Cara untuk tak sepenuhnya bergantung pada belas kasih orang lain.
Sehari-hari, Gino dan warga lainnya memungut berondolan sawit dari kebun milik orang. Tapi itu pun tak menentu.
"Kadang dapat izin, kadang tidak. Kalau tidak boleh, ya kami tidak bisa apa-apa," katanya.
Hasil dari berondolan sawit itulah yang mereka tukar dengan beras, garam, dan kebutuhan pokok lain.
Tapi karena tidak stabil, hidup pun terus berada di batas tipis antara cukup dan tidak.
Atap Terpal, Anak-Anak, dan Ancaman dari Atas
Ketika musim panen tiba, buah sawit kerap jatuh dari atas dan menghantam atap sudung. Akibatnya, terpal koyak, air hujan masuk, dan tidur tak lagi nyenyak.
"Kami marah, tapi mau bagaimana lagi. Ini kebun mereka, kami cuma numpang," kata Gino mengeluh.
Sudung yang kecil harus menampung dua, tiga, bahkan lima orang. Anak-anak tidur berdesakan.
Pakaian ditumpuk di sudut pondok. Tak ada lemari, tak ada ruang. Tapi di sudung-sudung itu juga, terlihat sepeda motor terparkir dan televisi kecil menyala.
Ini tanda mereka sedang berusaha menyambung kehidupan modern dengan akar tradisi yang tersisa.
Posyandu, Kesehatan dan Terbatas
Layanan kesehatan memang mulai menjangkau sudung-sudung SAD di Rejosari.
Posyandu keliling datang, walau baru tiga kali dalam setahun. Tapi, bagi SAD, itu sudah cukup berarti.
Meski demikian, penyakit tetap datang silih berganti: demam, batuk, pilek, hingga asam lambung. Istri Gino pernah sakit hingga harus dirawat.