Rejosari
Meski hidup di tengah kebun orang, Gino merasa menjadi bagian dari desa.
Gino aktif sebagai anggota Linmas (Perlindungan Masyarakat) Desa Rejosari.
Dia mengikuti kegiatan, hadir dalam rapat, dan menyuarakan harapan. Pemerintah pernah menawarkan mereka tempat tinggal baru, permukiman yang lebih layak. Tapi Gino menolak.
"Kami orang Rejosari. Kami warga di sini. Kami tidak mau pindah dari sini," ucapnya.
Bagi mereka, Rejosari adalah rumah. Bukan hanya tempat tinggal, tapi bagian dari jati diri.
Di sanalah dulu mereka mencari rotan, mengumpulkan umbut, meramu tanaman obat.
Kini, hutan sudah habis. Suku Anak Dalam pun terpaksa tinggal di tengah kebun, bertahan sebisa mungkin.
“Sekarang mau meramu apa? Hutan sudah habis," tuturnya lirih.
Mimpi yang Masih Tertahan
Bantuan Langsung Tunai (BLT) memang mereka terima. Tapi itu belum cukup.
Anak-anak Gino ada yang sudah bersekolah, namun sebagian lain belum bisa melanjutkan pendidikan.
"Ingin kami semua anak-anak sekolah. Tapi kami tidak ada dana," kata Gino.